KPPOD: Pembangunan di Papua Tidak Terintegrasi
Koran TEMPO - 12 Maret 2020
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng, mengkritik pelaksanaan otonomi khusus Papua dan Papua Barat. Menurut dia, sejak dana otonomi khusus dimulai pada 2002, pemerintah tidak pernah mengevaluasi mekanisme pemberian dana senilai total Rp 94,24 triliun tersebut. Akibatnya, tidak ada akuntabilitas dan pertanggungjawaban terhadap capaian kesejahteraan masyarakat Papua.
"Bahkan menjelang selesainya dana otonomi khusus, kita tidak punya gambaran mengenai hasil dana otonomi khusus," ucap Endi kepada Tempo, kemarin.
Pernyataan Endi itu merujuk pada laporan pemerintah yang menyebutkan bahwa pemerintah telah menggelontorkan dana otonomi khusus senilai Rp 94,24 triliun untuk Papua dan Papua Barat sejak 2002. Meski telah diguyur dana jumbo, pertumbuhan ekonomi di Tanah Papua justru mandek. Pada 2019, pertumbuhan ekonomi Provinsi Papua justru minus 15,72 persen.
Menurut Endi, hal itu terjadi lantaran pemerintah sama sekali tidak mengevaluasi penggunaan dana tersebut. Setiap tahun, dia mengimbuhkan, tidak pernah ditinjau secara komprehensif ihwal capaian program-program prioritas, seperti akses terhadap kesehatan, pendidikan, pertumbuhan ekonomi, dan perbaikan infrastruktur.
Masalah lain yang muncul adalah tidak adanya sinergi pembangunan antarlembaga dan kementerian. Bahkan, kata Endi, masing-masing kementerian kerap bergerak sendiri dan tak terintegrasi satu sama lain. "Ini kebijakannya otonomi khusus, tapi manajemen penanganannya tidak khusus, umum saja," ucap dia.
Karena itu, Endi mendukung rencana Presiden Joko Widodo untuk melakukan integrasi pembangunan melalui Instruksi Presiden tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan Provinsi Papua dan Papua Barat. Dia berharap nantinya ada unit khusus di bawah presiden yang menjadi simpul integrasi pembangunan. "Integrasi program untuk membangun Papua itu mutlak."
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. mengakui adanya masalah pengintegrasian program pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Ia menilai selama ini pembangunan di Papua tidak terlihat meski anggaran yang dikucurkan ke sana sangat besar. Penyebabnya, setiap kementerian/lembaga menjalankan programnya sendiri-sendiri.
"Coba diintegrasikan, dikeroyok. Pelabuhan di sini, sentra perdagangan di sini, sekolah-sekolah di sana, industri di sana, bangun. Sehingga terlihat tumbuh," tuturnya.
Peneliti dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rivanlee Anandar, menyampaikan perspektif lain. Ia melihat persoalan pembangunan di Tanah Papua terjadi karena pemerintah masih mengedepankan pendekatan keamanan. "Pendekatan dialogis, egaliter, dan melibatkan masyarakat tidak akan berjalan dengan baik jika militer masih siaga di sana," kata dia.
Menurut dia, jika upaya pembangunan Papua masih berlandaskan pada ketakutan, bahwa Papua akan melepaskan diri, negara akan melakukan segala cara untuk menundukkan rakyat Papua. Karena itu, negara seharusnya mengevaluasi pendekatan keamanan yang selama ini diterapkan. Kontras mengusulkan, hal pertama yang dilakukan pemerintah adalah menarik aparat untuk memperbaiki situasi sosial dan politik di Papua.
(Sumber: Koran TEMPO, Kamis, 12 Maret 2020)
Dibaca 1135 kali