Bagaimana Jakarta Menyiasati Pemangkasan Dana Bagi Hasil?
kompas.id - 10 Oktober 2025
Seperti apa kebijakan pemangkasan dana transfer ke daerah dari pemerintah pusat?
Pemerintah pusat mengepras dana transfer daerah untuk penganggaran tahun 2026. Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2026 mengalokasikan senilai Rp 650 triliun, turun 24,7 persen dibandingkan proyeksi realisasi pada 2025 senilai Rp 864,1 triliun.
Anggaran transfer daerah dan dana desa pada RAPBN 2026 sekaligus menjadi yang terendah dalam lima tahun terakhir. Pada 2021, realisasi transfer daerah dan dana desa mencapai Rp 785,7 triliun.
Alokasinya pada tahun-tahun selanjutnya membesar. Berturut-turut adalah Rp 816,2 triliun pada 2022, Rp 881,4 triliun pada 2023, Rp 863,5 triliun pada 2024, dan diperkirakan Rp 864,1 triliun pada 2025.
Presiden Prabowo Subianto dalam pidato penyampaian Rancangan Undang-Undang APBN 2026 beserta Nota Keuangan di Kompleks Senayan, Jakarta, Jumat (15/8/2025), telah menegaskan, pemerintah akan terus mendorong efisiensi belanja. Langkah ini termasuk memastikan belanja transfer ke daerah tetap efisien.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pada konferensi pers RAPBN 2026 di kantor Direktorat Pajak Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat, meminta pemerintah daerah untuk lebih inovatif dalam menghimpun pendapatan asli daerah (PAD). Ini terutama merujuk pada pajak dan retribusi, hibah, serta dari BUMD.
Tito mencontohkan, sejumlah pemda mampu menghimpun PAD tinggi karena berhasil memanfaatkan potensi sektoral di wilayahnya. Bali, misalnya, mengoptimalkan sektor pariwisata. Sementara Daerah Istimewa Yogyakarta mampu mengangkat sektor UMKM.
Tito juga mengatakan, pemda mesti mampu mengoptimalkan berbagai sumber penerimaan alternatif, di antaranya pajak kendaraan bermotor dan retribusi parkir yang perputaran uangnya belum masuk ke kas daerah.
”Kuncinya, menghimpun PAD harus kreatif dan inovatif, tapi tidak memberatkan masyarakat. Ada (banyak cara) di antaranya menghidupkan kemudahan berusaha, perizinan, ada mal-mal pelayanan publik yang sudah dibuka untuk mempermudah masyarakat berusaha,” ujarnya.
Apa dampak pemotongan dana transfer ke daerah, termasuk dana bagi hasil, bagi sejumlah daerah?
Mayoritas pemerintah daerah berisiko mengalami turbulensi fiskal pada 2026. Permasalahan ini akan menimbulkan komplikasi perekonomian daerah, mulai penambahan beban bagi masyarakat dan dunia usaha sampai berkurangnya standar layanan publik yang berujung pada perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Risiko tersebut telah disuarakan oleh sejumlah pemangku kepentingan dalam beberapa hari terakhir. Ini, misalnya, disampaikan oleh Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi), Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), Aliansi Ekonom Indonesia, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM UI), serta Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD).
Apkasi bahkan telah meminta penjelasan dari pemerintah pusat. Para bupati bahkan telah berkirim surat permohonan audiensi dengan Presiden Prabowo. Hal ini karena mereka belum mengetahui secara pasti skema dari pemerintah pusat soal kebijakan dana TKD yang dipangkas sebesar 24,7 persen itu.
Ketua Umum Apkasi Bursah Zarnubi mengungkapkan, proporsi pendapatan asli daerah (PAD) pemerintah kabupaten (pemkab) rata-rata masih berada di angka 30 persen-40 persen dari total APBD. Hal ini berarti sebagian besar pemkab masih sangat bergantung dengan dana TKD. Karena itu, penurunan alokasi TKD tentu akan berpengaruh pada pelaksanaan pembangunan di daerah.
Bupati Lahat itu menambahkan, saat ini ruang fiskal daerah sudah cukup terbebani oleh gaji pegawai, khususnya gaji PPPK yang baru saja diangkat. Oleh sebab itu, pemda akan mengusulkan supaya gaji PPPK dialokasikan dari APBN melalui penambahan dana alokasi umum (DAU).
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman mengingatkan, penurunan dana TKD hingga 24,7 persen pada 2026 akan sangat mengganggu keuangan daerah. Tahun depan, pemda akan lebih sulit mengalokasikan belanja modal untuk pembangunan daerah.
Sejauh apa pengaruh pemangkasan dana bagi hasil terhadap anggaran Jakarta?
Pemangkasan dana bagi hasil dari pemerintah pusat diperkirakan berdampak pada efisiensi sejumlah kegiatan di lingkungan Pemerintah Provinsi Jakarta. Meski demikian, program bantuan, seperti Kartu Jakarta Pintar dan Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul, dipastikan tetap berjalan, bahkan berpotensi ditingkatkan bila diperlukan.
Diketahui, pemerintah pusat akan memangkas alokasi anggaran untuk Jakarta dari target semula Rp 26 triliun menjadi Rp 11 triliun dalam Rancangan APBN 2026.
Padahal, DPRD dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta sebelumnya telah menyusun APBD 2026 sebesar Rp 95,35 triliun, dengan proyeksi penerimaan transfer pusat mencapai Rp 26 triliun. Akibat pemangkasan dana bagi hasil (DBH) ini, postur APBD Jakarta tahun depan harus direvisi menjadi sekitar Rp 79,06 triliun.
Staf Khusus Gubernur Jakarta Bidang Komunikasi Publik, Chico Hakim, mengatakan, salah satu sektor yang kemungkinan terdampak dari efisiensi anggaran adalah perjalanan dinas aparatur sipil negara (ASN) serta sejumlah kegiatan birokrasi yang dinilai kurang memiliki dampak langsung terhadap masyarakat.
”Bukan tunjangan ke luar negeri, melainkan kegiatan-kegiatan yang dianggap tidak berdampak langsung bagi masyarakat,” ujar Chico, Senin (6/10/2025).
Semua organisasi perangkat daerah (OPD) juga diminta melakukan efisiensi anggaran secara menyeluruh dengan meninjau kembali pos-pos belanja yang dinilai tidak prioritas. Langkah ini dilakukan agar penggunaan anggaran daerah dapat lebih terarah pada program-program yang berdampak langsung dan nyata bagi masyarakat Jakarta.
Bagaimana Jakarta menyiasati pemangkasan dana bagi hasil?
Pemerintah Provinsi Jakarta berencana memanfaatkan Jakarta Collaboration Fund dan kebijakan penempatan Rp 200 triliun di lima bank milik negara guna menambal pemangkasan dana bagi hasil. Sumber pendanaan dari luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah itu penting agar layanan publik tak terganggu meski dana bagi hasil dipotong.
Gubernur Jakarta Pramono Anung mendiskusikan hal tersebut dengan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa di Balai Kota Jakarta, Selasa (7/10/2025). Pertemuan keduanya berlangsung hampir satu jam.
Rancangan APBD Jakarta pada 2026 mencapai Rp 95,35 triliun. Angka tersebut naik Rp 3,49 triliun dari tahun ini. Namun, jumlah tersebut masih harus direvisi karena ada pemotongan dana bagi hasil (DBH) hingga Rp 15 triliun.
Untuk menambal penurunan RAPBD imbas pemotongan DBH, Pramono kembali menekankan pentingnya pembiayaan kreatif (creative financing). Sedikitnya ada tiga upaya yang didiskusikan dengan Purbaya, yakni Jakarta Collaboration Fund, niatan mengakses kebijakan penempatan Rp 200 triliun di lima bank milik negara, dan pemanfaatan aset untuk Gedung Bank Jakarta di SCBD, Jakarta Selatan.
”Jakarta ingin menyelaraskan kebijakan fiskal yang diambil pemerintah pusat, terutama pemotongan DBH,” tutur Pramono.
Jakarta Collaboration Fund merupakan salah satu janji kampanye Pramono dan Wakil Gubernur Jakarta Rano Karno. Tujuan program itu adalah agar ada alternatif pendanaan untuk membangun Jakarta yang tak hanya bergantung pada pajak, retribusi, dan sebagainya.
Sementara itu, kebijakan penempatan dana Rp 200 triliun di lima bank milik negara bakal dimanfaatkan oleh badan usaha milik daerah. Kementerian Keuangan menggulirkan injeksi likuiditas tersebut untuk melipatgandakan penyaluran kredit dan menggerakkan konsumsi sehingga ekonomi tumbuh lebih cepat dan penerimaan pajak meningkat.
Sektor apa saja yang diharapkan tidak terganggu terkait pemangkasan dana bagi hasil di Jakarta?
Pemangkasan dana bagi hasil dari pemerintah pusat diharapkan tidak berdampak pada kualitas layanan transportasi publik di Jakarta. Pemerintah Provinsi Jakarta diminta tetap memberikan pelayanan transportasi publik yang aman, nyaman, dan terjangkau bagi masyarakat.
Pemangkasan DBH memaksa Pemprov Jakarta meninjau ulang skema pembiayaan, termasuk subsidi transportasi umum serta penyesuaian tarif. Hal ini juga dibahas dalam rapat kerja Komisi B DPRD Jakarta bersama pihak eksekutif pada Selasa (7/10/2025).
Anggota Komisi B DPRD Jakarta, Ade Suherman, mengingatkan agar efisiensi anggaran tidak mengganggu kualitas pelayanan transportasi publik. Menurut dia, transportasi umum, seperti Transjakarta, MRT, dan LRT Jakarta, merupakan kebutuhan vital bagi warga Jakarta yang harus tetap dijaga kenyamanannya.
”Pelayanan publik harus tetap maksimal. Warga Jakarta bergantung pada transportasi umum, maka efisiensi anggaran jangan sampai menurunkan kenyamanan mereka,” ujar Ade, Rabu (8/10/2025).
Terkait wacana kenaikan tarif transportasi publik, anggota Komisi B DPRD Jakarta lainnya, Andri Santosa, menilai kebijakan tersebut perlu dikaji hati-hati dan tidak dilakukan tergesa-gesa. Terlebih, tekanan sosial dan ekonomi masyarakat saat ini masih cukup tinggi.
Gubernur Jakarta Pramono Anung menyebutkan, jika pemangkasan DBH memaksa pemerintah daerah meninjau ulang berbagai skema pembiayaan, termasuk subsidi transportasi massal.
”Subsidi transportasi kita besar sekali. Sekarang ke mana-mana bayarnya Rp 3.500. Tapi, ini belum tentu dinaikkan ya. Akan dikaji kembali,” ujar Pramono di Balai Kota Jakarta, Senin (6/10/2025).
Pramono menegaskan, Pemprov Jakarta akan melakukan efisiensi terhadap sejumlah program kerja yang dinilai masih bisa dihemat dan lebih fokus pada program yang memberikan manfaat nyata bagi warga.
”Yang jelas, program prioritas, seperti Kartu Jakarta Pintar (KJP), Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU), dan pemutihan ijazah tetap akan berjalan,” tegasnya.
Sumber: https://www.kompas.id/artikel/bagaimana-jakarta-menyiasati-pemangkasan-dana-bagi-hasil?utm_medium=shared&utm_campaign=tpd_-_ios_traffic&utm_source=link
Dibaca 237 kali