. Penyerapan Belanja Daerah Lebih Buruk
Logo KPPOD

Penyerapan Belanja Daerah Lebih Buruk

- 1 Januari 1970

Penyerapan Belanja Daerah Lebih Buruk

 

Realisasi penyerapan anggaran daerah pada tahun ini diprediksikan tidak melebihi 95 persen atau lebih buruk dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Perlambatan realisasi ini lantaran masalah klasik yang tidak bisa terselesaikan, salah satunya dinamika konflik hubungan DPRD dengan kepala daerah.


Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), realisasi belanja daerah sampai dengan bulan Juni 2014 diperkirakan mencapai sebesar 255,72 triliun rupiah atau secara persentase mencapai 31,3 persen dari total anggaran belanja daerah sebesar 815,91 triliun rupiah.


Pencapaian itu lebih rendah apabila dibandingkan dengan realisasinya pada periode yang sama  tahun 2013 sebesar 34,3 persen, tahun 2012 sebesar 34,6 persen dan tahun 2011 sebesar 33,1 persen.


Terdapat 13 daerah yang memunyai realisasi belanja di bawah rata-rata dan 21 daerah memunyai realisasi belanja di atas rata-rata. Estimasi realisasi belanja daerah terendah adalah di provinsi Kalimantan Utara, yaitu sebesar 14,1 persen dan tertinggi adalah di provinsi Maluku Utara yaitu sebesar 44,0 persen.


Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng, di Jakarta, Selasa (19/8), mengatakan tren belanja daerah saat ini cukup memprihatinkan dan terjadi penurunan kapasitas daya serap anggaran dibandingkan tiga tahun sebelumnya.


“Rata-rata 3 tahun terakhir di Desember sudah mencapai 95-96 persen, dengan daya serap yang makin rendah maka akhir tahun tidak akan  lebih dari 95 persen bahkan bisa berada di bawah itu, kecuali kalau ada upaya jor-jor an di akhir tahun,” terang Endi.


Masalah Klasik

Ia mengatakan akar masalah lambatnya realisasi anggaran daerah ini masih masalah klasik karena dinamika konflik hubungan DPRD dengan kepala daerah yang masih cukup krusial.


“Kalau DPRD-nya tidak suka kepada kepala daerah atau DPRD punya kepentingan tapi tidak diakomodasi, caranya menyandera APBD-nya dimaju-mundurin. Makanya APBD-nya jadi terbengkalai,” jelasnya.


Ia mencontohkan di Kabupaten Karo bulan Agustus peraturan daerah (Perda) tentang APBD-nya baru resmi dan akan dibawa ke pemerintah provinsi untuk di-review, sehingga perkiraaan paling cepat pertengahan September anggaran yang ada di APBD baru bisa di eksekusi.


“Bayangkan saja anggaran untuk 12 bulan diserap dalam 3,5 bulan itu pasti daya serap rendah,” urainya.


Di samping itu, sambung dia, keterlibatan DPRD dalam pembahasan yang terlalu dalam ikut menghambat realisasi anggaran. Dari sisi implementasi karena belum tegasnya sistem e-procurement juga menjadi isu krusial yang harus dibenahi.


“Saya berharap pemerintah pusat dan provinsi bisa punya peta situasi dinamika politik daerah sehingga APBD-nya tidak mundur dan sejak awal sudah dipantau agar jangan sampai mendekati akhir tahun masih ada daerah yang masih dalam proses,” imbuhnya.


Kendati demikian, pihaknya mengingatkan jangan gembira dengan realisasi anggaran daerah yang tinggi karena bisa jadi diwarnai dengan inefisiensi maupun korupsi sehingga kualitasnya dipertanyakan. Pihaknya menilai jika di semester II belum mencapai 50 persen, dibandingkan jor-joran di bulan Desember, lebih baik dialokasikan secara multiyears untuk pembangunan infrastruktur di tahun anggaran ke depan.


Peneliti Ekonomi Indef, Eko Listyanto, mengatakan masih adanya 13 daerah yang realisasi belanjanya di bawah rata-rata lantaran sebagian besar daerah tersebut minim infrastruktur. Artinya, dalam eksekusi belanja terganjal dengan minimnya sumber daya manusia dan jika alokasi belanja daerah dipakai pembangunan, terbatas dengan sarana daerah.


Oleh karena itu, sambung dia, setiap tahunnya tren belanja daerah tidak bisa 100 persen sesuai yang ditargetkan pemerintah pusat. Bahkan, tahun ini kemungkinan hanya di kisaran 80 persen akibat pola anggaran yang belum berubah.

“Capaiannya masih sama mungkin sedikit lebih rendah,” kata Eko.fia/E-9

 

--- (http://koran-jakarta.com/?18384-penyerapan%20belanja%20daerah%20lebih%20buruk) ---


Dibaca 2333 kali