Lanskap Besar Reformasi Birokrasi
- 1 Januari 1970
Oleh Robert Endi Jaweng
Direktur Eksekutif KPPOD, Jakarta.
Pada awal April, Pemda DKI Jakarta mulai menerapkan model baru seleksi-promosi dalam birokrasinya, lelang jabatan. Tak kurang 267 jabatan Lurah dan 44 jabatan Camat dilelang kepada puluhan ribu PNS potensial (sekurangnya 44.970 pejabat) yang bersaing mengisi posisi tersedia.
Kita patut mengapresiasi terobosan ini. Paling tidak, Jokowi-Ahok membuktikan janji kampanye untuk melakukan reformasi birokrasi yang selama ini terbiasa hidup di zona nyaman (comfort zone), bahkan zona status quo.
Mereka berikhtiar membawa birokrasi sektor publik ke level dinamika baru: bersaing terbuka berbasis keunggulan kapasitas dan keutamaan integritas prima di competitive zona.
Sebagai pranata pemerintahan, birokrasi memang mesti mapan dalam sebagian aspeknya guna menjamin proses bisnis (bagi pengelola/birokrat) dan layanan publik (bagi masyarakat) secara pasti.
Namun, hal demikian tidak boleh membuat birokrasi menjadi statis dan mekanistik, tetapi harus bisa berubah secara dinamis untuk merespons perubahan lingkungan luar yang terus bergerak.
Maka aneka inovasi, bahkan terobosan, meski diinjeksi ke tubuh birokrasi, dan itu menuntut komitmen pemimpin puncak (Presiden/Kepala Daerah) lantaran sejatinya bureaucracy reform is a political process.
Perihal lelang jabatan dalam birokrasi di Jakarta, saya mencatat beberapa hal penting sebagai point positif, serta sejumlah hal lain yang perlu menjadi agenda tindak lanjut ke depan.
Pertama, pilihan Jokowi memulai lelang jabatan pada level jabatan Camat dan Lurah merupakan langkah cerdas sekaligus menyimpan pertaruhan tersendiri.
Dengan strategi arus bawah tersebut, Jokowi tampaknya ingin memenangkan hati (kepercayaan) publik secara cepat, langsung, dan nyata. Jokowi berikhtiar menghadirkan wajah baru negara lewat profil para pejabat di garis depan tersebut yang diharapkan mampu berunjuk kinerja secara inovatif.
Selama ini, warga kebanyakan tentu jarang – bahkan tak pernah – berurusan dengan pejabat tinggi di balaikota maupun lima kantor maupun lima kantor wali kota, tetapi mereka pasti pernah atau mungkin sudah berkali-kali mendatangi kantor Lurah dan Camat untuk mengurus KTP, Kartu Keluarga, Persyaratan Ijin Usaha, dsb.
Hal ini sekaligus jadi tantangan bagi agenda pembaruan yang sedang diusung. Jika mekanisme kompetensi yang dibuka lelang jabatan itu ternyata tak mampu melahirkan pejabat berkompetensi unggul, maka menjadi kekecewaan atau kemarahan.
Namun, tantangan ini mesti dibaca sebagai early warning bagi pemda dan Panitia Seleksi untuk bekerja amanah, transparan, bebas kepentingan (titipan tim sukses, bagi-bagi jatah kepada anggota DPRD atau pejabat senior, dll), serta mampu mencegah para job-seekers yang memanfaatkan ajang kompetisi ini bagi karirnya saja.
Kedua, inisiatif ini muncul di birokrasi Ibukota Negara. Itu berarti, dampak perubahannya nanti sedikit-banyak berkontribusi sebagai show case yang mewakili wajah negeri ini dalam kontestasi global.
Ketiga, keterlibatan masyarakat dalam keanggotaan panitia seleksi (Pansel). Selain diisi unsur internal birokrasi, Pansel juga rencananya mengakomodasi wakil masyarakat, akademisi dan profesional yang mumpuni.
Dengan sejumlah makna penting di atas, terobosan Jokowi-Ahok ini mesti diupayakan sekuat tenaga untuk sukses.
Kita memerlukan segala langkah untuk meminimalisir ruang bagi kesalahan apalagi langkah mundur.
Pada titik ini, skema teknokrat dan dukungan politik berperan sentral dalam menentukan sukses proses lelang jabatan, sukses bagi kontribusinya atas perbaikan kinerja birokrasi kelak, serta sukses efek tularnya bagi daerah-daerah lain yang mereplikasi.
Dampak psikologis
Pertama, betapa pun mulia nawaitunya, Jokowi harus menjelaskan secara terbuka dan langsung kepada jajaran birokrasinya perihal rencana kontestasi ini.
Hal ini penting untuk bisa mengukur dampak psikologis yang jika tidak terkelola secara baik akan berwujud resistensi dan akhirnya kontraproduktif.
Meskipun suatu jalan reformasi itu pahit dan butuh sikap tegas pemimpin politik, persuasi tetaplah penting untuk membawa semua pihak ke level pemahaman lengkap dan jernih sehingga lebih mudah untuk mendapatkan dukungan di tingkat pelaksanaan.
Termasuk di sini adalah manajemen resiko untuk mengelola dampak kehilangan jabatan ataupun peluang jabatan bagi mereka yang dari sisi career-path sudah berada dalam jalur otomatis menuju jabatan tersebut.
Kedua, jangan memulai langkah pertama dengan kontroversi yang tak perlu. Niat untuk memakai dan CSR bagi pembiayaan proses lelang bukan saja membuat publik ragu akan kejelasan akuntabilitas dan ketetapan peruntukan dana tanggung jawab sosial perusahaan tersebut.
Namun, juga ragu terhadap kelayakan rencana itu sendiri lantaran satu elemen krusial (dana) justru tampak belum tersedia.
Dengan besaran APBD hampir Rp50 triliun (2013), Jakarta jelas jauh dari situasi sulit secara financial untuk membiayai program penting ini.
Apalagi, faktanya, struktur APBD memiliki item alokasi darurat seperti Post Dana Tak Terduga atau pun dana di BKD maupun Sekda, dll.
Kalau semua itu pun dirasa sulit atau tak cukup memadai, proses lelang ini bisa dilakukan dengan upaya penghematan biaya bagi panitia seleksi yang banyak akan diisi pejabat internal sehingga sejatinya tak perlu honor tersendiri lantaran mereka sudah mendapatkan gaji plus tunjangan untuk menjalankan pekerjaannya.
Ketiga, pada akhirnya, lelang jabatan harus dilihat hanya sebagai pintu masuk atau bagian kecil dari lanskap besar reformasi birokrasi.
Untuk itu, langkah sinergis bagi penyusunan peta jalan penataan organisasi, perampingan struktur, pembinaan mental dan budaya layanan, penguatan proses bisnis dan tata kelola birokrasi harus pula jadi agenda integral Jokowi-Ahok.
Tanpa semua itu, Camat/Lurah baru hasil proses lelang tersebut hanya kembali menemukan lingkungan kerja yang kumuh, dan merasakan diri mereka bagai ikan kecil di kolam besar yang airnya tetap keruh dan berisi para pemburu rente yang masih bebas memancing di air keruh tersebut.
Mengiringi obsesi Gubernur/Wagub baru Ibukota tersebut, publik patut menyambut hadirnya janji perubahan menuju “Jakarta Baru” yang amat familiar sebagai tagline kampanye pemilukada lalu.
--- (Sumber Bisnis Indonesia – Kamis, 04 April 2013 – Opini) ---
Dibaca 449 kali
