. Bencana Sumatera, Sinyal Kuat Reformasi Hubungan Pusat-Daerah
Logo KPPOD

Bencana Sumatera, Sinyal Kuat Reformasi Hubungan Pusat-Daerah

kompas.id - 15 Desember 2025

Bencana Sumatera, Sinyal Kuat Reformasi Hubungan Pusat-Daerah

Bencana alam perlu dilihat sebagai bentuk penataan kewenangan yang belum harmonis antara pemerintah pusat dan daerah. Mulai dari pemberian izin pada aktivitas industri di kawasan lindung hingga kapasitas fiskal pemerintah yang masih minim untuk penanganan bencana.

Sudah 14 hari fase pertama tanggap darurat penanganan bencana Sumatera berjalan. Pemerintah juga telah memperpanjang masa tanggap darurat mulai 14 Desember 2025 hingga 25 Desember 2025. Dikutip dari siaran pers, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari mengatakan, pemerintah mulai meningkatkan langkah penanganan korban bencana dengan pemusatan titik pengungsian.

Selain itu, pemerintah juga sedang mematangkan rencana pembangunan hunian sementara (huntara). Rencana ini bersamaan dengan terus dilakukannya upaya pencarian dan pertolongan korban.

Sejauh ini, dari data BNPB, petugas kembali menemukan 21 jasad korban bencana. Total korban meninggal dalam bencana Sumatera mencapai 990 jiwa. Jumlah korban hilang masih 222 orang dan jumlah pengungsi 884.889 orang.

Korban bencana juga belum semua ditampung di tempat pengungsian, atau masuk dalam kategori pengungsi mandiri. Meskipun demikian, mereka tetap membutuhkan bantuan. Seperti Ismail (34), warga Laut Tawar, Aceh Tengah, yang kini sudah mengungsi ke rumah kerabatnya di Takengon. Ia mengungkapkan, listrik sudah mulai hidup dan air bersih mulai bisa diakses. Hanya saja, kebutuhan pokok, seperti beras, terus menipis. Sebelumnya, dari pemerintah desa, keluarganya hanya mendapatkan jatah 2-3 kilogram beras, lalu mendapatkan bantuan dari Bulog juga hanya 3 kg per keluarga sehingga sangat terbatas.

”Kami berharap banyak bantuan beras dan makanan pokok agar orang di sini bisa makan,” ungkapnya saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (11/12/2025).

Saat ini, menurut Ismail, kondisi jauh lebih baik dibandingkan minggu pertama pascabencana. Ia dan keluarga harus menahan lapar, berjalan kaki belasan kilometer untuk keluar dari keterisolasian. Ia dan keluarga tidak mengungsi ke pengungsian karena bergabung dengan kerabat dan keluarganya yang lain di Takengon, ibu kota Kabupaten Aceh Tengah. ”Saat awal-awal itu cari makan susah, kami tahan lapar, belum ada bantuan,” katanya.

Ismail tidak sendiri. Ada banyak penyintas bencana yang merasakan hal serupa, kehabisan bahan makanan dan belum bisa mengakses bantuan.

Sejak bencana terjadi, banyak spekulasi soal pemicu terjadinya bencana. Deforestasi menjadi salah satu yang paling sering disebut sebagai pemicu turunnya daya dukung dan daya tampung alam sehingga banjir atau bencana hidrometeorologi melanda.

Kompas, melalui Tim Jurnalisme Data, mengungkap, selama 1990-2024, hilangnya hutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat rata-rata 36.305 hektar per tahun. Jika dikonversikan per hari, ditemukan angka sekitar 99,46 hektar hilang per hari.

Angka ini setara dengan hilangnya 139 lapangan sepak bola per hari, dengan luas satu lapangan mencapai 7.140 meter persegi. Secara agregat, kehilangan hutan dalam 34 tahun seluas 1,2 juta hektar setara dengan luas dua kali Pulau Bali.

Tahun 1990, data dari laman pemetaan MapBiomas Indonesia menunjukkan masih ada 9,49 juta hektar hutan. Tahun 2024 berkurang menjadi 8,26 juta hektar. Penyusutan area hutan tertinggi terjadi di Sumut, yakni 500.404 hektar. Adapun penyusutan hutan di Aceh 379.309 hektar dan Sumbar 354.651 hektar (Kompas, Jumat 12 Desember 2025).

Penyusutan hutan 1990-2024 menjadi 690.777 hektar lahan sawit, kawasan tambang 2.160 hektar, kawasan perkotaan 9.666 hektar, hutan tanaman industri (HTI) 69.733 hektar. Sisanya, sekitar 1 juta hektar merupakan fungsi lahan, seperti pertanian, hutan bakau, dan karamba.

Alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit terbesar terjadi di Sumut, yakni 354.865 hektar atau 70 persen dari total alih fungsi lahan menjadi sawit. Disusul Sumbar sebesar 176.330 hektar dan Aceh 159.581 hektar.

Adapun perubahan hutan menjadi kawasan perkotaan terbesar terjadi di Kota Padang Pariaman, yakni hingga 1.119 hektar atau 11,6 persen dari total alih fungsi hutan menjadi area urban di tiga provinsi. Kemudian Kabupaten Deli Serdang 571 hektar dan Pasaman Barat 559 hektar.

Pemerintah pun melihat hal itu. Melalui Kementerian Kehutanan, pemerintah mengevaluasi kinerja puluhan perusahaan di Sumatera yang diduga jadi pemicu deforestasi. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni sebelumnya mengungkapkan akan mencabut lebih kurang 20 perizinan usaha pemanfaatan hutan atau PBPH yang berkinerja buruk di kawasan seluas 750.000 hektar.

Perizinan tersebut berlokasi di sejumlah wilayah, termasuk di tiga provinsi terdampak banjir dan longsor, yakni Aceh, Sumatera Utara, serta Sumatera Barat. Hal tersebut disampaikan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (4/12/2025).

Sebelum menindaklanjuti langkah penegakan hukum terkait penyebab bencana ekologis di Sumatera, dalam raker tersebut Raja Juli memaparkan data deforestasi Indonesia sejak 2020 hingga September 2025. Data yang dihimpun Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menunjukkan deforestasi hingga September 2025 mencapai 166.450 hektar.

”Deforestasi Indonesia hingga September menurun 49.700 hektar jika dibandingkan dengan tahun 2024 atau menurun 23,01 persen. Penurunan deforestasi tersebut juga teridentifikasi pada tiga provinsi terdampak banjir,” ujarnya.

Tata wewenang
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman mengungkapkan, bencana berulang yang terjadi di Indonesia selalu mengungkap persoalan besar yang sama, yakni mitigasi dan pemulihan pascabencana. Dalam kerangka desentralisasi dan otonomi daerah, masalah yang terjadi saat ini bisa dilihat sebagai persoalan penataan kewenangan yang belum menguatkan otonomi daerah dan desentralisasi antara pemerintah pusat dan daerah.

Di Indonesia, kata Herman, banyak daerah masih begitu bergantung pada pemerintah pusat, terutama dalam hal kapasitas fiskal. Dalam konteks bencana, komposisi belanja daerah untuk bencana itu sangat kecil dibandingkan dengan belanja lainnya, seperti barang dan jasa.

”Bahkan, tidak ada nomenklatur khusus belanja bencana di pemerintah daerah. Biasanya mereka menggunakan belanja tak terduga untuk penanganan bencana yang nilainya tidak besar. Kenapa demikian? Karena memang kapasitas fiskal di daerah itu masih sangat rendah,” ungkap Herman.

Herman menambahkan, selama ini kewenangan di sektor kehutanan dan pertambangan ada di tangan pemerintah pusat, padahal pemerintah daerah atau masyarakat di daerah yang menerima dampaknya, mulai dari kerusakan lingkungan hingga bencana yang terjadi sekarang.

”Dampak eksternalitas dari sektor-sektor itu (tambang dan kehutanan) dirasakan oleh pemerintah daerah, sementara di sisi lain penerimaan pemerintah daerah dari sumber daya alam dan segala aktivitasnya, termasuk pajak, itu sangat kecil,” ungkap Herman.

Herman mencontohkan, dana bagi hasil (DBH) yang diterima pemerintah daerah tidak sebanding dengan beban yang harus ditanggung ketika ada dampak eksternalitas dari aktivitas yang mengeksploitasi sumber daya alam di daerah. ”Skema bagi hasil yang diterima daerah semestinya setara dengan potensi dampak negatif yang ditanggung oleh pemerintah daerah,” jelasnya.

Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, kata Herman, memiliki potensi sumber daya alam yang luar biasa. Seharusnya, pemerintah daerah di tiga provinsi itu tidak memiliki masalah dengan keterbatasan anggaran untuk memitigasi atau memulihkan daerah terdampak bencana.

Sayangnya, lanjut Herman, bagi masyarakat, pemerintah daerah menjadi pihak yang paling disalahkan dalam pemulihan pascabencana. Padahal, pekerjaan rumah terbesarnya ada pada penataan kewenangan, termasuk dalam pemberian izin yang diberikan wewenangnya ke pusat.

Pemerintah pusat, kata Herman, memiliki wewenang dalam membuat perencanaan tata ruang yang seharusnya sudah harus memuat pemetaan status kawasan. Dengan demikian, ketika ada industri ekstraktif yang masuk ke kawasan yang dilindungi atau kawasan konservasi sudah ada perhitungan dampak-dampak yang dihasilkan.

”Di sektor kehutanan, misalnya, Kementerian Kehutanan memiliki kewenangan yang sangat signifikan untuk mengatur perencanaan tata ruang kawasan sehingga jika ada industri yang masuk dalam kawasan (terlarang) itu bisa dicegah sejak awal,” ungkap Herman.

Menurut Herman, perlu ada penguatan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang taat pada asas-asas pembagian urusan kewenangan. ”Lalu, bicara sektor kehutanan dan sumber daya alam, pengawasan mesti terbagi antara pusat dan daerah, jangan hanya diberikan kepada pemerintah pusat,” ungkapnya.

Dari bencana, kata Herman, bisa dilhat kurang harmonisnya hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam berbagai kebijakan, terutama yang berkaitan dengan bencana. Reformasi hubungan keduanya menjadi sangat urgen, termasuk reorientasi otonomi daerah.

Sumber: https://www.kompas.id/artikel/bencana-sumatera-sinyal-kian-lemahnya-otonomi-daerah


Dibaca 2779 kali