Dampak Pencabutan Izin Perusahaan Pemicu Banjir Sumatera
tempo.co - 12 Desember 2025
Pemerintah dan kepolisian tengah menelusuri aktivitas perusahaan yang diduga melakukan pembalakan hutan sehingga memperparah dampak banjir di Sumatera. Sebab, bahala yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025 itu tidak hanya membawa lumpur serta material bebatuan, tapi juga gelondong yang diduga berasal dari aktivitas perusahaan di kawasan hulu sungai.
Kementerian Kehutanan sedang menelisik 12 perusahaan pemegang perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) di daerah aliran Sungai Batang Toru, Sumatera Utara. Di provinsi tersebut, banjir bandang menerjang Tapanuli Selatan, Sibolga, dan Tapanuli Tengah, dengan total korban meninggal mencapai 338 jiwa hingga Senin pekan ini.
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengatakan banjir besar itu tak serta-merta dipicu oleh faktor curah hujan. "Tim Penegakan Hukum Kementerian Kehutanan sedang menyelidiki subyek hukum yang terindikasi berkontribusi terhadap bencana banjir dan tanah longsor di Aceh, Sumatera Utara, serta Sumatera Barat,” ujarnya dalam rapat bersama Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat pada Rabu, 4 Desember 2025.
Selain itu, Menteri Raja Juli mengatakan akan mencabut 20 izin PBPH yang punya kinerja buruk. Total luas hutan yang dikelola puluhan perusahaan itu mencapai 750 ribu hektare. Izin-izin tersebut tersebar di berbagai provinsi, termasuk di tiga daerah yang terdampak banjir di Sumatera.
Sejumlah ekonom dan pegiat lingkungan mendesak pemerintah mengevaluasi seluruh perizinan yang diterbitkan di kawasan hutan di Pulau Sumatera, khususnya yang berada di daerah aliran sungai. Menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Armand Suparman, pemerintah bisa mencabut izin usaha korporasi jika ditemukan pelanggaran lingkungan.
"Mestinya investigasi atau assessment seperti ini dilakukan setelah penerbitan izin. Baik itu yang terkait dengan pertambangan maupun yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam sektor kehutanan," kata Armand saat dihubungi, Rabu, 10 Desember 2025.
Mengenai dampak pencabutan izin perusahaan tersebut terhadap perekonomian daerah, Armand mengatakan, hal itu bisa saja menggerus perekonomian secara makro. Sebab, dana bagi hasil dari kegiatan perusahaan akan berkurang.
Meski begitu, kata Armand, kehilangan pendapatan dari sektor ekstraktif itu tidak sebanding dengan dampak sosial dan kerusakan yang ditimbulkannya. Banjir Sumatera, misalnya, ditaksir menelan kerugian sekitar Rp 200 triliun. Kerugian tersebut tidak setara dengan setoran yang diterima pemerintah daerah dan pemerintah pusat dari industri seperti pertambangan dan perkebunan. "Kontribusi ekonominya itu jauh di bawah apa yang jadi dampak negatif dari kegiatan ekstraktif seperti ini," ujarnya.
Menurut peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Viky Arthiando, perekonomian lokal justru membaik ketika kondisi lingkungan mulai pulih saat izin tambang dan perkebunan dicabut. Pola ini terjadi di beberapa daerah, seperti Yogyakarta, Maluku Utara, Morowali, dan Konawe.
Berdasarkan studi yang dilakukan Celios di Maluku Utara, misalnya, puncak produk domestik regional bruto (PDRB) akibat industri ekstraktif terjadi pada tahun ketiga hingga keempat yang mencapai Rp 1,91 triliun. Setelah itu, trennya terus menurun seiring dengan memburuknya kondisi lingkungan. Sebaliknya, jika daerah berfokus pada ekonomi restoratif, pertumbuhan ekonomi memang tidak secepat sektor tambang, tapi hasilnya lebih berkelanjutan.
"Pada tahun kelima, PDRB dapat menyaingi sektor tambang dengan capaian Rp 1,94 triliun dan grafiknya terus meningkat," ujarnya.
Pola serupa terlihat pada sektor perkebunan. Viky mengatakan moratorium perkebunan sawit berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan meningkatkan pendapatan masyarakat dibanding skema non-moratorium. Menurut dia, kondisi ini terjadi karena aktivitas tambang dan perkebunan dalam jangka panjang justru memperbesar ketergantungan masyarakat pada sumber pendapatan yang bebannya terus meningkat.
Di lain sisi, Viky mengatakan, di banyak wilayah tambang dan perkebunan, masyarakat di sekitar lokasi justru hidup dalam kemiskinan karena kerusakan sumber daya alam. Studi Celios di tiga kawasan penghiliran nikel, seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara, mengungkap pertumbuhan ekonomi dari sektor tersebut tidak memasukkan kerugian kesehatan dan dampak lingkungan sebagai faktor pengurang.
Menurut Celios, pada 2060 diperkirakan ada 55.600 korban jiwa dan kerugian ekonomi hingga Rp 592 triliun sebagai konsekuensi tak terhindarkan dari aktivitas pengolahan ekstraktif di tiga wilayah itu. "Dampak negatif tersebut ditanggung langsung oleh masyarakat," kata Viky.
Menurut Viky, pola itu tidak jauh berbeda dengan kondisi di Sumatera saat ini. Kerugian akibat banjir di tiga daerah terdampak jauh lebih besar daripada pendapatan daerah dari sektor perkebunan dan tambang.
Di Aceh, misalnya, per 1 Desember 2025, kerugian akibat banjir mencapai Rp 2,04 triliun. Angka ini melampaui penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tambang Aceh yang hanya Rp 929 miliar per 31 Agustus 2025. Selain itu, dana bagi hasil (DBH) dari perkebunan sawit pun hanya Rp 12 miliar sepanjang 2025, sementara DBH minerba Rp 56,3 miliar.
Kepala Global Greenpeace untuk Kampanye Hutan Kiki Taufik mengatakan pencabutan izin perusahaan ekstraktif kerap dianggap merugikan ekonomi daerah. Padahal, dalam banyak kasus, aktivitas industri tersebut tidak memberikan manfaat jangka panjang karena padat modal dan minim menyerap tenaga kerja lokal.
Selain itu, keuntungan perusahaan umumnya mengalir ke luar wilayah sehingga tidak memperkuat ekonomi masyarakat. “Penguasaan lahan dalam skala besar mematikan ekonomi berbasis lahan milik warga,” ujar Kiki saat dihubungi, Rabu, 10 Desember 2025.
Menurut dia, berhentinya operasi perusahaan justru membuka peluang bagi model ekonomi alternatif yang lebih adil, seperti hutan adat, perhutanan sosial, agroforestry, dan usaha masyarakat yang selama ini tersisih. Pasalnya, kontribusi ekonomi sektor tambang dan perkebunan terhadap pendapatan daerah sering jauh lebih kecil dibanding dampak ekologis dan sosial yang ditimbulkan.
Kiki mencontohkan DAS Batang Toru yang kehilangan sekitar 70 ribu hektare hutan sepanjang 1990-2022 atau setara dengan 21 persen luas kawasan tersebut. Saat ini, sekitar 94 ribu hektare (28 persen) dari DAS itu dibebani izin tambang, perkebunan sawit, hutan tanaman industri, dan proyek PLTA. Aktivitas tersebut memicu erosi dengan sedimentasi sekitar 31,6 juta ton per tahun, yang menunjukkan tingkat kerusakan ekologis serius.
Namun rentetan kerugian, seperti hilangnya fungsi resapan air, degradasi hutan, lenyapnya keanekaragaman hayati, hingga beban emisi karbon, tidak pernah dihitung sebagai pengurang dalam penerimaan asli daerah dari kegiatan ekstraktif. “Padahal nilai kerusakannya nyata dan terukur. Jika seluruh kerugian ini dimasukkan, manfaat ekonomi perusahaan sebenarnya boncos: penerimaan kecil, kerusakannya besar,” kata Kiki.
Perekonomian masyarakat di sekitar tambang dan perkebunan juga diliputi kemiskinan. Menurut Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang Melky Nahar, kondisi ini muncul karena model usaha ekstraktif merusak struktur ekonomi desa. “Lahan pangan berubah menjadi kebun monokultur atau tambang terbuka; sumber air tercemar; jalur produksi rakyat hancur; dan ruang hidup tradisional seperti ladang, hutan rakyat, serta sungai terus menyusut,” ujarnya.
Ia menambahkan, lapangan kerja yang dijanjikan perusahaan umumnya bersifat sementara, berupah rendah, dan banyak diisi tenaga kerja dari luar daerah. Akibatnya, ekonomi lokal bergantung pada segelintir perusahaan dan mudah goyah ketika harga komoditas turun atau izin perusahaan berakhir.
Dalam kondisi ini, menurut Melky, pencabutan izin bukan ancaman bagi ekonomi warga lokal. Ancaman sebenarnya muncul ketika izin tetap berjalan tanpa perbaikan. Setiap musim hujan, kerugian akibat banjir dan kerusakan lingkungan terus mengintai. "Sedangkan keuntungan industri ekstraktif hanya dinikmati sedikit orang," tuturnya.
Sumber: https://www.tempo.co/ekonomi/mudarat-izin-usaha-banjir-sumatera-2098148
Dibaca 2642 kali
