Baru Sembilan Bulan Menjabat, Tiga Kepala Daerah Hasil Pilkada 2024 Ditangkap KPK
kompas.id - 10 November 2025
Sebanyak tiga kepala daerah hasil Pilkada 2024 telah terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam tiga bulan terakhir. Penangkapan beruntun itu mengindikasikan masih kuatnya politik berbiaya tinggi Pilkada 2024 yang mendorong praktik korupsi di tingkat daerah.
Ketiga kepala daerah yang ditangkap KPK ialah Bupati Kolaka Timur Abdul Azis, Gubernur Riau Abdul Wahid, dan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko. Mereka dilantik serentak pada 20 Februari 2025. Namun, baru beberapa bulan menjabat mereka sudah ditangkap antara Agustus dan November 2025 atas dugaan suap, pemerasan, hingga jual beli jabatan.
Abdul Azis terjaring OTT KPK pada 7 Agustus 2025 atau kurang dari enam bulan setelah menjabat. Abdul Azis disangkakan menerima suap terkait proyek pembangunan rumah sakit tipe C dengan total anggaran Rp 126,3 miliar. Melalui bawahannya, ia diduga meminta commitment fee sebesar 8 persen atau sekitar Rp 9 miliar dari rekanan proyek.
Sementara itu, Gubernur Riau Abdul Wahid ditetapkan sebagai tersangka pemerasan terhadap Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, dan Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP), Rabu (5/11/2025). Ia diduga meminta imbalan dari penambahan anggaran tahun 2025 yang naik dari Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar, dengan fee sebesar 5 persen atau sekitar Rp 7 miliar dari para kepala UPT wilayah jalan dan jembatan.
Terkini, Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko juga terjaring OTT KPK pada Jumat (7/11/2025). Penangkapan Sugiri diduga terkait dengan mutasi dan promosi jabatan. Hingga berita ini diturunkan pukul 15.30, KPK masih memeriksa Sugiri beserta enam orang lain.
”Pihak-pihak yang diamankan dalam kegiatan tangkap tangan tersebut akan dilakukan pemeriksaan lanjutan secara intensif. Selain mengamankan sejumlah 13 orang dalam giat tangkap tangan di Ponorogo, tim juga mengamankan sejumlah uang tunai dalam bentuk mata uang rupiah,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, melalui keterangan tertulis, Sabtu (8/11/2025).
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Zaenur Rohman, menilai, rentetan penangkapan kepala daerah menegaskan bahwa sistem politik daerah masih dikuasai politik berbiaya tinggi. Kondisi ini juga menegaskan bahwa politik berbiaya tinggi masih terjadi dalam kontestasi Pilkada 2024.
Menurut dia, politik berbiaya tinggi mendorong calon kepala daerah mencari dana besar untuk kampanye. Setelah terpilih, mereka berusaha mengembalikan modal politik dengan berbagai cara, antara lain melalui proyek pengadaan, perizinan, atau jual beli jabatan. Pola ini menimbulkan rantai korupsi yang terus berulang di pemerintahan daerah.
”Ketika sistem politik tidak berubah, problemnya juga tidak akan hilang,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu.
Zaenur melanjutkan, dua sumber utama tingginya biaya politik adalah pembelian suara (vote buying) dan pembelian dukungan partai politik (candidacy buying). Praktik tersebut sering kali membuat kepala daerah terjerat untuk melakukan tindakan koruptif.
”Tanpa penegakan hukum yang tegas, praktik tersebut akan terus terjadi di setiap pilkada dan melahirkan pejabat yang terjebak pada politik balas budi,” ucapnya.
Sejak 2004 hingga kini, KPK telah menjerat lebih dari 201 kepala daerah karena kasus korupsi. Penangkapan tiga kepala daerah hasil Pilkada 2024 dalam waktu kurang dari setahun menunjukkan reformasi politik lokal belum menyentuh akar persoalan.
Zaenur menilai, pemberantasan korupsi kepala daerah tidak cukup lewat penindakan. Reformasi sistem pendanaan politik, transparansi dana kampanye, dan penguatan lembaga pengawas harus menjadi prioritas. Kasus-kasus ini pun seharusnya menjadi pengingat dan pelajaran bagi kepala daerah lain.
”Kalau biaya politik tetap mahal dan pengawasan tumpul, pergantian kepala daerah hanya akan mengganti pelaku, bukan memperbaiki sistem,” ujar Zaenur.
Celah korupsi
Sebelumnya, hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Supratman. Ia menyinyalir, masih adanya pimpinan daerah yang ditangkap karena korupsi menunjukkan bahwa problem biaya politik tinggi saat pilkada belum terjawab. Bahkan, di Pilkada 2024, biaya politik itu bisa jadi lebih tinggi sehingga tren pimpinan daerah yang korupsi setelah terpilih di pilkada dan menjabat terus berlanjut (Kompas.id, 8/8/2025).
Mengutip riset Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), lanjut Herman, dalam sekali pencalonan kepala daerah dibutuhkan biaya yang dipersiapkan sebesar Rp 25 miliar-Rp 30 miliar.
Selama ini, akibat tingginya biaya politik itu, kepala daerah coba memulihkannya dengan korupsi di periode awal menjabat. ”Kalau kita lihat gaji dasarnya itu misal Rp 2 juta-Rp 3 juta, biaya operasional kepala daerahnya itu per bulan bisa mulai Rp 150 juta. Akan tetapi, kan, itu belum bisa menutupi biaya politik yang sudah dikeluarkan,” ungkap Herman.
Ia menjelaskan, korupsi pengadaan barang dan jasa, jual beli jabatan dan perizinan, kolusi, serta nepotisme marak terjadi di daerah.
Apalagi, kepala daerah memiliki kekuasaan yang sangat besar, termasuk dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Faktor-faktor itu yang menjadi celah melakukan tindak pidana korupsi.
Untuk mencegah korupsi berulang, diperlukan peran pengawasan internal dan eksternal pemerintah daerah yang mesti diperkuat. Ia juga mendorong agar ada penguatan kolaborasi lembaga-lembaga pengawas dengan publik.
”Misalnya, dengan melibatkan pengawas-pengawas internal dan eksternal itu sejak proses perencanaan pengadaan barang dan jasa. Kita juga berharap agar pengawasan eksternal dari komponen masyarakat sipil yang mesti diperkuat,” tutur Herman.
Lemahnya pengawasan di daerah juga disebut Zaenur memperbesar risiko korupsi. Inspektorat daerah kerap tidak berdaya menghadapi kepala daerah yang merupakan pejabat pembina kepegawaian. Sementara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang seharusnya menjadi pengawas justru sering terlibat dalam praktik bagi-bagi proyek dan anggaran.
Oleh karena itu, Pukat UGM menilai perlu ada reformasi kelembagaan agar fungsi pengawasan berjalan efektif. Inspektorat daerah perlu diberi posisi yang lebih independen. Sementara DPRD harus memiliki mekanisme transparansi yang kuat untuk mencegah konflik kepentingan.
Sumber: https://www.kompas.id/artikel/baru-sembilan-bulan-menjabat-tiga-kepala-daerah-hasil-pilkada-2024-ditangkap-kpk
Dibaca 3641 kali
