. Prabowo Kebut Megaproyek Koperasi Merah Putih
Logo KPPOD

Prabowo Kebut Megaproyek Koperasi Merah Putih

kompas.id - 7 November 2025

Prabowo Kebut Megaproyek Koperasi Merah Putih

Presiden Prabowo Subianto mengebut megaproyek pembentukan dan pembangunan Koperasi Merah Putih. Ambisi ini ditempuh dengan mengakumulasikan lebih dari 13 organisasi negara dan seluruh pemerintah daerah, serta fiskal dan likuiditas yang masif nilainya.

”Per siang hari ini (rapat) di kantor Kemenko Pangan itu terdata ada 11.000-an titik yang telah terinventarisasi. Ini akan kita verifikasi faktual, kesesuaian lahan, kemudian status dan lain sebagainya. Dari situ dilakukan proses pembangunan gudang, gerai, dan kelengkapannya,” kata Menteri Koperasi Ferry Juliantono menjawab pertanyaan wartawan di Jakarta, Kamis (6/11/2025).

Saat ini pemerintah telah menyalurkan dana senilai Rp 600 miliar sebagai uang muka termin pertama kepada PT Agrinas Pangan Nusantara selaku pelaksana proyek untuk membangun 7.923 titik koperasi. Targetnya, data tanah untuk lokasi pembangunan fisik koperasi yang terinventarisasi per November 2025 mencapai 40.000 data untuk pembangunan 20.000 koperasi.

Pada Desember 2025, pemerintah menargetkan bisa menginventarisasi 80.000 data tanah untuk pembangunan 40.000-50.000 koperasi. Dengan rencana ini, target pembangunan fisik dari 80.000 Koperasi Merah Putih bisa selesai dan mulai beroperasi penuh per Maret 2026.

Koperasi Merah Putih adalah salah satu program prioritas nasional pemerintahan Prabowo sekaligus perwujudan Asta Cita menuju Indonesia Emas 2045. Percepatan pembentukan dan pembangunan Koperasi Merah Putih ditempuh pemerintah dengan pertama-tama menerbitkan dua dasar hukum berupa instruksi presiden (inpres).

Guna percepatan pembentukan, pemerintah menerbitkan Inpres Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Merah Putih yang terbit per 27 Maret 2025. Berselang tujuh bulan kemudian, persisnya per 22 Oktober 2025, pemerintah menerbitkan Inpres Nomor 17 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan Fisik Gerai, Pergudangan, dan Kelengkapan Koperasi Merah Putih.

Merujuk Inpres No 9/2025, pembentukan lembaga di tingkat desa atau kelurahan itu merupakan upaya mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan berkelanjutan dan pembangunan dari desa untuk pemerataan ekonomi.

Pemerintah, melalui Inpres No 17/2025, memerintahkan kepada para pemangku kepentingan terkait untuk mempercepat pembangunan fisik gerai, pergudangan, dan kelengkapan Koperasi Merah Putih.

Pemangku kepentingan yang dimaksud meliputi delapan menteri, Jaksa Agung, Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Kepala Badan Pengaturan Badan Usaha Milik Negara, Керala Badan Pelaksana Badan Pengelola Investasi Danantara, dan Direktur Utama PT Agrinas Pangan Nusantara.  

Pemerintah juga melibatkan seluruh gubernur serta bupati dan wali kota. Pelaksana pembangunan fisik gerai, pergudangan, dan kelengkapan koperasi adalah PT Agrinas Pangan Nusantara (persero).

Menteri Pertahanan dilibatkan guna memberikan dukungan pengamanan dan fasilitasi bagi percepatan pembangunan gerai, pergudangan, dan kelengkapan Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia, terutama di kawasan strategis, perbatasan, dan daerah rawan. Ini dilakukan melalui penyediaan personel, sarana prasarana, pengamanan aset, serta koordinasi lintas sektor.

Jaksa Agung diinstruksikan memberikan dukungan pengawalan dan pengamanan bidang intelijen penegakan hukum untuk memastikan pelaksanaan program percepatan pembangunan fisik gerai, pergudangan, dan kelengkapan Koperasi Merah Putih sesuai undang-undang.

Dari sisi anggaran, menteri keuangan ditugaskan menyalurkan dana alokasi umum (DAU)/dana bagi hasil (DBH) atau dana desa untuk membiayai proyek percepatan pembangunan fisik Koperasi Merah Putih. Menteri Keuangan juga diinstruksikan menempatkan dana pada bank BUMN sebagai sumber likuiditas guna pembiayaan kepada PT. Agrinas Pangan Nusantara dengan plafon Rp 3 miliar per unit koperasi dengan tenor enam tahun.

Sementara pemerintah daerah diinstruksikan untuk mengalokasikan anggaran dalam APBD, lahan aset daerah atau desa/kelurahan minimal 1.000 meter persegi atau jika tak memiliki lahan seluas itu bisa menyesuaikan, serta mempercepat pemberian izin terkait.

Adapun PT Agrinas Pangan Nusantara ditunjuk sebagai pelaksana proyek pembangunan gerai, pergudangan, dan kelengkapan koperasi melalui swakelola dan/atau penyedia dengan skema padat karya. Pemilihan penyedia dilakukan melalui metode penunjukan langsung.

Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Yanuar Nugroho, berpendapat, proyek yang melibatkan 13 kementerian/lembaga serta pemerintah daerah membawa konsekuensi tata kelola program menjadi sangat kompleks. Semakin banyak aktor, semakin tinggi potensi fragmentasi koordinasi, ego sektoral, tumpang tindih kewenangan, dan perlambatan eksekusi.

”Model kebijakan seperti ini rawan menjadi administrative overload. Artinya, sumber daya terpakai untuk koordinasi, bukan untuk hasil. Pengalaman panjang birokrasi kita menunjukkan bahwa ketika struktur terlalu luas, akuntabilitas justru kabur: tidak jelas siapa yang bertanggung jawab apabila target tidak tercapai. Pada akhirnya, kebijakan besar berisiko berubah menjadi ceremonial compliance: ada instrumen dan instruksi, tetapi tidak efektif di lapangan,” katanya.

Terkait penggunaan APBN untuk pembangunan fisik gerai, gudang, dan kelengkapan koperasi akan membebani fiskal negara secara signifikan. Pertanyaan kuncinya, menurut Yanuar, berapa biaya per koperasi, dan apa indikator keberhasilan yang terukur? Tanpa desain implementasi berbasis kinerja, risiko pembiayaan yang sia-sia tinggi.

”Bangunan ada, tetapi tidak produktif. Koperasi berdiri, tetapi tidak berfungsi. Sejarah pembangunan fisik di banyak sektor membuktikan bahwa infrastruktur tanpa sistem manajemen, pasar, dan kompetensi SDM hanya menciptakan aset pasif, bukan pertumbuhan ekonomi desa,” katanya.

Yanuar juga menyoroti skema pembiayaan yang sangat ambisisus melalui penempatan dana negara di bank BUMN untuk likuiditas koperasi dengan alokasi maksimal Rp 3 miliar per koperasi. Jika dikalkulasi untuk 80.000 koperasi, angkanya mencapai Rp 240 triliun. Ini bukan angka kecil. Ini setara dengan hampir seperempat total belanja kementerian/lembaga dalam APBN, atau sekitar dua kali anggaran Kementerian PUPR pada 2024.

Pertanyaan mendasarnya, Yanuari melanjutkan, apa rencana mitigasi risiko kredit? Siapa yang menanggung jika koperasi gagal bayar? Apakah ada due diligence, credit scoring, atau mekanisme penjaminan? Tanpa tata kelola risiko yang kuat, kebijakan ini dapat berubah dari ”demokratisasi ekonomi” menjadi distribusi moral hazard skala nasional.

”Catatan saya, ketika negara mengerahkan sumber daya sebesar ini—kelembagaan, fiskal, dan likuiditas—tanpa arsitektur kebijakan yang rapi, risikonya bukan hanya inefisiensi, melainkan juga kerentanan fiskal, pemborosan anggaran, dan kegagalan program. Koperasi desa memang dapat menjadi lokomotif ekonomi rakyat, tetapi hanya jika dibangun lebih dari sekadar fisik. Ini juga mencakup pasar, tata kelola, manajemen, dan integritas,” katanya.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman menyatakan, pemerintah daerah mengalami tekanan keuangan luar biasa. Sebanyak 32 urusan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tetap menjadi urusan daerah. Namun, sekarang, alokasi anggaran transfer daerah dibabat.

Dalam kondisi itu saja, sulit bagi pemerintah daerah untuk menyelenggarakan layanan publik secara maksimal. Sekarang ditambah pemerintah daerah wajib untuk mendukung program prioritas nasional, seperti Koperasi Merah Putih dan Makan Bergizi Gratis, pemerintah daerah akan semakin kesulitan.

”Kalau kepala daerah tidak menjalankan, akan ada surat teguran dari mendagri. Kalau dua kali tak mengindahkan, kepala daerah bisa diberhentikan selama 3 bulan.  Dan, jika setelah sanksi kepala daerah masih tidak mengindahkan, ada ancaman sanksi pemberhentian definitif,” katanya.  

Tekanan keuangan daerah, Suparman melanjutkan, akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah yang tidak akan maksimal. Mengingat beban anggaran belanja pegawai sudah cukup tinggi, pemerintah daerah pasti akan memprioritaskan belanja pegawai.

Sisanya baru dialokasikan untuk belanja modal dan belanja barang- jasa. Dengan demikian, semakin sempit ruang fiskal daerah untuk menyelenggarakan layanan publik, termasuk pembangunan infrastruktur.

”Saat ini sudah ada wacana sejumlah pemerintah daerah untuk memotong tunjangan penghasilan ASN. Ini terpaksa dilakukan. Dan, ini  bisa memengaruhi kinerja ASN daerah,” katanya.  

Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto menilai, rencana pembangunan Koperasi Merah Putih sesuai inpres baru ini menunjukkan komitmen kuat pemerintah terhadap pembangunan ekonomi rakyat. Namun, ia menyayangkan besarnya dana dan skala proyek yang minim partisipasi rakyat.

”Pembangunan fisik koperasi di desa seharusnya menjadi momentum untuk menggerakkan energi kolektif masyarakat, bukan hanya untuk membangun gedung dan gudang, tetapi juga membangun jiwa gotong royong dan kesadaran kemandirian,” katanya.

Ia melanjutkan, pembangunan Koperasi Merah Putih seharusnya juga bukan proyek yang dikendalikan penuh oleh BUMN atau dikerjakan oleh kontraktor pusat. Proyek ini semestinya menjadi gerakan sosial-ekonomi berbasis masyarakat desa.

”Pemerintah cukup menjadi fasilitator dan pendorong. Rakyat yang mesti menjadi subyek pembangunan, bukan obyek proyek,” ujarnya.

Sumber: https://www.kompas.id/artikel/pemerintah-kebut-megaproyek-koperasi-merah-putih


Dibaca 7371 kali