. Ruang Abu-abu di Fenomena ”Jatah Preman” Kepala Daerah
Logo KPPOD

Ruang Abu-abu di Fenomena ”Jatah Preman” Kepala Daerah

kompas.id - 7 November 2025

Ruang Abu-abu di Fenomena ”Jatah Preman” Kepala Daerah

Operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi di Pekanbaru, Riau, kembali membuka tabir lama tentang perilaku koruptif kepala daerah dan juga penyelenggara negara di pemerintah pusat. Sebagian kalangan menyebut fenomena ini muncul karena sistem pengelolaan keuangan daerah dan birokrasi masih memberi ruang abu-abu bagi tindakan koruptif. Seperti apakah itu?

Dalam operasi yang menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid, penyidik menemukan indikasi kuat adanya praktik pemerasan terhadap pegawai di Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (PUPR-PKPP) Provinsi Riau.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak, dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (5/11/2025), menyebut praktik tersebut sebagai bentuk ”jatah preman”. Istilah itu memang tak lazim di dunia birokrasi, tetapi menggambarkan pola setoran dari bawahan kepada atasan yang sudah mengakar.

Para pejabat di Dinas PUPR-PKPP Riau ataupun unit pelaksana teknis (UPT) diminta menyetor sebagian dana proyek kepada gubernur sebagai imbalan atas penambahan anggaran dan keamanan jabatan. Bahkan, jika menolak, pegawai diancam akan dicopot dari jabatannya.

”Para kepala UPT yang tidak menuruti perintah tersebut diancam akan dimutasi atau dicopot dari jabatannya. Di lingkungan Dinas PUPR-PKPP Riau, praktik ini dikenal dengan sebutan jatah preman,” ujar Tanak.

Dalam konstruksi perkara yang dipaparkan KPK, Abdul Wahid diduga berulang kali memerintahkan bawahannya mengumpulkan fee dari UPT di bawah Dinas PUPR-PKPP. Uang hasil pungutan dikumpulkan oleh sekretaris dinas dan kepala UPT, lalu diserahkan melalui tenaga ahli serta kepala dinas untuk diteruskan kepada gubernur.

Kasus yang mencuat di Riau menambah daftar panjang kepala daerah yang terjerat dalam praktik serupa. Pola pemerasan terhadap perangkat daerah dengan beragam istilah bukan fenomena baru, melainkan pola lama yang berulang.

Bekas Penjabat Wali Kota Pekanbaru Risnandar Mahiwa, misalnya, ditangkap pada awal Desember 2024 karena diduga menerima aliran dana hasil korupsi dari pemotongan anggaran ganti uang pada Bagian Umum Sekretariat Daerah Kota Pekanbaru. Praktik itu diduga terjadi sejak Juli 2024 hingga Desember 2024 dengan barang bukti sebesar Rp 2,5 miliar.

Di Bengkulu, pada akhir November 2024, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah ditetapkan sebagai tersangka kasus pemerasan dan gratifikasi dari sejumlah pejabat di lingkungan Pemprov Bengkulu. Uang yang dikumpulkan dari pegawainya diduga akan digunakan untuk pemenangan dirinya di Pilkada 2024.

”Sesuai dengan arahan RM (Rohidin Mersyah), dia meminta dukungan dari setiap kepala OPD (organisasi perangkat daerah), kepala dinas, ada perintah untuk menghimpun dana, termasuk lewat potongan dari tunjangan perbaikan penghasilan, termasuk iuran dari pengusaha,” ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, kala itu.

Pola serupa juga ditemukan di Kalimantan Selatan. Bekas Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor ditangkap KPK pada awal Oktober 2024 karena diduga menerima fee sebesar 5 persen dari setiap paket pekerjaan di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Kalimantan Selatan. Dalam lelang proyek sudah ada pembagian yang disepakati, yakni 2,5 persen untuk pejabat pembuat komitmen (PPK) dan 5 persen untuk Sahbirin Noor.

Modus pungutan dan setoran tak tak hanya menjangkiti pemerintahan daerah. Di tingkat kementerian, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo—saat itu—juga disebutkan memerintahkan setiap unit eselon I dan II di Kementan menyetorkan uang mulai dari 4.000 dollar AS hingga 10.000 dollar AS. Pungutan itu berasal dari ASN di internal Kementan guna memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga.

Tak lahir dari perilaku individu
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman menilai, praktik permintaan fee seperti yang disebut sebagai ”jatah preman” tidak lahir dari perilaku individu semata. Fenomena ini muncul karena sistem pengelolaan keuangan daerah dan birokrasi masih memberi ruang abu-abu bagi tindakan koruptif.

Menurut dia, mulai dari regulasi terkait keuangan daerah, pengadaan barang dan jasa, hingga manajemen ASN belum sepenuhnya menjamin keterbukaan. Publik seharusnya bisa menelusuri arah penggunaan anggaran dari tahap perencanaan hingga realisasi, tetapi kewajiban membuka informasi itu belum diatur dengan baik. Kondisi ini diperparah oleh kewenangan kepala daerah sebagai PPK yang kerap dijadikan alat tekanan, di mana loyalitas bawahan diukur dari kesediaan menyetor uang.

”Kita memang sudah punya e-katalog dan e-procurement, tetapi sistem-sistem ini tidak bisa mengenali permufakatan jahat antara vendor dan pejabat pembuat komitmen. Transaksi yang tampak sah di atas kertas bisa saja sarat permainan di lapangan,” ujarnya.

Herman menambahkan, pengawasan pemerintah pusat juga belum efektif menekan potensi perilaku pemerasan. Pengawasan cenderung masih berorientasi administratif karena hanya menilai kesesuaian dokumen, bukan integritas proses.

”Penyelesaian paling mendasar adalah menjalankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam perencanaan serta penganggaran. Tanpa itu, kasus-kasus seperti di Riau akan terus berulang,” ujarnya.

Peneliti Indonesia Corruption Watch, Egi Primayogha, menambahkan, praktik pemerasan seperti jatah preman merupakan modus lama yang terus berulang. Selain disebabkan lemahnya sistem pengawasan, juga kepala daerah cenderung berani melakukan praktik ini karena menganggap KPK telah dilemahkan.

Akibatnya, kepala daerah tetap berani meminta jatah anak buahnya meskipun KPK sudah mengetahui modus tersebut sebagai salah satu yang paling umum terjadi. ”Mungkin sekarang kepala daerah merasa KPK sudah tidak sekuat dulu sehingga berani meminta jatah. Kalau dulu, mereka mungkin berpikir berkali-kali sebelum korupsi,” katanya.

Dalam bukunya Politik Jatah Preman, peneliti asal Australia, Ian Douglas Wilson, menunjukkan bahwa premanisme di Indonesia tidak hanya hidup di jalanan, tetapi juga menyusup ke dalam struktur kekuasaan negara. Wilson menyebut gejala ini sebagai bureaucratic gangsterism, perpaduan antara kekuasaan formal birokrasi dan logika informal premanisme yang sama-sama beroperasi melalui intimidasi, patronase, dan distribusi rente.

Pada masa Orde Baru, ”jatah preman” identik dengan uang keamanan yang mengalir dari pejabat kepada kelompok preman demi membeli ketertiban dan loyalitas. Namun, setelah desentralisasi, arah aliran itu berbalik. Kepala daerah kini menggunakan kekuasaan administratif untuk mutasi, promosi, hingga politik anggaran sebagai alat tekanan dan pemerasan.

Dalam praktiknya, kepala daerah bertindak layaknya preman birokratik. Mereka bukan lagi membayar perlindungan, melainkan memungutnya dari bawahan dan rekanan. Dalam kerangka Wilson, praktik seperti ini menunjukkan bahwa premanisme tidak pernah benar-benar hilang, tetapi hanya berganti seragam dan sasaran.

Sumber: https://www.kompas.id/artikel/ruang-abu-abu-di-jatah-preman-kepala-daerah


Dibaca 770 kali