. DPRD Jabar Desak Audit Proyek TPPAS Nambo dan Legoknangka yang Terseok-seok dan Mangkrak Satu Dekade
Logo KPPOD

DPRD Jabar Desak Audit Proyek TPPAS Nambo dan Legoknangka yang Terseok-seok dan Mangkrak Satu Dekade

pikiran-rakyat.com - 15 Oktober 2025

DPRD Jabar Desak Audit Proyek TPPAS Nambo dan Legoknangka yang Terseok-seok dan Mangkrak Satu Dekade

Pemerintah Provinsi Jawa Barat diminta untuk melakukan audit terhadap pekerjaan proyek strategis sampah yakni Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Nambo dan juga TPPAS Legoknangka. Sehubungan kedua proyek tersebut terseok-seok. 

Bahkan, proyek TPPAS Nambo sejak 2017 sampai saat ini, tidak terealisasikan sebagaimana direncanakan. Apalagi, proyek strategis tersebut juga mendapat dukungan pendanaan dari APBD Provinsi Jawa Barat dan APBN yang cukup besar. 

Misalnya saja, untuk TPPAS Nambo yang terletak di Desa Lulut, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, disebutkan dukungan pendanaan dari APBD Jawa Barat sebesar Rp 75 miliar dan dari APBN sebesar Rp 118 miliar, sebagaimana dilansir Ditjen Pembiayaan Insfrastruktur Pekerjaan Umum Kementerian PU. 

Padahal, kondisinya saat ini Pemerintah Provinsi Jawa Barat memutus kontrak kerja pengelolaan dengan PT Jabar Bersih Lestari (JBL). Ketua Komisi 1 DPRD Jawa Barat Rahmat Hidayat Jati kepada “PR” mengatakan, sudah seharusnya Pemerintah Provinsi Jawa Barat melakukan audit atas pelaksanaan pekerjaan TPPAS yang menjadi proyek strategis Jawa Barat. 

“Dengan terseokseoknya kedua TPPAS tersebut, sudah seharusnya dilakukan audit dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan kedua proyek tersebut, persoalan apa saja dan kenapa realisasinya tidak sesuai dengan yang direncanakan,” ujarnya, Senin 13 Oktober 2025. 

Dijelaskan Rahmat Hidayat, proses audit sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban kepada publik atas pelaksanaan proyek strategis Jawa Barat yang erat hubungannya dengan kepentingan publik. “Contoh TPPAS Nambo sejak tahun 2017 sampai sekarang, tidak beres-beres. Ini harus dilakukan audit, harus diperiksa apa persoalannya. Kenapa ini terjadi,” ucapnya. 

Audit terhadap proyek strategis tersebut akan banyak manfaat. Selain sebagai bahan evaluasi dan mengetahui persoalan apa yang terjadi, juga akan menjadi pembelajaran bagi Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam setiap melaksanakan proyek yang bernilai strategis. 

“Sebelum proyek sampah di Jawa Barat dibiayai oleh Danantara, maka alangkah bagusnya kedua proyek strategis itu diaudit. Ini akan menjadi pembelajaran dan sekaligus evaluasi untuk pekerjaan proyek sampah lainnya,” kata Rahmat Hidayat. 

Seperti diberitakan “PR” dalam rancangan di atas kertas, dengan TPPAS Nambo yang memiliki kapasitas pengolahan sampah sampai 1.800 ton per hari, maka persoalan sampah di wilayah Bogor Raya, yakni Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok akan tertangani. 

Begitu pula dengan kapasitas TPPAS Regional Legoknangka sebesar 2.131 ton per hari, maka sampah dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, Garut dan Sumedang juga akan teratasi. TPPAS Nambo ditandatangani kontrak kerja sejak tahun 2017 lalu, ternyata proyek tersebut terseok-seok dan tidak seperti yang direncanakan bisa kelola sampah sampai 1.800 ton per hari. 

Malahan yang terjadi 22 Juli 2025 lalu, Pemprov Jawa Barat memutus kerja sama dengan PT Jabar Bersih Lestari selaku pengelola. Sampah yang dikelola pun baru hanya 50 ton. Sementara itu, TPPAS Legoknangka perjanjian kerja sama antara Provinsi Jawa Barat dan PT JES (Jabar Enviromental Solution) selaku Badan usaha pemenang lelang ditandatangani 28 Juni 2024 lalu. 

Sudah hampir dua tahun, tidak memperlihatkan perkembangannya. Padahal, kedua proyek strategis tersebut, selain di atas kertas bisa menyelesaikan masalah sampah, juga memiliki nilai tambah. 

Untuk TPPAS Nambo dengan teknologi yang dipergunakan adalah mechanical biological treatment (MBT) untuk pengolahan sampah yang bisa menghasilkan bahan bakar refuse derived fuel (RDF). Setali tiga uang, TPPAS Legoknangka, di atas kertas, selain menyelesaikan masalah sampah berbagai daerah di Bandung Raya dan sekitarnya, juga menghasilkan listrik benefit lainnya mengenai karbon kredit. 

Pertanyaannya, kenapa kedua proyek strategis tersebut tidak terealisasi sesuai dengan apa yang diharapkan? Kenapa pelaksanaan proyek strategis Pemprov Jabar tidak berjalan mulus? 

Audit menyeluruh 
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPOD), Herman Suparman mengatakan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat harus menegakkan akuntabilitas dan melakukan audit menyeluruh atas proyek TPPAS Lulut Nambo di Kabupaten Bogor. 

Proyek yang telah mangkrak lebih dari satu dekade itu dinilai mencerminkan lemahnya tata kelola dan pengawasan publik di tingkat daerah. Sebelum pengelolaan TPPAS dialihkan sepenuhnya ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jawa Barat, pemerintah harus memastikan pertanggungjawaban administratif dan publik atas dana serta kebijakan yang telah dikeluarkan. 

“Kalau kita bicara akuntabilitas administratif, perlu dilihat dulu bagaimana perencanaan awal proyek ini hingga mendapat dukungan pendanaan dari APBD. Apakah sudah sesuai dengan rencana semula atau tidak?” ujarnya, Senin 13 Oktober 2025. 

Menurut Herman, audit terhadap proses perencanaan dan pelaksanaan proyek sangat penting untuk memastikan tidak terjadi penyimpangan. Ia mengingatkan agar proses peralihan kewenangan pengelolaan tidak menjadi cara untuk mengaburkan persoalan lama. 

“Jangan sampai peralihan pengelolaan dari anak perusahaan BUMD ke DLH justru menghapus tanggung jawab atas masalah yang sudah terjadi selama 10 tahun,” katanya. 

Menurut Herman, KPPOD sebelumnya memasukkan aspek pengelolaan sampah ke dalam Indeks Daya Saing Daerah Berkelanjutan yang menilai kinerja daerah berdasarkan empat pilar, yakni lingkungan lestari, sosial inklusif, ekonomi tangguh, dan tata kelola yang baik. Dari hasil indeks itu, persoalan anggaran dan kapasitas SDM menjadi dua faktor utama yang menghambat efektivitas pengelolaan sampah di daerah.

Herman menambahkan, kelemahan manajemen di tubuh BUMD harus menjadi perhatian khusus. Ia menilai ketidakprofesionalan dalam tata kelola kerap menjadi penyakit lama yang menghambat kinerja proyek daerah.  “BUMD sering kali tidak dikelola berbasis profesionalitas. Akibatnya, tata kelola dan kinerja proyek menjadi tidak efisien,” ujarnya. 

Kejahatan 
Analis Kebijakan KPPOD, Eduardo Edwin Ramda menyebut kegagalan pengelolaan TPPAS Lulut Nambo oleh PT Jabar Bersih Lestari (JBL) sebagai bentuk kejahatan ekologis yang berdampak langsung pada krisis pengelolaan sampah di wilayah Bogor dan Depok, dua daerah dengan volume sampah terbesar di Jawa Barat. 

“Produksi sampah di Kabupaten Bogor dan Kota Depok relatif besar sehingga kebutuhan terhadap operasional TPPAS sangatlah urgent. Kegagalan pengelolaan oleh PT JBL adalah bentuk kejahatan ekologis yang berdampak pada pengelolaan sampah yang tak optimal,” ujar Eduardo. 

Ia menilai, inkompetensi dalam proyek tersebut jauh lebih berbahaya daripada kejahatan apa pun karena menimbulkan dampak sosial dan ekologis yang luas. Menurut dia, kelemahan manajerial semestinya bisa terdeteksi sejak awal mengingat proyek ini sudah berjalan lama dan terus merugi tiap tahun. 

“Inkompetensi pada dasarnya jauh lebih berbahaya daripada kejahatan apa pun, sebab dampaknya lebih luas dan merugikan masyarakat. Mestinya ini terdeteksi sejak awal,” katanya. 

Eduardo menegaskan, temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) semestinya dijadikan dasar bagi aparat penegak hukum, baik Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk melakukan pengusutan lebih dalam terhadap potensi penyimpangan dalam proyek tersebut. 

“Uang rakyat yang diinvestasikan harus dapat dipertanggungjawabkan dari segi output maupun impact-nya,” tegasnya. Ia juga mempertanyakan keterlambatan langkah pemerintah dalam mengambil tindakan tegas terhadap mitra pengelola. “Kalau kita lihat di pemberitaan, proyek ini ditargetkan tuntas pada tahun 2020. 

Pertanyaannya, ini sudah meleset jauh, kenapa baru ditendang sekarang? Ini bukan investasi riset, melainkan penggunaan teknologi yang sudah jadi sehingga tidak ada alasan teknis apa pun yang bisa diterima ketika investasi ini mangkrak,” ujarnya. 

Lebih jauh, Eduardo menilai, kegagalan PT JBL harus menjadi pembelajaran penting bagi Pemerintah Provinsi Jawa Barat agar lebih selektif dan transparan dalam memilih mitra kerja. Ia menyarankan agar pemerintah daerah berani membuka ruang kompetisi yang sehat dengan sektor swasta, dengan memperhatikan rekam jejak kinerja dan akuntabilitas keuangan. 

“Pemda semestinya berani membuka ruang kompetisi dengan sektor swasta, tentunya dengan memperhatikan track record kinerja dan akuntabilitas keuangan. Investasi publik harus dikawal, bukan hanya dilihat dari output, tapi juga dari setiap proses dan keselarasan terhadap timeline kontrak,” katanya. 

Sementara itu, Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Gurnadi Ridwan, menilai program pengelolaan sampah di Lulut Nambo tetap harus dilanjutkan, mengingat urgensi persoalan sampah di Jawa Barat. Namun, ia menegaskan, pemeriksaan terhadap proyek lama tidak boleh dihentikan. 

“Meskipun sebelumnya bermasalah atau mangkrak, tetap harus dilanjutkan programnya. Tetapi pemeriksaan terhadap proyek sebelumnya tetap berjalan,” ujar Gurnadi. 

Menurut dia, audit dan pemeriksaan terhadap proyek lama merupakan bentuk transparansi dan akuntabilitas publik agar masyarakat mengetahui sejauh mana dana dan kebijakan proyek dijalankan sesuai peraturan. 

Para analis menekankan, penyelesaian proyek TPPAS Lulut Nambo harus menjadi momentum bagi Pemprov Jawa Barat untuk menegakkan akuntabilitas, memperbaiki tata kelola, dan membangun sistem pengawasan yang transparan agar investasi publik benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan.

Sumber: https://koran.pikiran-rakyat.com/news/pr-3039716100/dprd-jabar-desak-audit-proyek-tppas-nambo-dan-legoknangka-yang-terseok-seok-dan-mangkrak-satu-dekade?page=all


Dibaca 792 kali