. Pemangkasan TKD dan Retaknya Harmoni Fiskal Pusat-Daerah
Logo KPPOD

Pemangkasan TKD dan Retaknya Harmoni Fiskal Pusat-Daerah

tirto.id - 10 Oktober 2025

Pemangkasan TKD dan Retaknya Harmoni Fiskal Pusat-Daerah

Kebijakan pemerintah pusat memangkas dana transfer ke daerah (TKD) dalam APBN 2026 mendapat sorotan tajam dari para kepala daerah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI). Bagaimana tidak, pemangkasan TKD mencapai 29,34 persen dibanding tahun 2025. Dari Rp919 triliun menjadi Rp693 triliun.

Ketua Umum APPSI sekaligus Gubernur Jambi, Al Haris, menyatakan bahwa penurunan anggaran TKD 2026 telah menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan kepala daerah. Menurutnya, pemangkasan TKD berdampak langsung pada belanja daerah dan berpotensi mengganggu roda pemerintahan.

“Kami hari ini dari APPSI, sengaja meminta waktu Pak Menteri untuk kami bercerita tentang keluh kesah kami di daerah, karena dengan TKD yang dikirim ke daerah luar biasa turunnya. Nah daerah tentu banyak sekali yang merasakan dampak dari TKD itu sendiri,” ujarnya saat ditemui awak media, di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (7/10/2025).

Dalam audiensi dengan Menteri Keuangan, Haris menegaskan bahwa banyak kepala daerah merasakan beban berat akibat pemotongan ini. Ia mencontohkan, di Provinsi Jambi alokasi TKD menurun tajam dari Rp4,6 triliun pada 2025 menjadi Rp3,1 triliun di tahun 2026, menyusul pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), dan tunda salur.

“Di antaranya ada daerah yang mungkin sulit membayar KPP-nya. Personal belanja pegawai besar sekali, apalagi ada keharusan membayar P3K dan sebagainya, ini luar biasa berdampak terhadap APBD kami pada 2026,” sambungnya.

Menanggapi keluhan para kepala daerah soal pemotongan TKD, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyebut hal itu sebagai sesuatu yang wajar.

"Kalau anggaran dipotong, ya pasti nggak ada yang setuju. Itu normal," ujarnya saat ditanya wartawan, Selasa (7/10/2025).

Namun ia menilai, seharusnya daerah sejak awal sudah bisa mengelola anggaran dengan baik tanpa kebocoran. Soal kelanjutan pemotongan, Purbaya mengatakan akan melihat kondisi keuangan negara ke depan.

“Tapi saya akan lihat keadaan uang saya seperti apa nanti. Tadi akhir triwulan, memasuki pertengahan triwulan kedua tahun 2026 nanti. Kalau emang ekonominya udah bagus, pendapatan pajaknya naik, Coretax-nya udah bagus, bea cukai nggak ada bocor, pajaknya nggak ada bocor. Harusnya kan naik semua kan? Kalau naik semua kita bagi,” ujarnya.

Kesulitan Bayar Gaji Pegawai Hingga Berat Penuhi Janji Kampanye
Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, turut mengungkapkan keluh kesahnya terkait persoalan ini. Ia bercerita, banyak kepala daerah yang baru dilantik kesulitan untuk merealisasikan janji-janji kampanyenya imbas kebijakan ini.

“Apalagi hampir semua visi-misi kita itu juga sejalan dengan Astacita Bapak Presiden. Mendukung program-program seperti misalnya Koperasi Merah Putih, MBG, kemudian Sekolah Rakyat, ini semua ada kaitannya dengan program-program seperti misalnya sekolah gratis, kesehatan gratis, ini membutuhkan anggaran yang besar,” ujarnya kepada awak media, Selasa (7/10/2025).

Anwar menceritakan bahwa daerahnya mengalami pemangkasan anggaran TKD cukup besar, yakni sekitar 45 persen. Ia mencontohkan, DBH yang sebelumnya mencapai Rp700 miliar kini hanya tersisa Rp200 miliar. Secara keseluruhan, alokasi TKD yang diterima provinsinya kini hanya sekitar Rp1,2 triliun dari total APBD sebesar Rp6 triliun.

Keluhan juga diungkapkan oleh Gubernur Aceh, Muzakir Manaf. Aceh terkena pemangkasan anggaran sekitar 25 persen dari tahun ini. Pemotongan TKD oleh Kementerian Keuangan bervariasi. Mualem menyebut, ada daerah yang anggarannya dipangkas hingga 35 persen. Bahkan, anggaran Maluku Utara dipotong mencapai 60 persen.

Ia menyebut pemotongan anggaran ini praktis menjadi beban bagi masing-masing provinsi. Pasalnya, anggaran berpengaruh besar terhadap pengambilan kebijakan di seluruh provinsi di Indonesia, termasuk dalam hal ini terkait pembayaran gaji Aparatur Sipil Negara (ASN).

"Itu sebenarnya jadi masalah kita semuanya. Jadi bagaimana mereka (anggaran) semuanya berpengaruh besar dapat mengambil kebijakan seperti maksud di provinsi masing-masing. Kami mengusulkan supaya tidak dipotong. Anggaran kita tidak dipotong. Karena itu beban semua di provinsi kami masing-masing," ujar dia, saat ditemui awak media, di Kementerian Keuangan, Selasa (8/10/2025).

Sementara, Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi Ansharullah, meminta pemerintah menanggung gaji ASN di daerah imbas pemotongan anggaran TKD oleh pemerintah pusat. Jika tidak, ia meminta agar Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa, mengembalikan anggaran daerah yang telah dipotong oleh pemerintah pusat.

“Harapan kita di daerah adalah bagaimana TKD ini dikembalikan lagi. Kalau nggak, mungkin gaji pegawai bisa diambil oleh pusat. Karena ini kan kaitan dengan DAU (Dana Alokasi Umum) kan juga (mengalami) pengurangan,” keluhnya, usai bertemu dengan Purbaya di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (7/10/2025).

Permintaan Mahyeldi ini pun ditanggapi ringan oleh Purbaya. Menurutnya, berbagai usulan yang disampaikan oleh 18 gubernur dan petinggi pemerintah daerah lainnya itu sangat wajar. Dia juga menilai selama ini pemerintah juga terus berusaha meminta pemerintah pusat untuk menanggung beban pemerintah daerah.

Namun, ia tidak bisa begitu saja mengamini permintaan para kepala daerah tersebut karena harus memperhitungkan kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Tapi kan kita hitung kemampuan APBN saya seperti apa. Apalagi ini kan sembilan bulan pertama kan ekonominya melambat. Ya naik turun, tapi turun terus kan. Jadi kalau diminta sekarang ya pasti saya enggak bisa," kata Purbaya.

Selain soal pemotongan anggaran, 18 gubernur yang hadir dalam rapat tersebut juga menyampaikan keluhan terkait permasalahan infrastruktur yang masih banyak terjadi di berbagai daerah. Karenanya, para gubernur yang hadir pun turut memohon agar Menkeu Purbaya, bisa turut membantu menyelesaikan masalah yang ada.

Pada kesempatan yang sama, Gubernur Maluku Utara, Sherly Laos, juga menyesalkan pemotongan anggaran yang kian besar. Di Malut, setelah dilakukan pemotongan, anggaran mereka hanya menjadi Rp6,7 triliun. Padahal, di 2025 anggaran Maluku Utara masih sebesar Rp10 triliun.

Bagi Maluku Utara dan banyak daerah lainnya, pemotongan anggaran ini membuat pemerintah daerah (Pemda) hanya mampu mencukupi belanja rutinnya. Di sisi lain, belanja pembangunan jalan, infrastruktur dan jembatan menjadi berkurang.

“Sehingga, kita minta untuk jangan ada pemotongan,” pinta Sherly.

Tak Sejalan dengan Semangat Penguatan Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Pakar otonomi daerah yang juga Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Prof. Djohermansyah Djohan, menilai aksi sejumlah kepala daerah yang datang langsung ke Kementerian Keuangan untuk menyampaikan keluhan soal pemotongan TKD merupakan sinyal serius yang tidak boleh diabaikan pemerintah pusat.

Menurutnya, kebijakan TKD seharusnya menjadi cerminan amanat konstitusi, khususnya Pasal 18A ayat (2) UUD 1945, yang mengatur agar hubungan keuangan antara pusat dan daerah dilaksanakan secara adil dan selaras. Ketentuan ini telah dituangkan dalam UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).

“TKD yang selama ini rata-rata sekitar Rp900 triliun, selama lebih kurang 10 tahun terakhir, stabil di angka itu, tiba-tiba anjlok di tahun 2026. Saya melihat ini fenomena yang agak ganjil. Kepala daerah ramai-ramai datang ke Kemenkeu. menyampaikan keluhannya, menggeruduk istilah populernya,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (8/10/2025).

Senada, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Armand Suparman, langkah para gubernur yang memprotes rencana pemangkasan TKD 2026 adalah sesuatu yang wajar, bahkan sudah semestinya dilakukan. Ia menilai, kebijakan ini memang layak dipersoalkan karena berpotensi menimbulkan konsekuensi serius bagi daerah.

Armand menyebut isu pemangkasan TKD ini sebenarnya sudah muncul sejak 15 Agustus lalu, ketika pemerintah pusat membacakan Nota Keuangan dan RUU APBN 2026. Dalam dokumen tersebut, alokasi TKD hanya sebesar Rp649,9 triliun, turun signifikan dibandingkan tahun 2025 yang mencapai Rp919 triliun.

“Jadi itu dipotong hampir 25 persen ya. Meskipun dalam perkembangan terakhir itu juga ada penambahan Rp43 triliun menjadi sekitar Rp690-an triliun, tapi itu tetap dilihat sebagai satu penurunan yang signifikan. Bahkan kalau dibandingkan dengan APBN sebelumnya, itu masih berada di bawah APBN 2016,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (8/10/2025).

Dari sisi regulasi dan konsistensi kebijakan, Armand menilai pemangkasan TKD 2026 bertentangan dengan semangat penguatan otonomi daerah sebagaimana tertuang dalam visi Astacita Presiden Prabowo. KPPOD melihat hal ini menunjukkan inkonsistensi pemerintah terhadap komitmen penguatan desentralisasi dan otonomi daerah.

“Di Astacita salah satu poin yang mendapatkan penguatan itu adalah penguatan desentralisasi dan otonomi daerah. Itu jelas sekali ditulis itu, di dalam Astacita itu atau di dalam perpres terkait dengan RPJMN,” ujarnya.

Armand menjelaskan bahwa dalam logika desentralisasi, pemerintah pusat telah menyerahkan 32 urusan pemerintahan ke daerah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Seharusnya, setiap urusan itu didampingi dengan pendanaan yang memadai dan kompatibel.

“Bahkan kalau kita lihat postur di APBN, [mestinya] transfer ke daerah itu minimal setengah dari APBN kita itu untuk transfer ke daerah,” ujarnya.

Pertumbuhan ekonomi, infrastruktur, dan pelayanan publik akan terdampak

Seperti yang dikeluhkan oleh sejumlah kepala daerah, Armand dari KPPOD menyebut pemangkasan TKD akan berdampak besar terhadap tiga aspek utama: pertumbuhan ekonomi daerah, pembangunan infrastruktur, dan pelayanan publik.
Ia mencatat, tren pemangkasan sebenarnya sudah dimulai sejak awal 2025 melalui kebijakan Inpres Efisiensi, dengan pemotongan belanja infrastruktur daerah sebesar Rp50,59 triliun. Dampaknya, menurut Armand, sudah mulai terasa.

“Selama 25 tahun terakhir, pemerintah daerah itu mengandalkan belanja modal untuk infrastruktur fisiknya itu dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik. DAK Fisik itu kemarin dipotong dari Rp36 triliun menjadi Rp18,5 triliun. Tahun depan DAK Fisik hanya sisa Rp5 triliun dan dibagi untuk semua kabupaten kota dan provinsi,” ujarnya.

“Penurunan ini akan sangat mengganggu belanja infrastruktur daerah,” sambungnya.

Selain infrastruktur, Armand juga menyoroti dampak pada pelayanan publik. Ia menyebut bahwa pemda, yang tetap berusaha membangun infrastruktur, mau tak mau harus melakukan realokasi anggaran dengan mengorbankan program-program pelayanan publik di dinas-dinas daerah.

“Mau nggak mau, mereka itu merealokasi atau melakukan efisiensi program-program yang tersebar di SKPD atau OPD. Jadi pasti mereka akan mengorbankan program-program tertentu atau pelayanan-pelayanan publik tertentu,” ujarnya.

Dampak ketiga, kata Armand, adalah terhadap pertumbuhan ekonomi. Daerah dengan kapasitas fiskal rendah–yang jumlahnya mencapai 90 persen dari total daerah menurut data Kementerian Dalam Negeri–sangat mengandalkan belanja pemerintah daerah dari TKD.

“Daerah-daerah yang kapasitas fiskalnya rendah, itu mengandalkan belanja pemerintah daerah, dalam hal ini APBD untuk pembangunan, untuk pertumbuhan ekonomi, ketika transfer ke daerah ini dipotong atau dipangkas, itu pasti akan mengganggu,” ujarnya.

Ketegangan Hubungan Pusat dan Daerah
Senada, Djohermansyah dari IPDN, yang juga pernah menjabat sebagai Plt Gubernur Riau 2013-2014, menilai pemotongan TKD secara drastis akan menghambat operasional pemerintahan daerah dan memperlambat pembangunan. Ia menyebut risiko yang muncul mulai dari gaji pegawai yang tak terbayar, tunjangan pegawai (TPP) dan P3K yang terabaikan, hingga terganggunya perbaikan infrastruktur seperti jalan dan pelayanan rumah sakit.

Menurutnya, jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan hanya pelayanan publik yang terdampak, tetapi juga hubungan pusat dan daerah bisa memburuk.

"Kalau pusat tidak mendengar keluhan ini secara sungguh-sungguh, bisa timbul ketegangan antara pusat dan daerah, serta ketidakpuasan terhadap otonomi daerah," ujarnya.

Menanggapi kondisi ini, Djohermansyah menyarankan dua arah mitigasi: dari sisi pusat dan dari sisi daerah. Bagi pemerintah pusat, ia menekankan pentingnya melakukan pemotongan TKD secara bertahap, bukan drastis

“Harusnya bertahaplah. Sehingga daerah punya nafas untuk bisa mengkonsolidasikan pendapatan daerah,” ujarnya.

Sementara bagi pemerintah daerah, ia mendorong upaya efisiensi anggaran. Ia juga mendorong daerah mulai membangun kemitraan dengan badan usaha untuk menggali potensi PAD, meski diakuinya ini tak selalu mudah

Sementara itu, Armand dari KPPOD menilai bahwa agenda mitigasi ke depan harus dilakukan secara terstruktur oleh pemerintah pusat maupun daerah. Menurutnya, pemerintah pusat semestinya melibatkan pemerintah daerah sejak awal sebelum kebijakan seperti pemotongan TKD diterbitkan.

Ia menyayangkan bahwa kebijakan efisiensi fiskal yang membebani daerah tidak melalui dialog terlebih dahulu dengan stakeholder utama, yakni pemerintah daerah itu sendiri.

Kedua, ia menyarankan agar pemotongan dilakukan secara bertahap dan terukur, bukan secara drastis sebagaimana yang terjadi dalam APBN 2026. Pemangkasan yang terlalu tajam, lanjutnya, berisiko membuat keuangan daerah kolaps tahun depan.

Selanjutnya, ia juga menyinggung soal dorongan pemerintah pusat agar daerah menggunakan pendanaan kreatif (creative financing) di tengah tekanan fiskal. Menurutnya, anjuran ini tidak cukup bila tidak disertai pedoman teknis yang aplikatif.

“Tetapi pemerintah pusat juga tahu apa tantangan atau masalah dalam menjalankan pendanaan kreatif itu. Mestinya mereka juga keluar dengan satu template pedoman yang itu bisa mudah dijalankan oleh pemerintah daerah,” ujarnya.

Sumber: https://tirto.id/pemangkasan-tkd-dan-retaknya-harmoni-fiskal-pusat-daerah-hjeA


Dibaca 1614 kali