. Asosiasi Pemda Mengkaji Lebih Detail Dampak Penurunan TKD 2026
Logo KPPOD

Asosiasi Pemda Mengkaji Lebih Detail Dampak Penurunan TKD 2026

kompas.id - 26 September 2025

Asosiasi Pemda Mengkaji Lebih Detail Dampak Penurunan TKD 2026

Asosiasi pemerintah daerah tengah mendata dan mengkaji secara lebih detail dampak penurunan dana transfer pusat ke daerah atau TKD pada 2026. Di tengah keterbatasan ruang fiskal akibat pemangkasan dana TKD, pemda juga mencoba menyiasati lewat penganggaran yang efektif dan efisien. Pagu seperti tunjangan perumahan DPRD yang menuai kritik publik diharapkan menjadi sasaran efisiensi.

Seperti diberitakan sebelumnya, dana TKD di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 turun sekitar Rp 155 triliun jika dibandingkan dengan alokasi di APBN 2025. Di APBN 2025, alokasi TKD senilai Rp 848 triliun. Adapun di APBN 2026, alokasinya turun menjadi Rp 650 triliun, sebelum kemudian dinaikkan Rp 43 triliun menjadi Rp 693 triliun.

Adapun dana TKD terdiri atas sejumlah komponen, yaitu Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Desa, dan Dana Insentif Fiskal Daerah (DID).

Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Alwis Rustam saat dihubungi, Rabu (24/9/2025), menyatakan tengah mendata dan mengkaji secara mendetail dampak riil dari penurunan TKD tersebut di 93 kota. Langkah ini penting dilakukan untuk melihat anggaran TKD bukan pada tataran global, melainkan hingga ke rinciannya, yaitu sampai ke komponen DAU, DAK, DBH, dan DID.

Ia mencontohkan di Kota Blitar, Jawa Timur, penurunan TKD mendatang diperkirakan akan berdampak pada defisit APBD 2026 hingga Rp 100 miliar. Pemerintah Kota (Pemkot) akan kesulitan menutup kekurangan itu. Dengan demikian, pemkot harus memilih prioritas alokasi anggaran apakah itu untuk gaji aparatur sipil negara (ASN) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), menjaga layanan publik dasar seperti pendidikan dan kesehatan, atau menunda pembayaran kontraktor pembangunan yang bisa memicu gejolak di ruang publik.

”Tambahan TKD Rp 43 triliun di APBN 2026 itu hanya membuat roda pemerintahan daerah berjalan. Tetapi, pembangunan, perbaikan, atau DAK infrastruktur di banyak kota sudah tidak ada dalam daftar lagi karena sudah dipotong,” ujar Alwis.

Apeksi memprediksi penurunan dana TKD itu setidaknya akan berdampak pada gaji PPPK yang baru saja diangkat, program pembangunan terpaksa dihentikan, hingga layanan dasar publik seperti kesehatan, air bersih, sanitasi, sampah, dan subsidi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, terancam macet.

Untuk mengatasi hal tersebut, menurut Alwis, saat ini ada dua arah strategi yang dirumuskan oleh Apeksi. Pertama adalah memetakan wilayah kendali internal seperti optimalisasi pendapatan asli daerah (PAD), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), pembiayaan alternatif seperti pinjaman daerah, dan digitalisasi tata kelola penerimaan daerah.

Apeksi juga memetakan wilayah pengaruh eksternal seperti menyisir program dari pemerintah pusat terkait pembangunan jalan, persampahan, dan kesehatan, serta mencari peluang hibah dan pinjaman luar negeri. Hal itu akan dicari dari program-program pemerintah pusat dari kementerian teknis, seperti Kementerian Pekerjaan Umum.

Menyesuaikan arahan pusat
Terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Sarman Simanjorang menyampaikan, hampir 90 persen daerah masih tergantung kepada TKD. Artinya, TKD menjadi satu-satunya tumpuan dan harapan dari pemda untuk menjalankan berbagai pembangunan di daerah.

Dengan adanya penurunan TKD pada APBN 2026, menurut dia, pemda berupaya mengkaji lagi penganggaran di daerah. Penyesuaian dilakukan dengan mengikuti arahan dari pemerintah pusat.

”Yang jelas, ada hal-hal yang memang tidak bisa diotak-atik misalnya belanja pegawai. Itu sesuatu hal yang baku, apalagi dengan penambahan PPPK, itu juga menjadi beban tersendiri bagi daerah,” ujarnya.

Apkasi menyadari bahwa penambahan TKD Rp 43 triliun masih jauh dari harapan asosiasi pemerintah daerah yang sebenarnya meminta penambahan hingga Rp 200 triliun. Pemda akan tetap menyesuaikan agar APBD 2026 lebih efektif dan efisien, salah satunya memprioritaskan alokasi belanja produktif yang bersentuhan dengan pelayanan publik.

”Pemda juga memikirkan bagaimana agar APBD 2026 tetap mampu menggerakkan ekonomi daerah karena belanja pemda merupakan stimulus untuk menggerakkan sektor swasta. Semakin banyak perputaran uang dan belanja di daerah, semakin meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah,” jelasnya.

Pedoman penyusunan APBD
Sebelumnya, pada Jumat (19/9/2025) lalu, Kementerian Dalam Negeri mengimbau pemda untuk meningkatkan kualitas belanja daerah. Pemda diminta memprioritaskan belanja pokok yang bertujuan memberikan dampak nyata bagi peningkatan pelayanan publik.

Direktur Perencanaan Anggaran Daerah Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri Rikie menyampaikan, beberapa hal yang perlu dilaksanakan oleh pemda. Hal itu di antaranya adalah pentingnya sinkronisasi dengan arah kebijakan nasional serta peningkatan sinergi pusat dan daerah. Tujuannya, agar APBD menjadi instrumen nyata dalam mendukung target pembangunan.

Untuk memudahkan daerah menyesuaikan APBD 2026 dengan program prioritas nasional, Kemendagri juga telah membuat Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2026. Dalam peraturan itu, ditekankan pentingnya menyusun APBD yang sejalan dengan dukungan terhadap tercapainya Astacita Presiden dan Wakil Presiden, serta pencapaian 17 program prioritas dan target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen.

”Kemudian penyusunan APBD TA 2026 agar memerhatikan aspek urgensi, kualitas penyelenggaraan, muatan substansi, serta manfaat yang diutamakan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat,” tambahnya.

Regulasi itu juga mengatur agar pemda dapat merealisasikan belanja yang bersifat wajib dan mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal itu mencakup pemenuhan pelayanan dasar kepada masyarakat berupa pendidikan dan kesehatan, belanja pegawai, pembayaran iuran jaminan kesehatan, pembayaran cicilan pokok pinjaman, dan kewajiban kepada pihak ketiga.

Permendagri tersebut juga diharapkan menjadi pedoman utama penyusunan APBD agar selaras dengan program strategis nasional seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), program sekolah rakyat, pembangunan tiga juta rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), swasembada pangan, serta kebijakan koperasi desa atau kelurahan Merah Putih.

Efisiensi
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman berpandangan pemangkasan dana TKD akan menjadi masa yang sangat sulit bagi pemda karena keterbatasan ruang fiskal. Di satu sisi, pemerintah pusat menuntut mereka untuk meningkatkan kinerja pelayanan publik dan pembangunan daerah. Namun, di sisi lain, ruang fiskal daerah juga sangat terbatas.

”Oleh sebab itu, proses pembahasan APBD 2026 harus benar-benar konsisten dan mengikuti konsep money follow program. Artinya, pemda baik eksekutif dan legislatif harus sepakat program-program prioritas apa yang harus diutamakan,” jelasnya.

Pemda juga dituntut untuk kreatif dan inovatif dalam mencari sumber-sumber penerimaan di luar dana TKD dengan mengoptimalisasi PAD. Pada saat yang sama, Kemendagri diharapkan meningkatkan peran pembinaan dan pengawasan dengan ikut aktif mengasistensi pemda untuk mencari sumber pendanaan alternatif tersebut. Evaluasi berkala per tiga bulan untuk mengetahui kondisi fiskal setiap daerah bisa dilakukan oleh Kemendagri.

Di tengah keterbatasan fiskal itu, Herman pun mengusulkan agar tunjangan yang banyak diprotes oleh publik seperti tunjangan perumahan DPRD bisa dicoret atau dipangkas. Pemda mesti menentukan keberpihakan anggaran dengan mempertimbangkan asas kepatutan dan kewajaran. Penentuan tunjangan untuk DPRD harus dilakukan secara proporsional, sebab kondisi kapasitas fiskal daerah terbatas.

Sumber: https://www.kompas.id/artikel/asosiasi-pemda-mengkaji-lebih-detail-dampak-penurunan-tkd-2026


Dibaca 5821 kali