KPPOD Kembali Ingatkan Dampak Raperda KTR Terhadap UMKM dan Pertumbuhan Ekonomi
hukumonline.com - 15 Agustus 2025
Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di DKI Jakarta perlu mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan kesehatan dan ekonomi. Direktur Eksekutif KPPOD, Herman Suparman, menegaskan kebijakan yang terlalu membatasi dapat berdampak signifikan terhadap keberlangsungan usaha, khususnya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
“Kalau kita lihat, masalah kebijakan kawasan tanpa rokok ini ada tegangan dua kepentingan. Pertama dari sisi kesehatan, dan kedua dari sisi ekonomi, terutama soal kepastian bagi pertumbuhan investasi,” ucapnya saat dihubungi Hukumonline, Kamis (14/8).
Berdasarkan kajian KPPOD, substansi Raperda KTR di Jakarta mengacu pada mandat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Kesehatan. Sejumlah ketentuan yang diatur, seperti pembatasan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sarana pendidikan serta larangan reklame dalam radius 500 meter, dinilai berpotensi memukul aktivitas usaha.
“Kami sudah mewawancarai pelaku usaha, termasuk pedagang kaki lima di sekitar sekolah. Kalau aturan ini diterapkan, itu akan mematikan usaha mereka. Apalagi, hampir di setiap titik Jakarta ada sekolah. Artinya, pembatasan radius 200 dan 500 meter itu bisa membuat hampir seluruh wilayah Jakarta dilarang menjual rokok,” jelas Herman.
KPPOD khawatir, kebijakan ini akan kontraproduktif terhadap upaya peningkatan kepastian dunia usaha dan pertumbuhan ekonomi. Herman menilai, kelompok rentan seperti UMKM akan paling terdampak. Oleh karena itu, ia mengusulkan agar Pemprov DKI dan Panitia Khusus (Pansus) Raperda mempertimbangkan opsi lain.
“Kalau mau mengakomodasi isu kesejahteraan dan kesehatan, PP 28 sebenarnya sudah mengatur batas minimal usia pembeli rokok 21 tahun. Itu bisa dioptimalkan, ditambah edukasi yang masif dan sistematis tentang bahaya rokok,” ujarnya.
Menurutnya, dampak dari pembatasan penjualan dan iklan rokok tidak hanya dirasakan industri rokok, tetapi juga seluruh ekosistem industri hasil tembakau, mulai dari petani, produsen, distributor, hingga sektor periklanan. Herman bahkan menilai isu ini sudah berskala nasional, bukan hanya DKI Jakarta.
“Kalau aturan tetap seperti ini, efeknya akan sampai ke okupansi hotel dan konsumsi restoran. Itu berarti akan mengurangi pendapatan daerah dari pajak hotel dan restoran. Ini yang harus diperhatikan,” tegasnya.
Terkait proses legislasi, Herman mengaku KPPOD masih menunggu pembaruan informasi dari Pansus. “Kami tetap konsisten menjaga keseimbangan antara kesehatan dan ekonomi. Harapan kami, semua pemangku kepentingan dilibatkan,” katanya.
KPPOD berharap Pansus dapat membuka ruang dialog dengan seluruh pemangku kepentingan, termasuk pelaku usaha, agar kebijakan yang dihasilkan tidak merugikan perekonomian. KPPOD pun proaktif mengundang Pansus untuk diskusi lintas pemangku kepentingan dengan tujuan mencari titik temu agar regulasi tetap melindungi kesehatan, tapi tidak mematikan ekonomi.
Sementara itu, Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) mendorong Pemprov DKI Jakarta bersama DPRD DKI untuk segera merampungkan pembahasan dan mengesahkan Raperda tentang KTR.
“Kami mendesak DPRD dan Pemprov DKI segera menuntaskan Raperda ini sebagai bentuk komitmen nyata dalam melindungi kesehatan masyarakat Jakarta,” ujar Ketua Umum IYCTC, Manik Marganamahendra, dilansir dari Antara.
Dorongan percepatan pengesahan Raperda tersebut didasari data Survei Kesehatan Indonesia 2023 yang mencatat prevalensi merokok pada anak usia 10–18 tahun mencapai 7,4 persen.
Menurut Manik, tingginya angka tersebut menjadi peringatan serius bagi Jakarta untuk memiliki regulasi KTR yang ketat dan berpihak pada perlindungan masyarakat, khususnya anak-anak yang rentan terpapar asap rokok baik di lingkungan rumah maupun di ruang publik.
Sebelumnya, Ketua Panitia Khusus (Pansus) Raperda KTR DPRD DKI Jakarta, Farah Savira, juga menegaskan pentingnya memastikan partisipasi publik yang bermakna dalam proses penyusunan regulasi tersebut. Regulasi ini tidak semata-mata difokuskan pada perlindungan kesehatan masyarakat, tetapi juga mempertimbangkan dan mengakomodasi hak para pedagang rokok.
“Kami berupaya mendengar dari berbagai sisi atas kebijakan yang berkepanjangan ini. Terkait pembahasan pasal per pasal, termasuk soal pelarangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter satuan pendidikan, pemisahan rokok elektrik dan rokok konvensional, ada beberapa masukan yang akan kami review,” kata Farah.
Adapun proses pembahasan Raperda KTR saat ini masih berada pada tahap penelaahan setiap pasal, dengan ruang dialog yang tetap terbuka, termasuk peluang untuk menghadirkan pelaku usaha tembakau dalam forum audiensi publik.
Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/a/kppod-kembali-ingatkan-dampak-raperda-ktr-terhadap-umkm-dan-pertumbuhan-ekonomi-lt689daa97d7dcc/?page=3
Dibaca 393 kali
