Bupati Kolaka Timur Ditangkap KPK, Kepala Daerah Pertama Hasil Pilkada 2024 yang Korupsi
kompas.id - 8 Agustus 2025
Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK akhirnya menangkap Bupati Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, Abdul Azis setelah operasi tangkap tangan atau OTT KPK di wilayah Sulawesi Tenggara dan Jakarta, kemarin. Abdul Aziz yang ditangkap setelah menghadiri Rapat Kerja Nasional Partai Nasdem di Makassar, Sulawesi Selatan, segera dibawa tim penyidik KPK ke Jakarta.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyatakan, pihaknya akan menjelaskan kronologi dan konstruksi terkait kasus dugaan korupsi yang menjerat Abdul Azis. Saat dikonfirmasi, Jumat (8/8/2025) pagi, dia menyebut, Abdul Azis telah dibawa oleh tim dan tengah menuju Jakarta.
”Benar, yang bersangkutan (Abdul Azis) sudah diamankan tim KPK. Perkiraan tiba di Jakarta siang atau sore ini,” ujarnya melalui pesan singkat.
Sebelumnya, isu penangkapan Abdul Azis santer di media sejak Kamis pagi. Saat itu, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak membenarkan ada OTT KPK di wilayah Kolaka Timur. Ia pun membenarkan Abdul termasuk yang ditangkap KPK.
Namun, kemudian, Abdul Azis tampak menghadiri acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Nasdem. Tak sebatas itu, Nasdem dengan diwakili Bendahara Nasdem Ahmad Sahroni juga menggelar jumpa pers untuk menepis kabar OTT KPK terhadap Abdul.
”Kami akan jelaskan nanti supaya masyarakat juga bisa menilai ini bukan drama, tetapi memang ada fakta-fakta perbuatannya. Dalam kegiatan tangkap tangan ini, KPK juga mendapat dukungan penuh para pihak, termasuk masyarakat di wilayah Sulawesi Tenggara,” kata Budi Prasetyo.
Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto dalam konfirmasi terpisah juga membenarkan penangkapan tersebut. Dia menjelaskan, penangkapan dilakukan pada Kamis (7/8/2025) malam. Setelah ditangkap, Abdul Azis menjalani pemeriksaan di Polda Sulsel.
Dalam rangkaian OTT ini, lanjut Fitroh, KPK menyita uang sekitar Rp 200 juta. ”Sudah semalam (ditangkap), dan saat ini menjalani pemeriksaan di Polda Sulsel. Pukul 15.00 insya Allah,” ujarnya.
Pembangunan rumah sakit
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, OTT KPK terhadap Bupati Kolaka Timur terkait dugaan korupsi dana alokasi khusus (DAK) pembangunan rumah sakit. Dari operasi tersebut, petugas juga menangkap 3 orang di Jakarta dan 4 orang dari Kendari, Sulawesi Tenggara.
”Identitasnya ada yang swasta, kemudian dari pegawai negeri sipil juga ada,” ucap Asep.
Tim KPK juga menyegel sejumlah ruang kerja di Pemerintah Kabupaten Kolaka Timur, termasuk ruang kerja Abdul Azis.
Bukan kali ini saja Kolaka Timur menjadi sasaran OTT. Pada September 2021, Bupati Kolaka Timur saat itu Andi Merya Nur ditangkap KPK. Dia ditetapkan sebagai tersangka korupsi dana hibah dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Kasus ini juga menjerat kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kolaka Timur Anzarullah.
Adapun OTT KPK terkait Kolaka Timur kali ini merupakan OTT KPK ketiga kalinya tahun ini. OTT KPK pertama terjadi pada 15 Maret 2025. Saat itu, OTT KPK mengungkap dugaan permufakatan jahat pengurusan dan perencanaan proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan.
OTT KPK kedua terjadi di wilayah Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, Kamis (26/6/2025) malam. Dari OTT tersebut, lima orang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan proyek infrastruktur jalan.
Abdul Azis merupakan produk dari Pilkada Kolaka Timur 2024. Ia mulai menjabat bupati bersama pasangannya, Yosep Sahaka, sejak dilantik oleh Presiden Prabowo Subianto pada 20 Februari lalu. Catatan Kompas, ia menjadi kepala daerah pertama hasil pilkada serentak 2024 yang ditangkap KPK.
Sebelum menjabat sebagai bupati, politisi Nasdem ini sudah menjabat posisi Penjabat Bupati Kolaka Timur sejak 24 Agustus 2022. Sebelumnya, ia lama berkarier di Polri.
Biaya politik tinggi
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Supratman menyinyalir masih adanya pimpinan daerah yang ditangkap karena korupsi menunjukkan bahwa problem biaya politik tinggi saat pilkada belum terjawab. Bahkan, di Pilkada 2024, biaya politik itu bisa jadi lebih tinggi sehingga tren pimpinan daerah yang korupsi setelah terpilih di pilkada dan menjabat terus berlanjut.
Mengutip riset Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), lanjut Herman, dalam sekali pencalonan kepala daerah dibutuhkan biaya yang dipersiapkan sebesar Rp 25 miliar-Rp 30 miliar.
Selama ini, akibat tingginya biaya politik itu, kepala daerah mencoba memulihkannya dengan korupsi di periode awal menjabat. ”Kalau kita lihat gaji dasarnya itu misal Rp 2 juta-Rp 3 juta, biaya operasional kepala daerahnya itu per bulan bisa mulai Rp 150 juta. Akan tetapi, kan, itu belum bisa menutupi biaya politik yang sudah dikeluarkan,” ungkap Herman.
Herman juga menjelaskan, korupsi pengadaan barang dan jasa, jual beli jabatan dan perizinan, kolusi, serta nepotisme marak terjadi di daerah.
Apalagi, kepala daerah memiliki kekuasaan yang sangat besar, termasuk dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Faktor-faktor itu yang menjadi celah melakukan tindak pidana korupsi.
Untuk mencegah korupsi berulang, diperlukan peran pengawasan internal dan eksternal pemerintah daerah yang mesti diperkuat. Ia juga mendorong agar ada penguatan kolaborasi lembaga-lembaga pengawas dengan publik.
”Misalnya, dengan melibatkan pengawas-pengawas internal dan eksternal itu sejak proses perencanaan pengadaan barang dan jasa. Kita juga berharap agar pengawasan eksternal dari komponen masyarakat sipil yang mesti diperkuat,” katanya.
Sumber: https://www.kompas.id/artikel/terjerat-ott-bupati-kolaka-timur-abdul-azis-dibawa-ke-jakarta/
Dibaca 4023 kali
