. Kisruh Kenaikan Tarif PBB 250 Persen di Pati, Pemerintah Pusat Turun Tangan
Logo KPPOD

Kisruh Kenaikan Tarif PBB 250 Persen di Pati, Pemerintah Pusat Turun Tangan

kompas.id - 8 Agustus 2025

Kisruh Kenaikan Tarif PBB 250 Persen di Pati, Pemerintah Pusat Turun Tangan

Pemerintah pusat tidak tinggal diam melihat kebijakan Pemerintah Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen. Kementerian Dalam Negeri telah menugaskan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk mendampingi dan mengawasi kebijakan yang menuai resistensi dari warga Pati tersebut.

”Indonesia melaksanakan kebijakan otonomi dua tingkat di provinsi dan kabupaten/kota. Jika ada permasalahan di kabupaten/kota, provinsi sebagai daerah otonom yang menaungi kabupaten/kota, sekaligus sebagai wakil pemerintah pusat di daerah akan mengambil langkah pembinaan dan fasilitasi,” kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik saat dihubungi, Kamis (7/8/2025).

Bupati Pati, Sudewo, memutuskan untuk menaikkan PBB-P2 tahun 2025 hingga 250 persen. Kebijakan itu pun menuai reaksi beragam dari warga, sebagian besar di antaranya menolak keras kenaikan pajak itu.

Penolakan salah satunya datang dari sejumlah warga yang terhimpun dalam Masyarakat Pati Bersatu. Mereka berencana untuk menggelar unjuk rasa menolak kenaikan PBB-P2 hingga 250 persen itu pada Rabu (13/8/2025).

Masyarakat Pati Bersatu telah menghimpun donasi untuk biaya logistik unjuk rasa sejak Jumat (1/8/2025). Berdasarkan rekaman video yang beredar di media sosial, barang-barang donasi yang terhimpun diangkut paksa oleh satpol PP setempat. Alasannya, posko penghimpunan donasi yang didirikan di depan Kantor Bupati Pati itu mengganggu fasilitas umum. Video lain yang menampilkan perdebatan antara warga dan Penjabat Sekretaris Daerah Pati Riyoso juga viral di media sosial.

Atas peristiwa itu, Bupati Pati Sudewo telah meminta maaf kepada masyarakat. Ia juga menjelaskan bahwa kenaikan PBB-P2 sebesar 250 persen itu merupakan kenaikan maksimal dan tidak berlaku untuk semua tanah dan bangunan. Menurut dia, masih banyak tanah dan bangunan di Pati dengan kenaikan PBB-P2 di bawah 100 persen, bahkan di bawah 50 persen (Kompas.id, 7 Agustus 2025).

Bupati memutuskan menaikkan pajak karena selama 14 tahun terakhir belum pernah ada kenaikan. Kenaikan pajak hingga 250 persen itu dilakukan karena pendapatan asli daerah (PAD) Pati sangat kecil, sekitar 14,5 persen dari APBD.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan, akan mengerahkan jajarannya untuk mengecek ihwal kenaikan PBB-P2 hingga 250 persen itu. ”Saya sudah perintahkan Itjen (Inspektorat Jenderal) untuk mengecek, itu (kenaikan pajak) saja dasarnya apa?,” tuturnya di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (6/8/2025).

Bukan hanya dasar pengambilan kebijakan, Mendagri juga meminta jajarannya untuk mengecek apakah keputusan Bupati Pati itu sudah melalui konsultasi dengan Kemendagri atau belum. Sebab, semua peraturan daerah mesti dikonsultasikan ke Kemendagri.

Akmal Malik menambahkan, Kemendagri juga sudah meminta Pemprov Jateng untuk mendampingi dan mengawasi semua kepala kabupaten/ kota di wilayahnya, tak terkecuali Pati. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah provinsi sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat bisa mendampingi apabila kabupaten/kota di bawahnya mengalami permasalahan.

Minim partisipasi publik
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman mengatakan, penolakan masif warga terkait kenaikan PBB-P2 di Pati itu menggambarkan minimnya partisipasi publik dalam penyusunan kebijakan di Pati. Jika masyarakat benar-benar dilibatkan dalam penyusunan kebijakan, tidak akan timbul penolakan masif.

”Persoalan itu juga menunjukkan bahwa proses executive review terhadap rancangan peraturan daerah oleh pemerintahan yang lebih tinggi, yaitu pemerintah provinsi dan pemerintah pusat itu tidak berjalan. Proses itu tidak menangkap soal partisipasi publik bermakna sudah dijalankan oleh pemerintah kabupaten atau belum,” jelasnya.

Pengujian peraturan oleh pemerintah provinsi maupun pusat juga dinilai tidak mampu menangkap apakah substansi yang diatur dalam perda kenaikan tarif PBB-P2 itu akan membebani masyarakat atau tidak. Jika executive review dari pemerintah provinsi dan pusat akuntabel, seharusnya bisa menangkap atau mengidentifikasi persoalan. Dengan demikian, ada mitigasi sehingga tidak ada penolakan luas dari masyarakat Pati.

Ke depan, kata Herman, pemerintah pusat perlu membuat alat yang bisa mengukur apakah perancangan peraturan kepala daerah maupun perda sudah melibatkan partisipasi publik secara bermakna atau tidak. Selain itu, mengukur apakah substansi yang diatur di peraturan tersebut akan berdampak negatif terhadap masyarakat atau tidak.

”Itu yang perlu disiapkan ke depannya agar situasi serupa tidak terjadi,” katanya.

Herman juga berpandangan, pemerintah perlu melihat lagi detail formula penghitungan hingga tarif PBB-P2 naik 250 persen. Selama ini, formula penghitungan PBB-P2 didasarkan pada tarif dasar dengan klasifikasi Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) di bawah Rp 1 miliar dikalikan 0,1 persen. Sementara itu, NJOP di atas Rp 1 miliar dikalikan 0,2 persen. Angka tersebut kemudian akan dikurangi NJOP tidak kena pajak (TKP) sebesar Rp 10 juta.

”Saya lihat sampai sekarang masih abu-abu kenaikan 250 persen itu formulasi penghitungannya seperti apa. Ini harus dibuat jelas dulu,” ucapnya.

Sumber: https://www.kompas.id/artikel/kisruh-kenaikan-tarif-pbb-250-persen-pengamat-pertanyakan-partisipasi-publik-bermakna/


Dibaca 15602 kali