Mengapa Kabinet Prabowo Gagap Mengatasi Sengketa 4 Pulau
tempo.co - 25 Juni 2025
PRESIDEN Prabowo Subianto turun tangan menyelesaikan sengketa kepemilikan empat pulau antara Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara ketika situasi politik di Aceh memanas. Dewan Perwakilan Rakyat yang awalnya meminta Prabowo menyelesaikan sengketa itu sebelum situasi politik di Aceh kembali membara.
"Akhirnya Presiden mengambil alih penyelesaian permasalahan tersebut," kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa, 17 Juni 2025.
Istana lantas menggelar rapat untuk menyelesaikan konflik empat pulau tersebut. Keempat pulau itu adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek. Pulau-pulau itu awalnya masuk wilayah Aceh.
Tapi Kementerian Dalam Negeri mengubahnya lewat Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau. Keputusan itu ditandatangani Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pada 25 April 2025.
Peserta rapat tersebut, antara lain, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Gubernur Aceh Muzakir Manaf, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution, dan Dasco. Prabowo memimpin rapat secara virtual.
Dalam rapat, Dasco melaporkan adanya dokumen baru mengenai kepemilikan keempat pulau. Dokumen tersebut adalah Keputusan Mendagri Nomor 111 Tahun 1992. Dokumen ini berisi kesepakatan antara Gubernur Aceh saat itu, Ibrahim Hasan, dan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar yang menegaskan keempat pulau masuk wilayah Aceh.
Dokumen tersebut menjadi rujukan kesimpulan rapat. Prabowo lantas memutuskan keempat pulau tetap menjadi bagian wilayah Provinsi Aceh. "Karena temuan dan bukti autentik tersebut, kami sepakat bahwa di hadapan Bapak Presiden, kedua gubernur akan menandatangani pembaruan kesepakatan bahwa empat pulau itu adalah bagian dari Aceh," kata Dasco, yang pernyataannya diunggah di kanal YouTube Sekretariat Presiden.
Sebelum rapat, situasi politik di Aceh memanas karena pemerintah dan masyarakatnya memprotes Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tersebut. Mereka bahkan mengancam akan melawan. Ancaman perlawanan itu mengingatkan kembali ketika sebagian rakyat Aceh mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 1976. Muzakir Manaf pernah menjadi Panglima GAM.
Gerakan tersebut bertujuan memisahkan diri dari Indonesia. Pemerintah merespons gerakan ini dengan menetapkan darurat militer di Aceh pada 2003. Setelah itu, pasukan TNI-Polri berkali-kali terlibat kontak senjata dengan GAM. Konflik ini berakhir dengan perjanjian Helsinki di Finlandia pada 15 Agustus 2005. Pada ujung 2005, GAM membubarkan diri.
Awalnya, Tito berkukuh tidak akan mengubah Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. Ia mengatakan Kepmendagri itu sudah melalui kajian geografis dan melibatkan berbagai instansi. Ia pun menekankan bahwa penetapan wilayah dan pulau itu diperlukan untuk memenuhi syarat penamaan pulau ke Perserikatan Bangsa-Bangsa.
“Kami terbuka terhadap evaluasi atau gugatan hukum, termasuk ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). Silakan saja,” kata Tito di Istana pada 10 Juni 2025.
Sikap Tito itu makin memicu kemarahan masyarakat Aceh. Mereka berunjuk rasa di depan kantor Gubernur Aceh pada Senin, 16 Juni 2025. Mereka mendesak agar keempat pulau tersebut dikembalikan ke Aceh. Pemerintah Aceh juga mengajukan gugatan ke PTUN.
Di tengah situasi yang memanas ini, Dasco menegaskan bahwa Prabowo sudah memutuskan mengambil alih penyelesaian sengketa keempat pulau. "Hasil komunikasi DPR dengan Presiden adalah bahwa Presiden akan mengambil alih persoalan batas pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara," kata Dasco, Ahad, 15 Juni 2025.
Sejumlah kalangan menilai langkah Prabowo tersebut kurang tepat karena sengketa keempat pulau semestinya tetap diselesaikan di level kementerian. “Seharusnya kasus ini diselesaikan di level kementerian,” kata Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Herman Suparman, Rabu, 18 Juni 2025.
Ia mengatakan keterlibatan Prabowo dalam sengketa keempat pulau menunjukkan bahwa tata kelola kabinetnya buruk. Herman juga mencontohkan ketika Prabowo turun tangan dalam menangani sengkarut tambang nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, awal Juni ini.
Berbeda dengan Herman, guru besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri yang juga mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan mengatakan keterlibatan Prabowo dalam menyelesaikan sengketa keempat pulau merupakan langkah tepat. “Sengketa antara Aceh dan Sumatera Utara ini sudah berlarut-larut,” ujarya.
Ia menilai keterlibatan langsung Prabowo bisa meredam potensi konflik baru, apalagi sejarah panjang hubungan politik Aceh dan pemerintah pusat pernah memanas pada masa lalu. "Kalau dibiarkan, bisa menimbulkan konflik baru dan membangkitkan luka lama seperti konflik dengan GAM dulu."
Djohermansyah juga mengingatkan kesepakatan antara kepala daerah yang menjadi pijakan keempat pulau kembali menjadi milik Aceh belum kuat. Dengan begitu, kesepakatan antara kepala daerah tersebut tetap membutuhkan payung hukum yang kuat.
"MoU (nota kesepahaman) bisa saja tidak diakui lagi. Sekarang MoU, sepuluh tahun lagi bisa batal. Harus diberi landasan hukum yang kokoh," tutur Djohermansyah. Ia pun mendorong agar penyelesaian sengketa keempat pulau dituangkan dalam revisi atau penguatan Undang-Undang Pemerintahan Aceh.
Sumber: https://www.tempo.co/politik/kabinet-prabowo-dalam-sengketa-4-pulau-1740344
Dibaca 1439 kali
