Untuk Apa Pemerintah Mengatur Ulang Batas Wilayah Provinsi
tempo.co - 25 Juni 2025
TIM Kementerian Dalam Negeri grasah-grusuh mencari dokumen asli kepemilikan empat pulau yang disengketakan oleh Provinsi Aceh dan Sumatera Utara, Senin, 16 Juni 2025. Mereka mencari di berbagai tempat hingga menemukan satu dokumen penting di Gedung Arsip Kementerian Dalam Negeri di Pondok Kelapa, Jakarta Timur.
Dokumen tersebut berupa Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 1992. Isinya mengenai kesepakatan Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara tentang batas wilayah kedua provinsi. Kesepakatan keduanya secara tegas menyebutkan bahwa empat pulau, yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, merupakan bagian dari wilayah administrasi Provinsi Aceh. Dokumen yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara pada 24 November 1992 itu juga merujuk pada peta topografi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat 1978 yang menguatkan kesepakatan tersebut.
Pada hari yang sama, Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto mengatakan dokumen tersebut diserahkan kepada Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi di Istana Kepresidenan. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang menyerahkannya kepada Prasetyo. “Novum (bukti baru) ini dilaporkan langsung ke Mensesneg,” kata Bima, Rabu, 18 Juni 2025.
Kementerian Dalam Negeri sibuk mencari dokumen asli tentang keempat pulau tersebut setelah Istana menegaskan bahwa penyelesaian sengketa keempat pulau diambil alih oleh Presiden Prabowo Subianto.
Sengketa empat pulau muncul setelah Gubernur Aceh Muzakir Manaf memprotes keputusan Kementerian Dalam Negeri yang mengubah status kepemilikan keempat pulau itu dari Aceh ke Sumatera Utara pada April 2025. Perubahan status kepemilikan itu tertuang dalam Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau yang ditandatangani oleh Tito pada 25 April 2025.
Setelah Tito menyerahkan dokumen itu kepada Prasetyo, Istana menggelar rapat di gedung Sekretariat Negara, Selasa, 17 Juni 2025. Peserta rapat di antaranya Tito, Prasetyo, Muzakir Manaf, Gubernur Sumatera Utara Bobby Afief Nasution, dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sufmi Dasco Ahmad. Presiden Prabowo yang memimpin rapat secara virtual.
Dalam rapat tersebut, Tito memaparkan kronologi penemuan dokumen asli itu hingga isinya. Hasil rapat itu memutuskan bahwa keempat pulau tersebut milik Provinsi Aceh. Bima mengatakan Kementerian Dalam Negeri segera menindaklanjuti hasil kesepakatan tersebut dengan mengubah Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025.
Penyelesaian sengketa empat pulau itu sesungguhnya belum menuntaskan semua persoalan akibat terbitnya Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. Tempo membandingkan keputusan Mendagri tersebut dengan keputusan serupa yang terbit pada 2022. Hasil analisis sementara, selain Aceh dan Sumatera Utara, beberapa provinsi mengalami perubahan jumlah kepemilikan pulau dan luas wilayah. Misalnya, jumlah pulau di Daerah Istimewa Yogyakarta bertambah dari 33 menjadi 37, Kalimantan Timur dari 243 menjadi 244 pulau, dan Jawa Timur dari 512 menjadi 538 pulau.
Provinsi yang jumlah pulaunya justru berkurang di antaranya Bangka Belitung dan Papua Barat. Jumlah pulau di Bangka Belitung turun dari 507 menjadi 501 dan Papua Barat berkurang dari 4.520 menjadi 1.498.
Secara umum, terjadi penambahan jumlah pulau di seluruh Indonesia, dari 17.001 pada 2022 menjadi 17.380 pulau pada 2025. Meski jumlah pulau bertambah, total luas wilayah keseluruhan provinsi justru berkurang, yaitu dari 1.892.410.091 kilometer persegi pada 2022 menjadi 1.890.179.784 kilometer persegi pada 2025.
Bima beralasan penambahan terjadi karena jumlah desa di satu provinsi bertambah, baik karena pemekaran desa maupun pembentukan desa baru. “Dikoreksi oleh kepmendagri, jadi jumlah desa bertambah,” kata politikus Partai Amanat Nasional ini. “Karena itu, perlu kode wilayah lagi.”
Sementara itu, penurunan jumlah pulau di satu provinsi terjadi karena ada pulau yang tenggelam. Kendala lain, kata Bima, adalah keterbatasan pemerintah daerah dalam mendata pulau-pulau di daerahnya. “Jadi itu tidak mudah,” tuturnya.
Ia juga menjelaskan kronologi penetapan kode pulau dan batas wilayah baru setiap provinsi dalam Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. Kementerian Dalam Negeri awalnya memoratorium batas wilayah pada 2022 menjelang pelaksanaan pemilihan presiden 2024. Kemendagri mencabut moratorium itu setelah pemilihan kepala daerah serentak 2024 tuntas serta terbentuknya beberapa daerah otonomi baru. Kemendagri lantas memutakhirkan kode dan data wilayah administrasi setiap provinsi.
Bima mengatakan, sebelum penetapan itu, tim nasional yang terdiri atas Kemendagri dan Badan Informasi Geospasial (BIG) beberapa kali menggelar rapat membahas pemutakhiran kode pulau dan wilayah tersebut. Hasil diskusi tim nasional itu diserahkan kepada Tito, yang kemudian ditandatangani oleh mantan Kepala Kepolisian RI tersebut pada 25 April 2025.
Bima berdalih bahwa Tito langsung menandatanganinya karena isi keputusan Mendagri itu hanya berupa penentuan kode wilayah. “Jadi tanda tangan normatif saja. Itu bukan batas wilayah,” ujar Bima.
Mantan Wali Kota Bogor ini beralasan pemerintah perlu segera menandatangani keputusan Mendagri tersebut karena sudah ada pemerintah daerah baru. Namun, setelah keputusan itu ditandatangani, kata dia, publik justru mempersoalkannya, khususnya perihal empat pulau di antara Kabupaten Aceh Singkil, Aceh, dan Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Di samping keempat pulau itu, Bima mengatakan ada sejumlah pulau yang memang juga disengketakan oleh dua provinsi dan masuk keputusan Mendagri tersebut. Tapi Bima tidak tahu jumlah pastinya. Meski begitu, Kemendagri tetap memasukkan keputusan menteri terbaru karena situasinya mendesak. “Jadi tidak ditunda karena pemerintah perlu segera mengidentifikasi nama pulau,” ucapnya.
Bima mengatakan Kemendagri memang melakukan kesalahan administrasi dalam penerbitan Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, khususnya saat kementerian memasukkan empat pulau ke wilayah Sumatera Utara. Ia berdalih bahwa kesalahan administrasi tersebut jauh dari muatan politik. “Enggak sampai politik.”
Juru bicara BIG, Mone Iye Cornelia, mengatakan alokasi cakupan pulau merupakan kewenangan Kemendagri. Sedangkan BIG hanya mendukung dengan menyediakan data dan informasi geospasial, termasuk nama rupabumi unsur pulau.
Mone menjelaskan, pada tahap administrasi batas wilayah, alokasi atau cakupan wilayah, termasuk pulau, perlu ditetapkan lebih dulu sebelum dilakukan penegasan batas antardaerah. Penegasan batas daerah dilakukan dengan menarik garis batas berdasarkan Undang-Undang Pembentukan Daerah, peta lampiran, serta data teknis, seperti peta rupabumi Indonesia (RBI), citra satelit, dan hasil survei lapangan.
“Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah,” kata Mone dalam keterangan tertulis, Rabu, 18 Juni 2025.
Mone mengatakan BIG tergabung dalam Tim Penegasan Batas Daerah (PBD) tingkat pusat bersama kementerian dan lembaga lain yang diketuai oleh Kemendagri. Dalam Tim PBD, BIG bertugas memberikan dukungan teknis, seperti menyediakan data geospasial, melakukan pembahasan teknis di tingkat pusat, dan menyurvei pemetaan lapangan jika diperlukan. “Penetapan resminya tetap menjadi wewenang Kemendagri melalui permendagri,” ujarnya.
Menurut Mone, perubahan batas wilayah bukan hal yang mustahil. Perubahan bisa terjadi karena penataan daerah, kesepakatan baru antarpemerintah daerah provinsi dan kabupaten, serta putusan pengadilan. Meski begitu, kata dia, kemajuan teknologi pemetaan dan ketersediaan data geospasial yang lebih akurat dapat menjadi pertimbangan pada perubahan batas wilayah untuk revisi batas wilayah administratif.
Ia menjelaskan, informasi batas wilayah pada peta RBI bukan referensi resmi. Batas wilayah yang sah tetap mengacu pada permendagri yang mengatur segmen batas antardaerah.
Baca Juga:
Potensi Konflik Buntut Sengketa 4 Pulau Aceh-Sumut
Dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung, Heri Andreas, mengatakan penentuan batas administratif provinsi, kabupaten/kota, hingga desa memang dilakukan oleh Kemendagri melalui peraturan Mendagri. Dalam peraturan itu, penentuan batas wilayah berdasarkan peta buatan Belanda. Selanjutnya, Kemendagri dan BIG melakukan rekonstruksi lapangan berdasarkan peta Belanda tersebut. “Yang merekonstruksi itu (adalah) BIG,” ucap Heri, Rabu, 18 Juni 2025.
Tapi hal yang menjadi masalah, kata Heri, prinsip penentuan batas wilayah ini seolah-olah dilemahkan oleh pemerintah. Ia menduga banyak aktor pemerintah yang menggeser batas wilayah suatu daerah. “Jadi banyak sekali tiba-tiba batasnya belok sendiri, tidak sesuai dengan peta zaman Belanda,” ujarnya.
Menurut dia, tindakan geser-menggeser batas itu terjadi karena masyarakat tidak bisa mengawasinya. Ia menduga karena kepentingan ekonomi.
Heri mengatakan banyak pemerintah daerah yang sesungguhnya saling bersengketa terhadap kepemilikan suatu pulau. Ia mencontohkan sengketa tanah timbul di Surabaya dan Gresik.
Ia pun meminta agar pemerintah pusat segera menentukan batas wilayah secara definitif. Penentuan batas itu penting untuk mengurangi potensi sengketa di masa depan. “Peraturan Mendagri juga harus ditinjau ulang,” katanya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Herman Suparman mengatakan masalah batas wilayah terjadi karena setiap daerah memiliki kewenangan menetapkan batas wilayah berdasarkan aturannya sendiri. Ia mengatakan pemerintah pusat memang sudah mengatur undang-undang yang mengatur batas-batas daerah, tapi pengaturannya tidak detail. “Tidak diatur secara detail titik-titik koordinatnya itu seperti apa, termasuk cakupan wilayah yang ada di alamnya,” tutur Herman.
Menurut Herman, pemerintah pusat juga tidak memiliki regulasi yang secara detail mengatur kriteria penegasan batas daerah. Selama ini Kemendagri hanya berpijak pada Peraturan Mendagri Nomor 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah. Kriteria batas daerah dalam permendagri ini merujuk pada dimensi geografis. Namun “Tidak diatur secara detail seperti apa indikator-indikator yang terkait dengan dimensi sosiologis dan sejarah.”
Sumber: https://www.tempo.co/politik/utak-atik-batas-wilayah-provinsi-1740345
Dibaca 1344 kali
