. Pro dan Kontra Raperda Kawasan Tanpa Rokok di Jakarta
Logo KPPOD

Pro dan Kontra Raperda Kawasan Tanpa Rokok di Jakarta

kompas.id - 19 Juni 2025

Pro dan Kontra Raperda Kawasan Tanpa Rokok di Jakarta

Pro dan kontra masih menyelimuti pembahasan Rancangan Peraturan Daerah mengenai Kawasan Tanpa Rokok di DKI Jakarta. Sejumlah pihak mengatakan, beberapa pasal dalam raperda perlu disesuaikan agar lebih relevan dengan kondisi masyarakat. Namun, sejumlah pihak lain mendukung agar ada pengetatan dan pembatasan dalam raperda tersebut.

Dalam diskusi publik tentang kebijakan kawasan tanpa rokok di DKI Jakarta pada Selasa (17/6/2025) di Jakarta Pusat, pro dan kontra ini mengemuka.

Salah seorang pembicara, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Herman Suparman, menuturkan, beberapa aturan yang terlalu kaku dapat menyulitkan implementasi dan berisiko menurunkan tingkat kepatuhan masyarakat. Ia menyampaikan tiga rekomendasi utama yang perlu diperhatikan dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Raperda KTR) DKI Jakarta.

Rekomendasi pertama adalah penghapusan pasal yang melarang penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.

Kedua, penghapusan larangan total terhadap iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau. Ketiga, penghapusan pasal yang melarang pemajangan produk tembakau di tempat umum.

Menyikapi beberapa rekomendasi ini, Ketua Panitia khusus (Pansus) Penyusunan Raperda KTR DKI Jakarta Farah Savira mengungkapkan bahwa pihaknya belum membahas secara detail setiap pasal dalam Raperda KTR.

Farah menegaskan bahwa pansus akan bersikap netral dan mendengarkan masukan dari para pihak, termasuk mereka yang terdampak secara ekonomi dan mereka yang mendukung regulasi ini untuk tujuan kesehatan.

”Kami ingin agar hasil dari peraturan daerah ini tidak hanya sekadar menjadi kebijakan, tetapi juga bisa diikuti dengan kampanye yang menggugah kesadaran masyarakat akan dampak buruk rokok,” tuturnya.

Dikaji seimbang
Farah menambahkan bahwa pansus akan membentuk satuan tugas (satgas) yang fokus pada edukasi dan sosialisasi terkait Raperda KTR sehingga tidak menimbulkan ruang untuk praktik pungutan liar (pungli). Satgas ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya rokok tanpa mengabaikan kepentingan ekonomi pedagang kecil.

Selain itu, legislatif berencana meluncurkan kampanye besar-besaran untuk mendukung penerapan Raperda KTR di Jakarta. Kampanye ini akan melibatkan sejumlah pemangku kepentingan, mulai dari perusahaan rokok, Pemprov DKI Jakarta, masyarakat, hingga asosiasi dan organisasi kemasyarakatan.

Terkait tiga rekomendasi itu, Herman mengatakan Raperda KTR Jakarta berpotensi memengaruhi sektor tenaga kerja dan mengurangi pendapatan daerah yang diperoleh dari pajak reklame. Ia juga menilai pasal-pasal dalam Raperda KTR ini kontraproduktif terhadap upaya membuka lapangan kerja dan dapat berdampak negatif pada kapasitas fiskal daerah.

Menurut Herman, pasal-pasal yang terkandung dalam Raperda KTR ini eksesif dan dapat berisiko kontraproduktif terhadap upaya menjadikan Jakarta sebagai kota global yang berkembang secara ekonomi. Aturan yang terlalu restriktif, terutama yang membatasi penjualan rokok, dapat berdampak negatif pada perekonomian daerah.

Larangan penjualan rokok di dekat sekolah atau tempat bermain anak, misalnya, akan memperkecil ruang ekonomi, dapat mengurangi peluang iklan dan promosi yang sah, serta membatasi sektor perdagangan yang bergantung pada penjualan produk tembakau.

Menanggapi hal ini, Farah mengatakan, masukan itu didengarkan dan dikaji agar Raperda KTR seimbang. ”Di tengah kondisi ekonomi yang masih belum stabil, kami juga mendengarkan keluhan dari pedagang kecil, yang sebagian besar pendapatannya bergantung pada penjualan rokok. Oleh karena itu, kami berkomitmen untuk mendalami isu ini dengan seimbang dan menyusun kebijakan yang tidak merugikan semua pihak,” ujar Farah, yang juga anggota DPRD DKI Jakarta tersebut.

Selain itu, Herman mengkritik perluasan definisi kawasan tanpa rokok dalam Raperda KTR yang dianggap menyimpang dari amanah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024. Menurut dia, PP tersebut belum memberikan batasan yang jelas terkait tempat umum sehingga membuka peluang untuk berbagai interpretasi yang bisa membingungkan dalam penerapannya.

Indikator ”tempat lainnya” dalam Raperda KTR juga tidak cukup jelas dan dapat menimbulkan multitafsir. Selain itu, pembatasan penjualan rokok yang mewajibkan izin, tanpa dasar jelas dalam peraturan yang lebih tinggi, akan menambah kerumitan dalam implementasinya.

”Harapan kami, rekomendasi ini menjadi ruang konstruktif yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat," katanya.

Warga dukung pengetatan
Dosen sekaligus Ketua Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Ali Rido, juga menyampaikan bahwa ada sejumlah pasal dalam Raperda KTR Jakarta yang perlu direvisi.

Salah satunya adalah Pasal 16 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa pengelola yang tidak melakukan pengawasan internal, membiarkan orang merokok, tidak menyingkirkan asbak atau sejenisnya, dan tidak memasang tanda larangan merokok di KTR dapat dikenai denda Rp 50 juta.

Menurut Ali, besaran denda Rp 50 juta tersebut terlalu besar jika dibandingkan dengan ketentuan dalam KUHP yang biasanya diterapkan untuk tindak pidana yang menyebabkan kerugian besar, seperti sumpah palsu dan sejenisnya. Ia menilai denda sebesar itu untuk pelanggaran seperti tidak menyingkirkan asbak di kawasan KTR tergolong berlebihan dan tidak relevan.

Sementara itu, warga Jakarta Pusat, Amir (32), menyatakan dukungannya terhadap regulasi yang lebih ketat terkait konsumsi rokok mengingat pentingnya menjaga kesehatan masyarakat. Ia berpendapat bahwa langkah ini dapat membantu mengurangi prevalensi merokok, terutama di kalangan anak muda.

Namun, Amir juga mengungkapkan kekhawatiran terkait dampak pada pengusaha kecil yang berhubungan langsung dengan industri rokok serta potensi pembatasan terhadap kebebasan individu.

Selain itu, denda yang ditetapkan dalam raperda ini terlalu besar dan perlu dipertimbangkan kembali. Menurut dia, tujuan dari raperda ini seharusnya tidak hanya untuk memberikan hukuman, tetapi juga mendidik masyarakat.

”Sebaiknya raperda ini tidak hanya fokus pada pembatasan, tetapi juga pada edukasi dan penyuluhan yang lebih intensif mengenai bahaya merokok. Harus ada ruang untuk dialog lebih lanjut dengan masyarakat sebelum aturan ini diterapkan secara menyeluruh,” ujarnya.

Sumber: https://www.kompas.id/artikel/raperda-kawasan-tanpa-rokok-harus-adaptif-dengan-realita-di-jakarta?utm_source=link&utm_campaign=tpd_-_ios_traffic&utm_medium=shared&


Dibaca 1148 kali