KPPOD: Akar Polemik Empat Pulau antara Aceh dan Sumut adalah Ketidakjelasan Aturan Batas Wilayah
kompas.id - 16 Juni 2025
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah atau KPPOD menilai polemik empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara menunjukkan bahwa selama ini kriteria batas wilayah saat pembentukan daerah tidak clear and clean. Ketidakjelasan batas wilayah saat proses pembentukan daerah otonom tersebut menimbulkan efek domino masalah berkepanjangan antardaerah.
Direktur Eksekutif KPPOD Herman N Suparman menilai ada isu besar yang berkelindan dalam sengketa kepemilikan empat pulau, yaitu Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang, antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara (Sumut).
Menurut Herman, polemik berkepanjangan itu terkait erat dengan isu kebijakan, terutama dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumut. Selain itu, juga UU No 8/2023 tentang Provinsi Sumut, UU No 14/1999 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Singkil, dan UU No 23/2024 tentang Kabupaten Tapanuli Tengah di Provinsi Sumut.
”Mengapa bisa demikian? Dalam undang-undang pembentukan daerah ini sesungguhnya sudah diatur atau ditetapkan terkait batas-batas wilayah. Dengan persoalan hari ini, artinya, beberapa undang-undang itu tidak clear and clean terkait batas wilayah,” ujar Herman saat dihubungi, Minggu (15/6/2025).
Masalah lainnya adalah ada isu manajemen konflik di mana persoalan tersebut sudah terjadi berlarut-larut sejak 2008. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) selaku otoritas di pusat memang sudah menetapkan status pulau tersebut menjadi milik Sumut. Terbaru, sengketa memanas setelah Kemendagri menerbitkan Keputusan Nomor 300.2.2-2138 pada April 2025.
Keputusan ini menetapkan Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang masuk wilayah Sumut. Pemerintah Aceh lalu memprotes keputusan tersebut karena menganggap keempat pulau itu bagian dari Kabupaten Aceh Singkil.
”Pihak Aceh belum menerima keputusan tersebut. Menurut saya, penyebabnya bisa karena kriteria atau indikator yang ditetapkan terkait batas-batas wilayah belum ditetapkan atau disosialisasikan secara transparan dan akuntabel,” kata Herman.
Faktor lain yang bisa menjadi penyebab polemik berkepanjangan ini ialah karena minimnya komunikasi antarpihak, yaitu daerah dan Kemendagri. Menurut Herman, selama ini alur komunikasi daerah dengan pemerintah pusat, khususnya Kemendagri selaku pembina dan pengawas, masih berjalan asimetris, belum dua arah.
Akibatnya, indikator atau kriteria bisa jadi belum diakomodasi dalam penetapan batas tersebut, seperti faktor historis; yaitu keistimewaan Aceh dan semangat perdamaian yang dibangun sejak Nota Kesepahaman (MOU) Helsinki 2005.
”Karena itu, menurut saya, kedua isu mesti di-clear-kan oleh Kemendagri. Kemudian, ke depan, kita butuh pedoman regulasi yang jelas, PP atau Permendagri, terkait indikator atau kriteria penetapan batas ini dan mesti disosialisasikan secara masif merata kepada semua daerah dan masyarakat di daerah,” ujar Herman.
Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan (Bina Atwil) Kementerian Dalam Negeri Safrizal Zakaria Ali menuturkan, dalam perkembangan terbaru, Kemendagri akan mengikuti apa pun arahan Presiden Prabowo Subianto. Sebab, sudah muncul pernyataan dari Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad yang menyatakan bahwa penyelesaian polemik kepemilikan empat pulau itu akan diambil alih langsung oleh Presiden.
”Kami ikut apa pun perintah Presiden,” kata Safrizal saat dikonfirmasi.
Lebih lanjut, ia menambahkan, kemungkinan besar pada Senin (16/6/2025) juga akan ada rapat terbatas di Kemendagri membahas penyelesaian polemik tersebut. Namun, ia tidak menjawab siapa saja yang akan diundang hadir dalam rapat tersebut, termasuk juga waktu pertemuannya.
Sebelumnya diberitakan, sengketa memanas setelah Kemendagri menerbitkan Keputusan Nomor 300.2.2-2138 pada April 2025. Keputusan tersebut menetapkan Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang masuk wilayah Sumut. Pemerintah Aceh memprotes keputusan tersebut karena menganggap keempat pulau itu bagian dari Kabupaten Aceh Singkil.
Reaksi keras muncul di masyarakat Aceh. Banyak yang merasa keputusan pusat mencederai keistimewaan Aceh dan semangat perdamaian yang dibangun sejak MOU Helsinki 2005. Narasi kehilangan wilayah menjadi isu sensitif yang memunculkan kekecewaan dan kemarahan.
Di sisi lain, Gubernur Sumut Bobby Nasution menyatakan penetapan pulau merupakan kewenangan pusat. Ia mengajak semua pihak untuk berdialog dan tidak menyebarkan narasi provokatif seperti tuduhan pencurian wilayah.
Pemerintah pusat, melalui Kemendagri, menyatakan keputusan sudah berdasarkan kajian teknis sejak 2008. Namun, sikap itu tetap menimbulkan resistensi di Aceh karena mereka merasa tidak dilibatkan secara penuh dan terbuka
Sumber: https://www.kompas.id/artikel/kppod-akar-polemik-empat-pulau-antara-aceh-dan-sumut-adalah-aturan-batas-wilayah-yang-tidak-jelas?amp
Dibaca 1456 kali
