Sengketa empat pulau Sumatera - 'Ini seperti adu domba Aceh dan Sumatera Utara'
bbc.com - 13 Juni 2025
Perubahan status Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang dari Provinsi Aceh menjadi milik Provinsi Sumatera Utara oleh Kementerian Dalam Negeri memantik protes warga Aceh.
Wakil Ketua Partai Aceh Suadi Sulaiman mengatakan pemerintah seharusnya menghormati batas-batas Aceh yang sudah disepakati lewat Perjanjian Helsinki pasca konflik. Dengan keputusan penyerahan empat pulau ke Sumatera Utara, pemerintah dinilai menodai perjanjian damai Aceh dengan Indonesia.
"Jangan mengeksploitasi Aceh itu dengan hal-hal yang bisa merusak keutuhan, baik keutuhan perdamaian maupun keutuhan NKRI," kata Suadi.
"Itu kan seperti mengadu dombakan antara Aceh dengan Sumatera Utara," tambah bekas anggota Gerakan Aceh Merdeka tersebut.
Reaksi protes atas perubahan status wilayah ini terjadi lantaran pemerintah tak menuntaskan permasalahan yang masih menganga perihal klaim masing-masing pemerintah daerah.
"Mungkin dalam proses proses mengeluarkan keputusan itu ada hal-hal yang belum diselesaikan antara dua belah pihak," kata pemerhati isu pemerintahan daerah Armand Suparman.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan bahwa pihaknya sudah pernah berupaya menengahi pemerintah Aceh dan Sumatera Utara.
"Sudah difasilitasi rapat berkali-kali, zaman lebih jauh sebelum saya, rapat berkali-kali, melibatkan banyak pihak," kata Tito di Kompleks Istana Negara, Selasa (10/06), seperti dikutip dari Kompas.com.
Lalu, mengapa Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, dan Pulau Lipan menjadi sengketa Provinsi Aceh dan Sumatera Utara?
Terbitnya keputusan Menteri Dalam Negeri
Perkara penguasaan pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera ini bermula ketika Kementerian Dalam Negeri menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 mengatur tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, dan Pulau.
Lewat keputusan ini Kemendagri menetapkan Pulau Mangkir Besar, Lipan, Mangkir Kecil, dan Panjang masuk wilayah Sumatera Utara.
Pertemuan dua gubernur
Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution sempat berupaya menemui Gubernur Aceh Muzakir Manaf, di pendopo gubernur Aceh, di Banda Aceh, Rabu (04/06) guna membicarakan perkara ini. Kala itu, Bobby hadir di Banda Aceh bersama Bupati Tapanuli Tengah Masinton Pasaribu.
"Kami hadir disini untuk bisa sama-sama meredam atau sama-sama menyepakati apa yang harus kita disepakati bersama," ujar Bobby, seperti dikutip dari Antara.
Namun, kala itu Muzakir diberitakan sedang sibuk sehingga hanya sebentar menemui Bobby.
Seperti apa reaksi warga Aceh terhadap hal ini?
Wakil Ketua Partai Aceh Suadi Sulaiman menyatakan seharusnya pemerintah berpegang pada Perjanjian Helsinki yang menjadi landasan penyatuan kembali Aceh dengan Indonesia pasca konflik.
Ia merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956 Aceh yang disebut pada nota kesepahaman dua belah pihak. Menurutnya pemahaman bersama terhadap nota kesepahaman ini penting demi menjaga perdamaian Aceh yang sudah berlangsung lama.
"Dengan situasi Aceh yang sudah sangat-sangat kondusif seperti ini ada baiknya pemerintah pusat itu, terutama dalam hal ini adalah Mendagri, untuk tidak memercik apa yang bisa menjadi hal-hal inkonsistensinya terhadap proses perdamaian Aceh kata Suadi kepada wartawan Johanes Hutabarat yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (11/06).
"Jangan mengeksploitasi Aceh itu dengan hal-hal yang bisa merusak keutuhan, baik keutuhan perdamaian maupun keutuhan NKRI," kata Suadi.
Seperti diketahui isu perbatasan 1 Juli 1956 kerap kali menjadi perdebatan. Kajian Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) 2019 terhadap MoU Helsinki dan Undang-undang Pemerintah Aceh mencatat perihal masalah terkait perbatasan 1 Juli 1956 yang tak disertai bukti dan data yang jelas.
Terkait hal ini, bekas juru bicara Gerakan Aceh Merdeka wilayah Singkil tersebut mengatakan "pemerintah Pusat harus serius mengimplementasikan semua hasil MoU Helsinki tersebut, demi keutuhan NKRI".
Suadi juga mengatakan hubungan antara Aceh dan Sumatera Utara ini sudah berjalan baik. Ia juga mengungkit warga Sumatera Utara yang bermukim di Aceh, terutama di Aceh Singkil.
Ia mengatakan sengketa ini bisa memantik perpecahan.
"Itu kan seperti mengadu dombakan antara Aceh dengan Sumatera Utara," ujar Suadi.
'Saya pernah buat gapura di Pulau Panjang dan Mangkir Besar'
Yardi (57), bekas nelayan di Gosong Telaga, Kecamatan Singkil, Aceh Singkil menyatakan keputusan mengubah status empat pulau terebut menjadi wilayah Sumatera Utara harus dipertimbangkann kembali.
Ia menyebut ada bukti-bukti empat pulau itu milik Aceh.
Dia mengeklaim sebagai saksi sejarah pembuatan tapal batas di pulau itu bersama Dinas Perikanan setempat.
"Saya pernah membuat tapal batas dan gapura di Pulau Panjang dan Pulau Mangkir Gadang satu dekade yang lalu," kata Yardi kepada wartawan Yuyun yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (11/06).
Yardi pun menceritakan kondisi pulau-pulau tersebut.
"Kondisi Pulau Lipan banyak dihuni binatang berbisa dulunya, yakni binatang lipan dan kalajengking, sekarang ini kadang mudah tenggelam bila pasang air laut besar tak berpenghuni," ujarnya.
Sementara, ia bercerita Pulau Mangkir Besar dan Mangkir Ketek yang tak berpenghuni ditumbuhi tumbuhan liar dan pohon berkayu besar dan pohon kelapa. Namun, pulau-pulau itu ssekali jadi tempat berlabuh nelayan sebagai tempat berlindung bila ada badai.
Kemudian, di Pulau Panjang menurutnya terdapat bangunan pemerintahan Aceh. Bahkan ada juga kuburan lama seorang aulia .
"Sepengetahuan saya Pulau Panjang ini juga pernah dihuni oleh orang Gunung Sitoli, Nias yang bernama Manropa dan ada juga yang menyewa orang Sitiris-tiris [Sumatera Utara]," ujarnya.
Sementara itu, media lokal Aceh juga sempat memberitakan perihal warga Aceh yang memiliki bukti kepemilikan wilayah atas pulau-pulau yang dipersengketakan itu.
Warga tersebut bernama Teuku Rusli Hasan yang mengaku sebagai ahli waris seseorang bernama Teuku Raja Udah. Hasan mengeklaim empat pulau tersebut adalah milik keluarganya, dengan landasan Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Atjeh tertanggal 17 Juni 1965 Nomor 125/IA/1965.
Bagaimana penetapan empat pulau versi Kemendagri?
Direktur Jenderal Bina Administrasi Wilayah Kementerian Dalam Negeri Safrizal Zakaria Ali mengatakan empat pulau itu masuk Sumatera Utara karena dekat wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
"Empat pulaunya persis di hadapan pantai Tapanuli Tengah," kata Safrizal seperti dikutip dari Kompas.com
Wilayah darat dipakai sebagai patokan karena belum adanya kesepakatan perihal batas laut antara Provinsi Sumatera Utara dan Aceh di wilayah tersebut.
Safrizal juga sempat menyebut bahwa sengketa perihal pulau-pulau ini sempat mengemuka pada 2008. Kala itu Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi yang terdiri atas sejumlah kementerian dan lembaga melakukan verifikasi terhadap pulau-pulau di Indonesia.
"Di Banda Aceh, tahun 2008, Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi, kemudian memverifikasi dan membakukan sebanyak 260 pulau di Aceh, namun tidak terdapat empat pulau, Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, Pulau Panjang," kata Safrizal.
Pada 2009, temuan atas verifikasi tersebut sempat dikonfirmasi gubernur Aceh saat itu, bahwa jumlah pulau-pulau di wilayahnya yakni 260. Konfirmasi tersebut disertai lampiran yang memuat perubahan nama dan koordinat sejumlah pulau.
Pulau-pulau tersebut: Mangkir Kecil atau yang semula Pulau Rangit Kecil, Mangkir Besar atau yang dulu Rangit Besar, dan Lipan atau dulu Malelo.
Sementara Sumatera Utara juga sempat melaporkan pulau miliknya yang mencapai 213, termasuk empat pulau yang kini disengketakan. Pada 2009 Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi juga mendapat konfirmasi jumlah 213 pulau ini termasuk empat pulau tersebut.
Upaya pengecekan lebih jauh Kementerian Dalam Negeri atas klaim Provinsi Aceh menunjukkan bahwa koordinat yang ditetapkan pemerintah Aceh tak merujuk pada empat pulau. Koordinat yang tercatat justru merujuk ke Pulau Banyak.
Pada 2017, Kemendagri pun menetapkan empat pulau bagian dari Sumatera Utara. Hal ini dilakukan setelah kementerian melaksanakan analisis spasial terhadap empat pulau.
Di kemudian hari Provinsi Aceh menerbitkan surat revisi atas koordinat empat pulau yang semulanya merujuk pada Pulau Banyak, menjadi ke Kecamatan Singkil Utara.
Pada 2020, rapat lintas kementerian menetapkan empat pulau merupakan wilayah Sumatera Utara.
Lalu, pada Februari 2022 terjadi pembahasan bersama antara dua pemerintah provinsi mengenai empat pulau tersebut, namun tak ada keputusan yang diraih dalam pertemuan tersebut.
Keesokan harinya Kemendagri menerbitkan Keputusan Nomor 050-145 yang berisi pemutakhiran data kewilayahan yang menetapkan empat pulau masuk jadi bagian Sumatera Utara. Belakangan terbitnya keputusan ini disomasi Gubernur Aceh,
Menanggapi somasi ini pemerintah pusat sepakat melayani upaya survei lapangan yang dilakukan pada Mei-Juni 2022.
Meski begitu, sengketa terus berlarut, sampai pemerintah pusat berdasarkan konfirmasi Provinsi Aceh dan Sumatera Utara, dan laporan Perserikatan Bangsa-banga, menyatakan empat pulau sebagai wilayah Sumatera Utara.
Apa penjelasan versi Pemerintah Provinsi Aceh?
Pemerintah Provinsi Aceh juga mengeklaim sejumlah bukti yang menjadi landasan atas penguasaan empat pulau yang dipersengketakan.
Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Sekretariat Daerah Aceh, Syakir menyebut bahwa salah satu buktinya dokumen administrasi kepemilikan atas dermaga, serta surat tanah dari tahun 1965. Selain itu ada juga tugu pemerintah Kabupaten Singkil yang dibangun pada 2008 dan prasasti Mangkir Ketek yang dibangun pada tahun 2018.
Selain itu ada juga Surat Keputusan Bersama (SKB) bertahun 1992 antara Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar. Sementara Menteri Dalam Negeri menjadi saksi dari keputusan bersama tersebut. Bukti ini yang menurutnya jadi pegangan terkuat.
"Nah, ini yang menjadi pegangan bagi kita selama ini. Dokumen itu sudah kita sampaikan lengkap dengan peta-petanya kepada kementerian dalam negeri," kata Syakir seperti dikutip dari Kompas.com.
Syakir juga menyebut dalam sebuah rapat dengan Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) pada 2022, disebutkan bahwa empat pulau yang dipersengketakan adalah bagian dari Aceh.
Terkait kesalahan koordinasi yang dilaporkan Provinsi Aceh kepada pemerintah pusat pada 2009, Syakir menjelaskan sudah menyampaikan revisi.
'Hal-hal yang belum diselesaikan'
Armand Suparman dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menyatakan masalah sengketa ini menjadi mengemuka lantaran keputusan pemerintah pusat yang muncul di saat sengketa masih mengganjal kedua provinsi.
"Mungkin dalam proses mengeluarkan keputusan itu ada hal-hal yang belum diselesaikan antara dua belah pihak," kata Armand.
Armand kasus sengketa wilayah antar pemerintah daerah ini bukan yang pertama. Melihat hal tersebut menurutnya penting agar pemerintah pusat memiliki aturan yang jelas perihal aturan yang bisa digunakan untuk menjadi jembatan bila terjadi konflik klaim wilayah.
Ia menyebut aturan tersebut baiknya dibuat peraturan pemerintah (PP) yang menurutnya bisa kuat mengikutsertakan lintas kementerian lembaga untuk terlibat dalam menangani sengketa.
"Kenapa peraturan pemerintah itu dia bisa lintas sektor ya. Misalnya kalau bicara, batas wilayah itu kan itu tidak hanya lokasi darat tapi juga laut," kata Armand.
Armand juga menyebut konflik ini juga jadi pembelajaran agar pemerintah pusat bisa lebih komprehensif ketika memproses undang-undang pembentukan suatu wilayah. Masalahnya, ia kerap melihat undang-undang pembentukan wilayah tak disertai batasan-batasan wilayah yang detail.
"Ketika nanti ada pembentukan daerah otonomi baru ini mesti benar-benar clear soal perbatasan ini, jangan sampai menyimpan masalah di kemudian hari," tukas Armand
Upaya mempertemukan dua gubernur
Menanggapi problem ini, Kementerian Dalam Negeri berupaya mempertemukan dua pimpinan daerah, yakni Muzakir Manaf dan Bobby Nasution.
Ia menyebut pertemuan akan difasilitasi Kemenkopolhukam dan Kemendagri.
"Jadi, kapan? Tunggu kami laporkan, kemarin pihak Kemenko Polkam sudah melaporkan kepada Pak Menko, saya melaporkan kepada Pak Mendagri, kita tunggu nanti waktunya," tukanya, seperti diberitakan Antara.
Potensi migas
Ketika sengketa ini mengemuka, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution menyebut perihal keinginannya berkolaborasi dengan pemerintah Aceh mengolah kekayaan alam di wilayah empat pulau tersebut.
"Kami ingin sama-sama potensinya dikolaborasikan. Artinya kalaupun ada sumber daya alam, ada potensi pariwisata, semuanya kami harapkan bisa dikelola bersama-sama," kata Bobby.
Data Kementerian Energi Sumberdaya Mineral (ESDM) menyebutkan wilayah lepas laut (off-shore) Singkil memiliki potensi migas yang "cukup besar".
Sumber: https://www.bbc.com/indonesia/articles/cpqeg4113r3o
Dibaca 1192 kali
