Penyerapan Pemda Rendah, Ada Daerah yang Baru Belanjakan 1,69 Persen Anggaran
kompas.id - 14 Mei 2025
Sudah hampir enam bulan tahun anggaran 2025 berjalan, tetapi penyerapan anggaran belanja daerah belum ada yang mendekati angka 50 persen. Bahkan ada daerah dengan realisasi belanja hanya 1,69 persen. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Mengacu data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang dipaparkan oleh Mendagri Tito Karnavian dalam Rapat Koordinasi Percepatan Realisasi APBD Tahun 2025 di Kemendagri, Jakarta, Kamis (8/5/2025), penyerapan belanja daerah berkisar 1,69 persen (terendah Pemerintah Kabupaten Empat Lawang di Sumatera Selatan) hingga 33,42 persen (Pemerintah Kabupaten Ciamis di Jawa Barat).
Lebih lengkapnya, 10 provinsi dengan realisasi belanja tertinggi adalah Jawa Barat 21,91 persen, Yogyakarta 21,73 persen, Sumatera Utara 20,64 persen, Banten 20,16 persen, Kepulauan Bangka Belitung 20,08 persen, Nusa Tenggara Barat 19,70 persen, Sulawesi Barat 18,84 persen, Gorontalo 18,45 persen, DKI Jakarta 18,00 persen, dan Sulawesi Selatan 17,65 persen.
Kemudian untuk kabupaten, yaitu Ciamis 33,42 persen, Pati 27,74 persen, Banyuwangi 27,06 persen, Sumbawa Barat 26,23 persen, Madiun 25,85 persen, Purbalingga 25,43 persen, Aceh Besar 25,39 persen, Wonogiri 25,35 persen, Bantul 25,15 persen, dan Ponorogo 24,96 persen.
Sementara di tingkat kota, Dumai 24,99 persen, Ternate 24,35 persen, Salatiga 23,83 persen, Cimahi 23,59 persen, Banjar 23,48 persen, Padang Panjang 23,34 persen, Banda Aceh 22,80 persen, Serang 22,77 persen, Batam 22,51 persen, dan Sukabumi 21,98 persen.
Adapun 10 provinsi dengan realisasi belanja terendah meliputi Papua Tengah 4,69 persen, Lampung 5,67 persen, Papua Selatan 5,90 persen, Papua Barat 6,88 persen, Jawa Tengah 6,99 persen, Kalimantan Timur 7,39 persen, Sumatera Selatan 9,59 persen, Papua Barat Daya 9,65 persen, Riau 10,87 persen, dan Aceh 11,13 persen.
Kemudian di tingkat kabupaten, Empat Lawang 1,69 persen, Buton Selatan 1,91 persen, Mamberamo Raya 2,17 persen, Keerom 2,41 persen, Lebong 2,45 persen, Dogiyai 2,51 persen, Lumajang 2,54 persen, Boven Digoel 3,08 persen, Muara Enim 3,35 persen, dan Aceh Selatan 3,40 persen. Di level kota, realisasi belanja daerah Subulussalam sebesar 3,95 persen, Yogyakarta 6,39 persen, Pematang Siantar 7,91 persen, Samarinda 9,48 persen, Gunungsitoli 10,24 persen, Cirebon 10,71 persen, Tual 11,83 persen, Pagar Alam 12,30 persen, Sungai Penuh 12,57 persen, dan Tanjung Balai 13,26 persen.
Dalam rapat itu, Tito Karnavian mengingatkan bahwa belanja pemerintah, termasuk di daerah, berperan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Sebab, belanja tersebut dapat meningkatkan jumlah uang yang beredar sehingga daya beli masyarakat menguat. Selain itu, ia pun mengingatkan, belanja pemerintah berperan sebagai penggerak bagi tumbuhnya sektor swasta.
Mengenai masih rendahnya angka penyerapan daerah dari awal hingga pertengahan tahun ini, Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Alwis Rustam saat dihubungi, Senin (12/5/2025), menilai wajar. ”Nanti, begitu masuk semester kedua, tentu ada kenaikan penyerapan anggaran,” tambahnya.
Ia meyakini realisasi belanja daerah bakal lebih tinggi pada semester kedua karena, misalnya, pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur baru dimulai pada Agustus-Desember. Selain itu, belanja gaji juga baru berjalan empat bulan dari 12 bulan.
Di luar itu, ia juga menyebutkan, ada dampak dari Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025. Sebelumnya diberitakan, pemerintah pusat memangkas anggaran transfer ke daerah sebesar Rp 50,59 triliun pada tahun 2025. Pemangkasan ini mencakup berbagai jenis dana transfer, seperti dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus.
Kebijakan efisiensi berdampak pada banyak kegiatan yang ditangguhkan. Selain itu, penggunaan dana alokasi khusus juga memerlukan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dalam penyerapan di daerah.
Problem klasik
Meski demikian, menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Armand Suparman, rendahnya penyerapan anggaran daerah pada awal hingga pertengahan tahun merupakan masalah klasik yang muncul tiap tahun.
Namun, khusus tahun ini, problem itu juga didukung sejumlah faktor, seperti pelantikan kepala daerah hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 yang baru dilakukan pada 20 Februari 2025.
Hal itu mengakibatkan dalam tiga bulan terakhir kepala daerah fokus pada penyusunan dokumen perencanaan, seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) serta Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 2025 dan RKPD 2026.
Situasi ini makin rumit karena ada beberapa daerah yang bahkan belum memiliki kepala daerah terpilih karena masih menjalani proses sengketa hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi serta pemilihan suara ulang Pilkada 2024. ”Akibatnya,timeline perencanaan dan tata kelola pembangunan terganggu, termasuk penyusunan dokumen anggaran dan pelelangan proyek,” tambahnya.
Selain itu, ia juga membenarkan bahwa tantangan lain yang dihadapi pemerintah daerah adalah menyempitnya ruang fiskal akibat kebijakan efisiensi anggaran dari pemerintah pusat.
”Banyak daerah sangat bergantung pada belanja modal dari transfer pusat. Hampir semua daerah, kecuali yang memiliki kemandirian fiskal seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur, mengalami kesulitan untuk membiayai infrastruktur dan pemeliharaan,” tutur Armand.
Di sisi lain, penerimaan daerah dari pajak daerah belum optimal. Banyak daerah belum memiliki kekuatan fiskal yang cukup untuk menopang belanja mereka sendiri sehingga belanja modal dan pelayanan publik pun terhambat.
Keterlambatan juknis
Hambatan berikutnya datang dari keterlambatan petunjuk teknis (juknis) yang dikeluarkan oleh kementerian/lembaga terkait. Apalagi, terdapat restrukturisasi organisasi dari 36 menjadi 48 kementerian/lembaga yang memengaruhi terbitnya juknis bagi pemerintah daerah.
Armand mengatakan, idealnya kegiatan pengadaan barang dan jasa dilakukan sejak Januari hingga Februari. Namun, dalam praktiknya, banyak juknis baru terbit pada April atau Mei. Hal ini berdampak langsung pada proses lelang yang tertunda.
Untuk mendorong penyerapan anggaran, ujarnya, imbauan dari pemerintah pusat ke daerah saja tidak cukup. ”Diperlukan pembenahan mendasar, terutama terkait penyusunan perda APBD yang harus selesai sebelum Desember serta percepatan penerbitan petunjuk teknis dari kementerian/lembaga, paling lambat Januari setiap tahunnya,” katanya.
Lebih lanjut, menurut Armand, persoalan penyerapan anggaran tidak hanya terkait dengan tata kelola anggaran daerah, tetapi juga kerangka kebijakan nasional. “Pemerintah pusat harus menyadari bahwa koordinasi antarkementerian dan lembaga sangat menentukan kinerja daerah,” ujarnya.
Sumber: https://www.kompas.id/artikel/penyerapan-pemda-rendah-ada-daerah-yang-baru-belanjakan-169-persen-anggaran
Dibaca 4150 kali
