Siasat Atasi Premanisme Berkedok Ormas, Perlukah Merevisi UU?
tirto.id - 7 Mei 2025
Setelah lama menjadi penyakit masyarakat, akhirnya pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) baru merespons mengenai aksi premanisme berkedok organisasi masyarakat (ormas) yang banyak dilaporkan mengganggu iklim investasi di Indonesia.
Salah satu yang paling banyak disorot adalah pembangunan pabrik mobil listrik asal Cina, BYD, di Subang yang disebut Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, banyak mendapat pemalakan dari Ormas.
Mendagri, Tito Karnavian, meresponsnya dengan rencana merevisi UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas (UU Ormas). Dia menyoroti pengawasan keuangan Ormas demi mencegah aksi premanisme kembali terulang di tempat lain.
Tito menegaskan, revisi UU Ormas tersebut akan dilakukan dengan hati-hati. Dia menjamin produk undang-undang tersebut akan tetap menjamin kebebasan masyarakat dalam menyampaikan pendapat.
“Undang-undang ormasnya kita akan melakukan evaluasi. Karena kita paham dulu kan ormas itu dibuat, dibentuk untuk adanya kebebasan berserikat dan berkumpul di samping kebebasan menyampaikan pendapat,” kata Tito di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta, Jumat (25/4/2025).
Meski terdengar gahar dan responsif atas keadaan, namun usulan Tito tersebut belum mendapat respons positif dari DPR dan publik. Salah satunya dari Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, yang berpendapat bahwa UU Ormas yang ada saat ini telah kuat secara hukum untuk menangani aksi premanisme berkedok ormas tersebut.
Dia menjelaskan bahwa UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas disahkan untuk menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1965 yang saat itu dinilai sudah usang. Kemudian UU tersebut kembali diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas yang membuat pemerintah bisa membubarkan Ormas tanpa melalui pengadilan.
"Kita tahu pemerintah pernah punya pengalaman membubarkan ormas, dan undang-undangnya, dan undang-undangnya yang sekarang ini," kata Rifqinizamy di Komplek MPR/DPR RI, Senin (28/4/2025).
Preseden tersebut dialami oleh FPI dan HTI karena keduanya dinilai bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, serta dianggap meresahkan masyarakat karena kerap melakukan sweeping yang seharusnya menjadi tugas penegak hukum.
"Artinya kalau targetnya adalah membubarkan ormas-ormas yang bermasalah, menurut pandangan saya pribadi, revisi terhadap undang-undang ormas belum terlalu urgen," kata dia.
Meski demikian, politisi Nasdem tersebut menegaskan bahwa Komisi II siap dan terbuka bila UU Ormas tersebut harus direvisi sebagai bentuk usulan dari pemerintah.
"Kalau bagi kami di DPR, terutama Komisi II DPR RI, kalau memang itu usulan dari pemerintah dan kami ditugaskan oleh pimpinan DPR untuk membahasnya, kami siap," katanya.
Selain mendapat kritik dari Komisi II, usul Tito juga mendapat catatan dari rekan sejawatnya, Menteri HAM, Natalius Pigai. Dalam keterangan tertulis, Pigai mengingatkan Tito agar revisi UU Ormas tidak menjadi ugal-ugalan sehingga menjadi alat untuk membatasi demokrasi Indonesia yang kian rendah di era kepresidenan Prabowo Subianto.
Bahkan dia berharap, Tito mencabut aturan Perppu yang dulu dibentuk oleh Presiden Joko Widodo yang bisa membubarkan semena-mena tanpa ada putusan pengadilan.
“Kita bicara mengenai Indeks demokrasi yang selalu rendah; kita mengalami penurunan indeks demokrasi dari prominen ke fraud democracy karena salah satunya UU Ormas atau Perppu nomor 2 tahun 2017 ini.
Oleh karena itu revisi ini tentu orientasinya dalam rangka membuka keran demokrasi. Saya bahkan beberapa waktu lalu sudah menyampaikan juga kepada media agar UU ormas direvisi khususnya Perppu Nomor 2 tahun 2017,” kata Natalius Pigai.
UU Ormas: Kuat Secara Hukum, Lemah Secara Implementasi
Mengaku sebagai anggota Ormas, Rifqinizamy, tak membantah jika banyak Ormas memiliki afiliasi dengan pejabat politik yang saat ini berkuasa. Menurutnya hal itu adalah lumrah, karena menjadi bagian dari Ormas adalah hak asasi untuk berserikat dan berkumpul sebagaimana dilindungi UUD 1945.
"Kalau soal kedekatan, nggak ada larangan, kita dekat dengan ormas. Saya ini, anggota ormas-ormas juga saya, kan nggak ada larangan," kata Rifqinizamy.
Namun dia tak sepakat, jika Ormas menjadi alat kekerasan dan premanisme demi meraih kekuasaan. Dia menentang hal tersebut dan mendorong aparat penegak hukum untuk memberantasnya.
"Kalau memang betul apa yang disampaikan media, dan ada aksi premanisme. Saran saya, tegakkan aturan hukum. Dan kalau memang bisa dibuktikan bahwa itu bukan oknum ormas, tetapi resmi dari kebijakan ormasnya, negara bisa mengambil tindakan, sampai dengan pembubaran," kata Rifqinizamy.
Oleh karenanya, alih-alih dengan merevisi UU Ormas yang memerlukan waktu lama, Rifqinizamy mendorong pemerintah untuk membuat Peraturan Pemerintah (PP) untuk menyikapi isu premanisme yang saat ini ramai diperbincangkan. Hal itu, menurutnya lebih jitu secara strategi, dan lebih cepat secara implementasi.
"Dan tidak perlu revisi, karena undang-undang sekarang sudah memperkenankan hal itu," kata dia.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman N Suparman, mendorong penguatan pengawasan berbekal dengan UU Ormas yang ada. Baginya, hal itu sudah cukup untuk memberikan efek jera dengan syarat ketegasan dan konsistensi tanpa tebang pilih hukuman.
"Yang perlu kami dorong untuk perlu diperkuat adalah soal tata kelola pengawasannya, misalnya pengawasan kan bisa sifatnya reguler jadi ada asesmen dari pemerintah terhadap semua Ormas, sehingga langsung ada tindakan apabila ada aduan dari masyarakat," kata Herman.
Dia juga mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk berkolaborasi dalam mengawasi dan menindak ormas yang melakukan pelanggaran. Herman berpendapat jika pemerintah tegas dan cepat dalam menindak, aksi premanisme yang kerap menyerang usaha dan industri milik swasta dapat segera teratasi.
"Seringkali kebijakan di level di atas kertas itu sangat baik, tapi pada tataran implementatifnya itu seringkali kendor, karena itu sebetulnya kita juga mendorong pengawasan kolaboratif. Dalam pengawasan kolaboratif ini, yang terlibat dalam pengawasan itu ya semua unsur, apakah itu Pemda, kemudian aparat penegak hukum, masyarakat, masyarakat sipil, dan juga komponen-komponen yang lain," kata Herman.
Juru Bicara Ormas GRIB Jaya, Razman Nasution, menambahkan pihaknya mendukung rencana pemerintah yang hendak merevisi UU Ormas imbas kejadian premanisme di sejumlah wilayah di Indonesia. Namun, dia berpesan agar revisi tersebut tidak menyudutkan nama ormas yang kemudian dilekatkan dengan aksi kekerasan maupun premanisme.
"Karena bagi kami ormas bukanlah sebuah lembaga yang melakukan kejahatan seperti opini yang terbangun saat ini. Karena itulah kami tidak ingin ada satu opini publik yang liar yang mengarah bahwa ormas itu identik dengan kejahatan," kata Razman.
Dia juga berharap agar semua pihak menahan diri dalam berkomentar soal ormas dan kemudian mengaitkannya dengan tindakan kejahatan. Menurutnya, hanya aparat penegak hukum terkhusus polisi yang punya kewenangan dalam menyampaikan isu atau kasus hukum.
"Silakan polisi yang bertindak, jangan ada kepala daerah yang melebihi kewenangan dan seolah-olah dia paling ingin negara ini baik, dan kita semua ini bobrok," kata dia.
Sumber: https://tirto.id/atasi-premanisme-berkedok-ormas-cukupkah-dengan-revisi-uu-ha5K
Dibaca 149 kali
