. Pemerintah Janji Retret Kepala Daerah Jadi Ajang Dialog Interaktif Pusat-Daerah
Logo KPPOD

Pemerintah Janji Retret Kepala Daerah Jadi Ajang Dialog Interaktif Pusat-Daerah

kompas.id - 19 Februari 2025

Pemerintah Janji Retret Kepala Daerah Jadi Ajang Dialog Interaktif Pusat-Daerah

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menginginkan retret atau orientasi kepala daerah tidak menjadi forum satu arah dari pusat ke daerah. Meskipun pelaksanaan retret hanya delapan hari pada 21-28 Februari, diharapkan dalam forum itu juga ada dialog tentang persoalan daerah.

Hal itu disampaikan Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto seusai menemui perwakilan kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) di kantor Kementerian Dalam Negeri, Selasa (18/2/2025).

Para kepala Bappeda dan Apeksi menyampaikan sejumlah aspirasi dari daerah terkait kebijakan efisiensi anggaran negara. Pemerintah daerah meminta arahan dari Kemendagri agar implementasi efisiensi anggaran selaras dengan rencana pembangunan daerah.

”Jadi, retret itu, kan, kita menginginkan tidak satu arah dari pusat ke daerah. Tidak top-down-lah. Tetapi, juga ada dialog dua arah terkait persoalan daerah,” ujar Bima Arya kepada wartawan.

Audiensi dengan pemda menjadi semacam ajang belanja masalah untuk dibawa ke retret kepala daerah di Akademi Militer, Magelang, Jawa Tengah, nanti. Dengan demikian, pemerintah pusat sudah memiliki kisi-kisi juga materi apa yang akan disampaikan saat retret kepala daerah.

”Supaya nanti teman-teman kementerian juga bisa dapat bocoran. Nanti, dari perspektif daerah seperti apa, jadi materinya nanti bisa kami titipkan,” ujar Bima.

Sejumlah isu yang menjadi titipan daerah itu di antaranya adalah tentang belanja daerah yang diatur oleh undang-undang (mandatory spending). Masih banyak daerah yang kebingungan dengan alokasi anggaran mandatory spending sehingga Kementerian Keuangan yang mengeluarkan petunjuk teknis dan pelaksanaan kebijakan itu bisa menjelaskan saat retret kepala daerah di Akmil.

”Saya berterima kasih kepada Ketua Apeksi yang telah memfasilitasi ini dan mengumpulkan teman-teman Bappeda karena mereka yang tahu teknisnya, regulasinya. Kemudian, mereka juga tahu mana yang masih diperlukan, mana yang bisa diefisienkan. Itu mereka tahu semua,” kata Bima.

Bima memastikan bahwa saat retret kepala daerah, yang terjadi adalah dialog seperti sesi tanya jawab di ruang-ruang kelas yang diatur secara interaktif. Pemerintah pusat tidak akan menjelaskan materi retret secara satu arah.

Karena pelaksanaan retret kepala daerah dipadatkan selama delapan hari, Bima menyadari bahwa orientasi kepemimpinan kepala daerah dan wakil kepala daerah itu kemungkinan memang tidak akan maksimal. Namun, setidaknya, program retret itu memang penting untuk pembekalan, sinkronisasi, sekaligus membangun kedekatan emosional antara kepala daerah dan pemda.

”Nanti (mungkin) akan ada lanjutannya lagi, bergantung nanti kondisi anggaran bisa di tahun depan atau seperti apa sangat mungkin. Sebab, daerah juga punya budget untuk pengembangan kapasitas kepala daerah,” ujar Bima.

Salah satu yang ditanyakan oleh kepala Bappeda dalam acara audiensi di Kemendagri itu adalah terkait alokasi APBD untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG). Daerah masih kebingungan mengalokasikan anggaran untuk MBG karena tidak ada petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaannya.

Namun, pada dasarnya pemda ingin membantu program prioritas nasional. Hanya saja, pemda belum terlalu paham apa saja yang dibutuhkan untuk mengalokasikan APBD untuk program MBG. Daerah yang memiliki kapasitas fiskal memadai, misalnya, diminta untuk mengalokasikan APBD untuk program MBG di sekolah.

”Arahan dari Presiden, untuk apa kita makan bergizi gratis kalau bangunan sekolahnya tidak layak. Contohnya Surabaya, ini salah satu contoh. Tadinya dia mengalokasikan Rp 1 triliun untuk MBG. Nah, sekarang bisa dialokasikan untuk perbaikan sekolah,” ujar Bima.

Ruang diskusi
Bima juga menegaskan, masih ada ruang diskusi terkait penyesuaian anggaran untuk program prioritas Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka seperti MBG. Alokasi anggaran untuk program tersebut belum final karena di level kementerian dan lembaga pun masih dilakukan penyesuaian dengan pembahasan antara Kementerian Keuangan dan DPR.

Adapun untuk implementasi di pemda, saat ini pemerintah pusat juga masih menyusun surat edarannya. Karena itu, jika ada masukan dari daerah, ruang dialog atau diskusinya masih ada dan terbuka.

”Ini (audiensi di Kemendagri) salah satu ruang dialog. Nanti, di retret ada ruang dialog lagi. Fokusnya adalah pada dialog supaya nanti bisa paham konsep efisiensi itu yang mana. Bukan kemudian memotong semua anggaran, tetapi menghilangkan anggaran-anggaran yang memang tidak efektif dan efisien,” kata Bima.

Secara umum, menurut Bima, kondisi kapasitas fiskal daerah memang masih banyak yang tergantung pada dana transfer dari pusat. Oleh sebab itu, diperlukan penguatan kapasitas fiskal daerah untuk menyisir ulang mata anggaran dalam rangka kebijakan efisiensi anggaran. Arah dari kebijakan efisiensi sebenarnya adalah menyehatkan ruang fiskal daerah.

”Ini prosesnya menuju ke arah menyehatkan fiskal daerah. Sebetulnya seperti itu. Bapak Presiden melihat petanya, banyak kapasitas daerah yang lemah dan ini tidak bisa dibiarkan seperti itu saja. Harus ada semacam shock teraphy untuk membuat daerah itu lebih berhati-hati lagi. Tidak bisa tergantung dari pusat, kemudian uangnya tidak hemat, tidak efektif dan efisien,” tutur Bima.

Ketua Apeksi Eri Cahyadi menambahkan, sejumlah isu krusial yang akan dibawa kepala daerah ke retret di Akmil Magelang adalah terkait dengan teknis efisiensi anggaran. Kebijakan efisiensi kerja, seperti bekerja dari rumah dan bekerja dari mana saja oleh aparatur sipil negara, sebenarnya otomatis akan mengurangi penggunaan anggaran. Untuk mengefisienkan anggaran daerah harus menyisir lagi kegiatan-kegiatan yang dirasa kurang penting.

”Misalnya untuk kegiatan penanganan tengkes, ternyata program untuk menyentuh korban tidak banyak. Inilah yang kemudian dipotong dan dianggarkan. Jadi, tidak langsung atau serta-merta dipotong, tetapi disisir ulang agar tepat guna dan sasaran,” kata Eri.

Wali Kota Surabaya terpilih 2024-2029 itu menambahkan, implementasi efisiensi APBD sebenarnya juga bergantung pada kebijakan kepala daerah. Kepala daerah akan menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang harus sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Daerah tidak boleh membuat program sendiri yang melenceng dari program prioritas Prabowo-Gibran.

”Karena itulah ketika ini ada kegiatan yang tidak sesuai dengan ini, makanya, kan, kita efisiensikan itu sebenarnya. Bukan efisiensi yang memotong, memotong. Kami tidak pernah mendapat perintah seperti itu,” ujar Eri.

Eri juga menyebut anggaran untuk pelayanan publik dan kepentingan masyarakat tetap akan dianggarkan sesuai prioritas. Kegiatan-kegiatan yang sudah pasti dipotong karena dampak efisiensi anggaran itu seperti diskusi kelompok terpumpun (FGD).

Namun, kegiatan yang berdampak pada perekonomian masyarakat seperti pameran UMKM masih dapat dilaksanakan oleh daerah jika memang kepala daerah bisa menjelaskan urgensi dan dampaknya.

”Cuma karena miskomunikasi (kebijakan efisiensi) saja sebenarnya, akhirnya yang menerima (kepala daerah), karena kaget, menyampaikan itu dipotong-potong tidak utuh pesannya,” ujar Eri.

Eri juga mengklaim bahwa efisiensi anggaran daerah tidak sampai memotong sepenuhnya anggaran untuk publik, seperti dana penanggulangan tengkes. Di Surabaya, penanggulangan tengkes memang menjadi program prioritas. Ketika hal itu menjadi prioritas, otomatis dana untuk program lain seperti infrastruktur memang berkurang.

Dampaknya, jalan rusak di seluruh Surabaya, misalnya, hanya ditambal-tambal sehingga anggaran bisa dilarikan ke penyelesaian tengkes dan penanggulangan kemiskinan. Dengan pilihan kebijakan itu, akhirnya di Kota Surabaya angka tengkes bisa diturunkan hingga sekarang persentasenya menjadi 1,6 persen atau terendah di seluruh Indonesia.

”Turunnya drastis, loh, di Surabaya, karena apa? Efisiensi yang tadi dimaksudkan Presiden, Menteri Dalam Negeri, dan Wakil Menteri Dalam Negeri. Efisiensi dilarikan sesuai dengan program prioritas nasional yang harus sama dengan Astacita,” kata Eri.

Gejala resentralisasi
Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman berpandangan bahwa program efisiensi didukung, tetapi ada implikasi seriusnya terhadap program pembangunan di daerah. Berdasarkan kajian KPPOD, pemangkasan transfer ke daerah (TKD) mencapai Rp 50,59 triliun dari program efisiensi daerah.

Hal itu berdampak pada kurang bayar dana bagi hasil (DBH) senilai Rp 13,9 triliun; dana alokasi umum (DAU) yang sudah ditentukan penggunaannya di bidang pekerjaan umum Rp 15,6 triliun; dana alokasi khusus (DAK) fisik senilai Rp 18,3 triliun; dana otonomi khusus Rp 509 miliar; dana keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Rp 200 miliar; dan dana desa sebesar Rp 2 triliun.

”Ada catatan fundamental dari KPPOD di mana penyusunan Inpres No 1/2025 tentang Efisiensi Anggaran tidak melibatkan daerah sama sekali. Efisiensi diarahkan pada program pemerintah pusat, padahal pemda punya program prioritas sendiri,” kata Herman.

Menurut dia, efek pemangkasan anggaran itu akan berdampak besar bagi belanja pelayanan publik. Daerah seolah tidak punya ruang otonomi lagi sehingga inpres dinilai tidak berpihak pada penguatan otonomi daerah.

Efisiensi anggaran juga dinilai masih kontradiktif karena sejak awal Prabowo-Gibran membentuk kabinet gemuk dan justru membuat retret kepala daerah yang dinilai memboroskan anggaran untuk perjalanan dinas dan seremonial. Padahal, dua jenis kegiatan itu masuk dalam program efisiensi anggaran.

Sumber: https://www.kompas.id/artikel/pemerintah-janji-retret-kepala-daerah-jadi-ajang-dialog-dua-arah-pusat-daerah


Dibaca 259 kali