Dari Pangan sampai Jalan, Pemangkasan Anggaran di Daerah Ganggu Belanja Esensial
kompas.id - 5 Februari 2025
Pemangkasan anggaran di level daerah ternyata turut menyasar belanja esensial, seperti urusan pangan serta pembangunan infrastruktur jalan dan irigasi. Pemerintah daerah mesti cerdik mengelola anggaran yang tersisa agar arahan efisiensi dari pusat tidak mengganggu program penting yang berkaitan langsung dengan rakyat.
Sesuai instruksi Presiden Prabowo Subianto, pemangkasan anggaran di daerah menyasar dua sumber sekaligus. Pertama, Transfer ke Daerah (TKD) yang merupakan alokasi dana dari pemerintah pusat ke daerah. Kedua, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang merupakan kewenangan daerah.
Mengacu pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 29 Tahun 2025 yang baru saja ditetapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 3 Februari 2025, ada ada enam pos TKD yang terkena efisiensi dengan nilai total Rp 50,5 triliun.
Keenam pos itu adalah Kurang Bayar Dana Bagi Hasil (DBH) yang dipangkas Rp 13,9 triliun atau 50 persen, Dana Alokasi Umum (DAU) yang dipangkas Rp 15,6 triliun atau 3,5 persen, dan Dana Alokasi Khusus Fisik (DAK Fisik) yang dipangkas Rp 18,3 triliun atau 49,5 persen.
Selain itu, ada pula Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) yang dipotong sebesar Rp 509,4 miliar atau 3,5 persen, Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dipotong Rp 200 miliar atau 16,6 persen, serta Dana Desa yang dipotong Rp 2 triliun atau 2,8 persen.
Pangan dan infrastruktur
Pemotongan anggaran atas pos TKD ternyata turut menyasar belanja esensial, seperti urusan pangan dan infrastruktur. Hal itu terlihat dari pemangkasan DAK Fisik yang diarahkan untuk memotong alokasi dana di bidang pangan pertanian sebesar Rp 675,3 miliar, serta di bidang pangan akuatik sebesar Rp 1,3 triliun.
Selain itu, juga pemangkasan DAK Fisik yang menyasar alokasi dana di bidang konektivitas atau infrastruktur, seperti jalan, sebesar Rp 14,5 triliun, serta di bidang irigasi sebesar Rp 1,72 triliun.
Ada pula pemangkasan alokasi dana yang bersumber dari pos DAU Bidang Pekerjaan Umum (PU) sebesar Rp 15,6 triliun. DAU Bidang PU biasanya secara spesifik digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur di daerah.
Direktur Dana Transfer Umum di Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Sandy Firdaus membenarkan, pemangkasan pada pos-pos tersebut pasti akan berpengaruh langsung pada kemampuan anggaran daerah pada 2025.
”Memang akhirnya pemerintah daerah harus melakukan refocusing anggaran, mana yang bisa digeser dari hasil penghematan, seperti perjalanan dinas dan seminar untuk belanja yang lebih produktif, termasuk belanja yang awalnya semestinya dibiayai lewat DAU,” kata Sandy dalam diskusi daring ”Efisiensi APBD untuk Belanja yang Lebih Produktif”, Selasa (4/2/2025).
Direktur Dana Transfer Khusus Purwanto menambahkan, meski belanja modal untuk pangan dan infrastruktur terdampak oleh pemangkasan DAK Fisik, masih ada sejumlah pos belanja penting lain yang tidak terkena efisiensi. Misalnya, bidang pendidikan, kesehatan, serta air minum dan sanitasi.
”Jadi, pemda sekarang lebih baik fokus saja untuk segera merealisasikan belanja dari pos DAK Fisik yang tidak dicadangkan (dipangkas). Masih ada anggaran untuk pendidikan, kesehatan, air minum, dan sanitasi,” katanya.
Kompensasi kebijakan
Untuk pos DAK Fisik pangan dan infrastruktur yang telanjur dipangkas, Purwanto berharap akan ada kebijakan pemerintah pusat lainnya dalam waktu dekat yang bisa mengompensasi program pembangunan yang kini terpaksa terhenti akibat arahan efisiensi dari pusat.
”Kita berharap ada kebijakan pemerintah yang nantinya akan bermanfaat untuk masyarakat daerah dalam bentuk lain atau sama. Misalnya, kalau ada jalan yang mestinya dibangun pakai DAK Fisik, tetapi tertunda karena pencadangan (efisiensi), kami harap nantinya ada pembangunan jalan juga bagi rakyat, meski bukan dari pemda yang menjalankan,” ucapnya.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Armand Suparman menyayangkan adanya pemotongan anggaran yang signifikan pada pos-pos TKD yang produktif. Semestinya, sebelum mengambil kebijakan efisiensi, pemerintah pusat mengajak diskusi perwakilan pemerintahan daerah terlebih dulu.
”Ini tentu sangat berpengaruh ke daerah, karena dari catatan kami, pemda selama ini sangat mengandalkan belanja modal dari DAK Fisik untuk membangun jalan, irigasi, dan lain sebagainya,” kata Armand.
Apalagi, hasil efisiensi atas anggaran produktif di daerah itu akan digunakan untuk menambah anggaran bagi program prioritas pemerintah pusat, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), bukan untuk dialihkan ke program prioritas lain di daerah bersangkutan. ”Ini seperti memunggungi otonomi daerah,” ujarnya.
Mencari solusi lain
Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia Alwis Rustam menambahkan, ini adalah momentum bagi pemerintah daerah untuk memperkuat pengelolaan keuangannya dengan mengoptimalkan sumber pendanaan dari luar, tanpa bergantung dari pemerintah pusat.
Ia mencontohkan, pemda ke depan dapat mengoptimalisasi pemanfaatan aset daerah serta pola pembiayaan kerja sama pemerintah dan badan usaha untuk mendanai pembangunan infrastruktur daerah, termasuk dengan memanfaatkan obligasi dan pinjaman daerah, sukuk, serta skema pembiayaan lain.
”Masalahnya memang (asosiasi) pemda seringkali hanya dijadikan corong sosialisasi kebijakan pusat, tidak dijadikan referensi dan tempat berdiskusi berbagai kebijakan yang mestinya menjunjung desentralisasi. Setidaknya, mempertimbangkan point of view dan aspirasi daerah agar regulasi itu tepat sasaran dan down to earth,” kata Alwis.
Sumber: https://www.kompas.id/artikel/dari-pangan-sampai-jalan-pemangkasan-anggaran-di-daerah-ganggu-belanja-esensial?open_from=Search_Result_Page
Dibaca 235 kali
