Prabowo Potong Rp 50 Triliun Dana Transfer, Fiskal Daerah Tertekan
kompas.id - 30 Januari 2025
Arahan Presiden Prabowo Subianto agar seluruh jajaran pemerintah pusat dan daerah melakukan efisiensi anggaran akan berdampak pada pemerintahan daerah yang belum mandiri secara fiskal. Pemda mesti mencari cara untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dan mengurangi ketergantungan pada transfer anggaran dari pusat.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman mengatakan, pemangkasan anggaran transfer ke daerah (TKD) tentu akan berdampak pada kondisi keberlanjutan fiskal di mayoritas daerah. Apalagi, mayoritas pemerintahan daerah di level kabupaten/kota belum memiliki kemandirian fiskal dan masih sangat bergantung dari transfer dana dari pusat.
Pemangkasan terbesar pada pos dana alokasi khusus (DAK) fisik (Rp 18,3 triliun) juga otomatis akan berdampak pada pembangunan di sejumlah daerah. Sebab, di beberapa daerah, transfer DAK fisik dipakai untuk belanja modal, seperti untuk pembangunan jalan, jembatan, dan fasilitas serta infrastruktur lain.
”Pemerintah daerah sangat mengandalkan DAK fisik untuk belanja modal. Jadi, tentu saja pemangkasan anggaran TKD dalam pos DAK fisik itu akan berdampak juga pada belanja dan pembangunan di daerah. Terutama, untuk daerah yang masih sangat bergantung pada transfer dari pusat,” kata Armand saat dihubungi, Senin (27/1/2025).
Sesuai Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2025, Presiden Prabowo meminta agar efisiensi juga dilakukan atas anggaran TKD.
TKD adalah dana yang dialokasikan pemerintah pusat dalam APBN untuk ditransfer ke pemerintah daerah. Dengan demikian, TKD berasal dari kantong pemerintah pusat, bukan dari pendapatan asli daerah (PAD) yang dipungut pemerintah daerah.
Dalam Inpres No 1/2025, Presiden meminta agar anggaran TKD dapat dipangkas hingga Rp 50,6 triliun. Pos belanja yang akan diefisiensikan antara lain kurang bayar dana bagi hasil senilai Rp 13,9 triliun, dana alokasi umum (DAU) yang sudah ditentukan penggunaannya di bidang pekerjaan umum senilai Rp 15,6 triliun, serta DAK fisik sebesar Rp 18,3 triliun.
Selain itu, ada pula efisiensi dari pos dana otonomi khusus senilai Rp 509,4 miliar, dana keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar Rp 200 miliar, serta dana desa sebesar Rp 2 triliun.
Armand menilai perintah efisiensi anggaran dari pusat ke daerah itu dapat menggerogoti otonomi daerah. Apalagi, jika benar hasil dari efisiensi anggaran TKD itu akan direalokasikan untuk menambah anggaran bagi sejumlah program pemerintah pusat, bukan untuk penghematan fiskal demi menyehatkan keuangan negara.
”Ini isu fundamental karena APBD 2025 itu sudah diketok dalam peraturan daerah. Kalau daerah diminta efisiensi untuk kepentingan pusat, seperti dugaan yang kini muncul, ini sebenarnya bentuk pengingkaran atas otonomi daerah,” ujarnya.
Meski belum diputuskan, sejumlah pejabat sebelumnya telah menyampaikan bahwa hasil efisiensi dengan total nilai Rp 306,7 triliun itu kemungkinan akan ikut dipakai untuk menambah anggaran program prioritas Prabowo yang tertuang dalam Delapan Program Hasil Terbaik Cepat atau quick win. Salah satunya adalah Makan Bergizi Gratis (MBG).
Lebih mandiri
Guna menyeimbangkan sumber pemasukan yang ”menghilang” akibat instruksi efisiensi dari pusat, pemerintah daerah perlu meningkatkan kemandirian fiskalnya. Armand menilai, sumber pemasukan mandiri, seperti PAD yang bersumber dari pajak dan retribusi daerah, semestinya bisa lebih dioptimalkan di sebagian daerah.
”Yang paling gampang dikontrol pemda itu adalah pajak dan retribusi daerah. Selama ini, dari sisi kebijakan pemungutan pajak dan retribusi daerah sebenarnya tidak ada masalah. Namun, masalahnya ada di administrasi, terkait sistem pemungutan di tiap daerah,” kata Armand.
Ia menjelaskan, dari 100 persen potensi pajak yang bisa dipungut oleh pemda, hanya 30-40 persen saja yang selama ini terealisasi. Persoalannya ada pada sistem basis data (database) pemerintahan daerah yang masih buruk serta pengawasan dan penegakan untuk merealisasikan potensi pajak dan retribusi.
”Mengoptimalkan pajak dan retribusi daerah ini paling realistis untuk dilakukan pemda selama satu tahun ke depan untuk menyikapi instruksi efisiensi dari pusat yang berlaku sepanjang tahun anggaran 2025,” katanya.
Membenahi BUMD
Strategi jangka menengah-panjang lain adalah membenahi badan usaha milik daerah (BUMD) sebagai salah satu sumber pendapatan daerah, serta meningkatkan investasi yang bisa menggerakkan sektor jasa dan perdagangan selaku penyumbang utama pajak dan retribusi daerah.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Sarman Simanjorang mengatakan, sebelum arahan penghematan muncul, pemerintah pusat tidak mengundang perwakilan asosiasi pemerintahan daerah untuk berdiskusi.
Namun, secara umum, pemerintah daerah dapat menerima instruksi tersebut demi menyehatkan keuangan negara di tengah kondisi ekonomi yang sedang penuh tantangan.
”Ini akan berdampak bagi kondisi fiskal pemerintah daerah, terutama kabupaten dan kota yang bisa dikatakan 90 persennya itu masih mengandalkan transfer TKD dari pusat. Namun, kami melihat ini sebagai strategi pemerintah pusat agar belanja di semua level, pusat sampai daerah, bisa lebih tepat sasaran, tepat waktu, dan bermanfaat langsung bagi masyarakat,” kata Sarman.
Ia berharap, seiring berjalannya waktu, ketika kondisi fiskal pemerintah pusat sudah membaik, instruksi penghematan itu dilonggarkan. ”Saya harapkan ke depan bisa dilonggarkan kembali seperti biasanya. Untuk saat ini, mungkin ini cara yang diambil pemerintah untuk menyikapi kondisi ekonomi global yang sedang tidak baik-baik saja,” ujarnya.
Belanja tak perlu
Di sisi lain, efisiensi atas anggaran pemerintah daerah juga lebih banyak menyasar belanja non-esensial yang selama ini semestinya bisa dihemat, misalnya belanja perjalanan dinas, kegiatan seremonial, seminar dan studi banding, belanja honorarium, serta belanja yang sifatnya pendukung.
”Jadi, seharusnya anggaran pelayanan publik dan pembangunan di daerah tidak masuk. Meskipun untuk sektor usaha yang berkaitan pasti besar, seperti sektor hotel, restoran, kafe, dan pariwisata, itu akan sangat terdampak oleh pemangkasan anggaran perjalanan dinas,” kata Sarman, yang juga berlatar pengusaha.
Hal senada dikatakan Armand. Ia menilai, ada beberapa belanja operasional yang semestinya tidak lagi membutuhkan anggaran besar sehingga perlu dipangkas, misalnya anggaran rapat dan seminar yang sudah bisa dilakukan secara daring ketimbang menyewa ruangan hotel dengan anggaran berkali-kali lipat lebih tinggi.
Demikian pula anggaran untuk alat tulis kantor yang sudah bisa dikurangi dengan sistem pemerintahan yang semakin terdigitalisasi pascapandemi. ”Perjalanan dinas juga memakan anggaran besar, padahal konsultasi antara pemerintah daerah dan pusat bisa juga dilakukan secara daring,” katanya.
Sumber: https://www.kompas.id/artikel/prabowo-perintahkan-efisiensi-bagaimana-nasib-daerah-yang-belum-mandiri-fiska
Dibaca 31 kali