Pilkada Asimetris Dapat Timbulkan Diskriminasi Baru
mediaindonesia.com - 23 Desember 2024
DIREKTUR Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman N. Suparman pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito terkait wacana soal Pilkada dengan sistem pendekatan Asimetris.
Pilkada asimetris yang dimaksud adalah sistem yang memungkinkan adanya perbedaan pelaksanaan mekanisme pilkada antar daerah, yang muncul dikarenakan suatu daerah memiliki karakteristik tertentu seperti kekhususan dalam aspek keamanan.
“Kalau ada potensi kekerasan atau keamanan masyarakat di satu daerah dengan daerah yang lain seperti di Papua, jangan kemudian dilihat solusinya dengan pemilihan lewat DPRD. Seharusnya pemerintah bisa menggunakan pendekatan lain misalnya mengikatkan edukasi politiknya yang juga harus berbeda di setiap provinsi,” katanya dalam diskusi media bertajuk ‘Catatan Otonomi Daerah 2024’ di Jakarta pada Jumat (20/12).
Menurut Herman, pilkada bukan hanya menjadi bagian dari mekanisme politik untuk pengisian jabatan demokratis. Lebih dari itu kata dia, pilkada idealnya menjadi sebuah implementasi pelaksanaan otonomi daerah yang sesungguhnya, jika pilkda asimetris dilaksanakan maka akan menimbulkan diskriminasi baru.
“Provinsi adalah salah satu daerah otonom. Selama ini selalu berkembang bahwa otonominya itu ada di kabupaten dan kota, padahal kalau kita lihat di undang-undang, provinsi juga punya kewenangan. Jadi pilkada melalui masyarakat harus terus dipertahankan,” ujarnya.
Untuk itu, Herman juga mendorong partai politik sebagai lembaga yang memiliki tugas untuk melahirkan calon pejabat publik, agar menjalankan fungsi pendidikan dan sosialisasi politik kepada warga untuk menekan biaya pemilihan.
“Ini adalah kerja partai politik, karena tugas partai politik salah satunya agregasi kepentingan dan pendidikan politik, karena kita harapkan partai politik itu tidak hanya bekerja di tahun pemilu dan pilkada saja, tapi selama empat tahun berikutnya ini harus memberikan sosialisasi dan pendidikan politik kepada warga,” pungkasnya.
Sementara itu, Analis Kebijakan KPPOD, Sarah Nita Hasibuan menjelaskan bahwa Pilkada Lewat DPRD akan merusak prinsip desentralisasi politik. Menurutnya, pilkada tidak langsung merupakan kemunduran dalam demokrasi Indonesia yang bertentangan dengan semangat desentralisasi.
“Jika alasannya ongkos politik dan politik uang yang tinggi lalu dimunculkan wacana pilkada lewat DPRD, kami mendata anggaran APBN/APBD untuk pelaksanaan pilkada sekitar 37,52 triliun untuk 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota, ini tidak terlalu besar untuk agenda 5 tahunan. Jauh lebih besar anggaran untuk membiayai kementerian yang sangat gemuk saat ini,” kata Sarah.
Selain itu, Sarah menjelaskan bahwa pilkada oleh DPRD dapat melemahkan otonomi daerah karena kandidat yang diusung partai politik diputuskan oleh pimpinan parpol di pusat sehingga akan mengabaikan unsur lokalitas.
“Dan tidak ada jaminan penghilangan praktik politik uang dan politik berblaya tingel jika pilkada lewat DPR, justru akan membuat partisipasi masyarakat tertutup, masyarakat akan semakin tidak memiliki peran dalam proses pembangunan pasca pilkada,” pungkasnya.
Sumber: https://mediaindonesia.com/pilkada/727863/pilkada-asimetris-dapat-timbulkan-diskriminasi-baru
Dibaca 17 kali