. Dejavu Fiskal Negara
Logo KPPOD

Dejavu Fiskal Negara

Bisnis Indonesia - 13 Maret 2024

Dejavu Fiskal Negara

Pemerintah tampaknya mulai ketagihan dengan skema burden sharing dengan pemangku kebijakan di daerah dalam memenuhi besarnya belanja negara. 

Setelah burden sharing alias berbagi beban dengan pemerintah daerah (pemda) dianggap sukses dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 dan 2023, skema serupa juga akan diadopsi dalam penyusunan postur fiskal 2025.

Berdasarkan informasi yang diperoleh Bisnis, Rancangan APBN 2025 di desain dengan skema berbagi beban bersama pemda melalui optimalisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). 

Maklum, rumusan belanja pada tahun depan disusun tetap jumbo terutama dalam kaitan belanja perlindungan sosial (perlinsos) atau bantuan sosial (bansos).

Di sisi lain, APBN akan ngos-ngosan apabila harus memikul beban sendiri untuk memenuhi belanja perlinsos yang menyangkut subsidi, kompensasi energi, serta bansos. 

"Sedang dikaji apakah nanti [belanja perlinsos] bisa menggunakan APBD," kata sumber Bisnis yang dekat dengan otoritas fiskal, Selasa (12/3).

Hanya saja, sejauh ini pemerintah masih mengkaji teknis dari skema tersebut apakah sama dengan APBN 2022 dan 2023 atau ada pembeda lantaran anggaran 2025 akan dijalankan oleh pemerintahan baru hasil Pemilu 2024.

Sejumlah pejabat di Kementerian Keuangan pun tidak merespons pertanyaan yang diajukan Bisnis perihal skema burden sharing pusat-daerah dalam APBN 2025.

Dalam periode akhir pelaksanaan APBN 2022, burden sharing pusat-daerah dijalankan dengan diwajibkannya pemda mengalokasikan sebagian dana transfer umum (DTU) yang bersumber dari dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH) untuk bansos.

Alokasi belanja wajib untuk penanganan inflasi di daerah kala itu sebesar 2% dari DTU. 

Tujuan dari kebijakan ini adalah menangkal efek tekanan harga minyak yang berkorelasi pada penurunan daya beli masyarakat.

Kemudian dalam APBN 2023, burden sharing pusat-daerah diimplementasikan melalui penyesuaian alokasi DBH yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sumber Daya Alam (SDA) apabila terjadi kenaikan harga komoditas yang berkorelasi pada pembengkakan subsidi.

Secara umum, burden sharing 2023 tetap berfokus pada mitigasi dini kenaikan harga minyak yang akan memacu mahalnya harga bahan bakar minyak (BBM). 

Hanya saja, arah kebijakan lebih fokus ke sumber alokasi DBH.

Meski pengalaman berbagi beban APBN-APBD dalam dua tahun kala itu berhasil memagari efek rambat komoditas ke ekonomi nasional, dampaknya ke kapasitas fiskal daerah tak bisa dianggap remeh.

Berbagi beban melalui pemangkasan DTU tentu akan memengaruhi kapasitas fiskal daerah terutama yang masih bergantung pada transfer langsung pemerintah pusat.

ALASAN KUAT
Di sisi lain, pemerintah memiliki alasan yang cukup kuat mengandalkan daerah untuk membantu pembiayaan belanja sosial pada tahun depan.

Sebab per 5 Januari 2025 seluruh pemda secara resmi menerapkan skema pajak baru yang terkandung dalam UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah atau HKPD.

Dalam UU itu, ada banyak substansi yang diklaim dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
 
Sementara itu, kalangan pengusaha mendukung upaya pemerintah pusat untuk kembali menerapkan burden sharing dengan daerah dengan fokus pada belanja sosial.

Akan tetapi, para pebisnis juga mengingatkan agar daerah yang terlibat dalam skema itu hanya pemda dengan kemandirian fiskal tinggi sehingga tidak kontra produktif dengan agenda pembangunan.

Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Kemaritiman, Investasi, dan Luar Negeri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W. Kamdani, mengatakan idealnya skema itu berlaku setiap tahun mengingat ketidakpastian global masih sangat tinggi.

"Karena akan ada faktor uncertainty besar yang bisa menciptakan risiko kenaikan pengeluaran bansos baik di tingkat pusat maupun daerah," ujarnya.

Menurutnya, implementasi burden sharing juga dapat mengoptimalisasi beban subsidi khususnya pada sektor penga manan sosial yang dapat meroket pada waktu-waktu tertentu seperti adanya bencana alam hingga pandemi.

Burden sharing juga dinilai mampu mensinergikan budgeting APBN dan APBD yang tidak profesional dan dapat meneken realisasi anggaran subsidi bansos yang rentan penyalahgunaan.

"Terlebih, risiko perlambatan ekonomi global masih tinggi tahun depan, sehingga berpotensi menjadi tambahan beban terha dap program-program yang bisa ditanggung APBN," jelasnya.

Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sarman Simanjorang, menambahkan skema itu akan berjalan sempurna apabila hanya melibatkan pemda dengan PAD yang cukup solid.

Menurutnya, belanja bansos memang harus melibatkan APBD agar terjadi pemerataan stabilitas daya beli. Akan tetapi, perlu juga dilihat kemampuan fiskal masing-masing daerah.

Sebab jika disamaratakan, maka pada ujungnya pemerintah pusat akan kembali mengucurkan dana transfer
yang lebih besar untuk mengompensasi hilangnya PAD guna kebutuhan bansos tersebut.

"Perlu kajian apakah misalnya dengan beban yang berbeda-beda, misal ada yang 50% ada yang 30% bahkan ada yang 20%," ujarnya.

Adapun, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman, mengkritisi dasar dilakukannya burden sharing dalam RAPBN 2025.

Menurutnya, situasi pada saat ini berbeda dibandingkan dengan 2022 dan 2023 yang kala itu terbebani oleh se rangkaian faktor seperti kenaikan inflasi dan efek mahalnya harga BBM yang semuanya bersumber dari eksternal.

"Sedangkan 2025 hanya untuk bansos, jadi perlu dipertimbangkan ulang. Karena idealnya alokasi belanja bansos sudah di rumuskan oleh pemerintah pusat dengan APBN," ujarnya.

Armand menambahkan, ketimbang membebani daerah dengan belanja program pemerintah pusat, otoritas di level sentral perlu mengimprovisasi pembiayaan alternatif untuk memenuhi belanja bansos yang sejatinya merupakan tanggung jawab pusat.

Sumber: Harian Bisnis Indonesia, Rabu 13 Maret 2024


Dibaca 1109 kali