. Usaha Mikro-Kecil Mendominasi Investasi di RI sampai 92 Persen
Logo KPPOD

Usaha Mikro-Kecil Mendominasi Investasi di RI sampai 92 Persen

kompas.id - 1 Desember 2023

Usaha Mikro-Kecil Mendominasi Investasi di RI sampai 92 Persen

Seorang warga membeli produk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) para perempuan di Desa Sinduharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, pada Rabu (5/7/2023). Desa Sinduharjo merupakan salah satu dari puluhan Desa Damai yang dibimbing oleh Wahid Foundation dan UN Women.

JAKARTA, KOMPAS — Dalam dua tahun terakhir ini, jumlah investasi di Indonesia naik cukup signifikan. Sebagian besar, sampai 92 persen, didominasi usaha skala mikro dan kecil (UMK). Meski kalah dari segi nilai, investasi UMK ini dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak dari usaha menengah dan besar.

Data Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan, selama periode 4 Agustus 2021 sampai 27 November 2023, sejak diterapkannya sistem perizinan usaha daring yang terintegrasi dan berbasis risiko (online single submission risk based approach/OSS-RBA), total ada 12,71 juta investasi yang terdaftar di Indonesia.

Sebagian besar atau 92 persen merupakan investasi di usaha skala mikro dan kecil (UMK). Jumlah itu terdiri dari 7,13 juta investasi UMK perseorangan (56,10 persen dari total investasi yang masuk) dan 4,54 juta investasi UMK berbadan usaha (35,78 persen).

Sementara itu, investasi oleh usaha skala menengah dan besar hanya mencapai 8,11 persen dari total investasi. Terdiri dari 50,18 juta usaha non-UMK perseorangan (0,39 persen) dan 981.000 usaha non-UMK badan usaha (7,72 persen).

Sejalan dengan itu, nomor induk berusaha (NIB) yang diterbitkan pun didominasi UMK. Dari total 6,59 juta NIB yang keluar pada periode yang sama, 98,96 persen adalah NIB untuk UMK. Mayoritas merupakan NIB usaha mikro (96,2 persen) dan usaha kecil (2,76 persen). Sebaliknya, NIB untuk usaha besar hanya 0,69 persen, dan untuk usaha menengah hanya 0,34 persen.

Adapun mayoritas investasi UMK yang masuk bergerak di sektor perdagangan eceran yang risiko usahanya rendah, sektor jasa lainnya, konstruksi, atau investasi manufaktur kecil dan sederhana, seperti alas kaki dan tekstil rumahan.

Direktur Deregulasi Penanaman Modal Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal BKPM Dendy Apriandi, Selasa (28/11/2023) di Jakarta, mengatakan, investasi UMK hanya banyak dari segi jumlah, tetapi nilainya tidak terlalu besar.

“Sesuai namanya, investasi UMK itu kecil-kecil tetapi banyak. Beda dengan investasi besar yang hanya satu-dua, tetapi nilainya jumbo. Kalau kita lihat dari kacamata nilai investasi, masih kalah,” kata Dendy seusai diskusi “OSS-RBA Terkini: Upaya Perbaikan dan Tantangan Implementasi di Daerah” yang diselenggarakan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD).

Berdasarkan data realisasi investasi tahun 2022 oleh BKPM, realisasi investasi UMK mencapai Rp 318,6 triliun. Dari segi nilai, itu masih jauh di bawah capaian investasi sektor menengah-besar yang sebesar Rp 1.207,2 triliun.

Meski demikian, dampak penciptaan lapangan kerja yang dibawa investasi UMK lebih besar, sampai enam kali lipat melebihi investasi non-UMK. Sepanjang tahun 2022, investasi UMK mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 7,6 juta orang, sementara investasi menengah-besar 1,3 juta orang.

Dendy menilai, secara jangka panjang, penyerapan tenaga kerja oleh investasi menengah dan besar seharusnya tetap lebih besar. ”Sebab, investasi menengah-besar itu terdata lebih jelas, mereka juga rutin melapor Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM), jadi kita bisa lihat berapa tenaga kerja yang mereka gunakan, berapa yang tenaga kerja Indonesia dan tidak,” katanya.

Pemerintah, ujarnya, sengaja mempermudah perizinan usaha bagi pelaku UMK guna mendorong legalisasi dan formalisasi usaha mikro dan kecil yang selama ini terserap di sektor informal. Selain pengurusan NIB yang lebih mudah lewat sistem OSS-RBA, UMK juga diperbolehkan membentuk perseroan terbatas (PT) perseorangan agar lebih mudah mengurus izin berusaha.

“Dengan mereka masuk di sistem OSS, kita harap data UMK tercatat jelas dan tidak tersebar. Berbagai sweetener juga kita berikan untuk UMK, seperti akses permodalan, kredit usaha rakyat (KUR), pajak yang lebih rendah,” kata Dendy.

Peningkatan kapasitas

Menurut Direktur Eksekutif KPPOD Herman Suparman, investasi UMK belakangan ini lebih menjamur karena urusan perizinan usaha yang jauh lebih sederhana ketimbang usaha menengah-besar. Investasi non-UMK biasanya memiliki risiko usaha yang lebih tinggi, sehingga ada lebih banyak persyaratan yang harus dipenuhi sebelum mendapat izin.

”Masih banyak hambatan dalam perizinan usaha bagi investasi menengah-besar, terutama yang risikonya cukup tinggi. Beda dengan UMK yang cukup mengurus NIB, dalam 5-10 menit izinnya langsung keluar dari sistem OSS. Kita masih butuh banyak perbaikan dari segi regulasi dan sistem,“ katanya.

Meski demikian, investasi UMK terkhusus mikro yang banyak dengan serapan tenaga kerja yang tinggi itu menyimpan persoalan tersendiri. Meski jumlahnya banyak dan kerap jadi penyelamat ekonomi nasional di saat krisis, karakteristik usaha mikro biasanya cenderung tidak stabil, dengan tingkat aset, produktivitas, dan kesejahteraan pelaku UMK serta karyawan UMK yang rendah.

Oleh karena itu, Herman menilai masih ada pekerjaan rumah besar yang tersisa. Pertama, mendorong peningkatan kapasitas pelaku UMK yang semakin menjamur, agar mereka tidak terus-terusan terjebak dalam usaha yang subsisten, tetapi bisa naik kelas menjadi usaha yang lebih produktif, stabil, dan mampu menciptakan lapangan kerja yang layak.

Upaya peningkatan kapasitas bagi UMK ini pun tidak bisa dilakukan satu kementerian secara tunggal, tetapi sistematis melibatkan lintas kementerian sampai pemerintah daerah.

”Ini catatan pentingnya. Tidak cukup berhenti sampai pada menerbitkan izin usaha bagi UMK, tetapi bagaimana capacity building setelah itu. UMK butuh akses, pendampingan, pelatihan dan bimbingan, supaya bisa menghasilkan produk yang lebih bagus dan kemampuan promosi yang lebih baik,” katanya.

Kedua, membuat pemetaan kebijakan investasi berdasarkan prioritas. Untuk mendorong penciptaan lapangan kerja yang banyak sekaligus layak, investasi yang ditarik semestinya yang bersifat padat karya di skala menengah-besar.

“Perlu ada mapping yang jelas sesuai kebutuhan kita menciptakan lapangan kerja. Kebijakan investasi semestinya lebih fokus ke sektor-sektor yang padat karya, seperti industri manufaktur,” ujar Herman.

Senada, perwakilan pelaku usaha Anton J Supit menambahkan, untuk menciptakan lapangan kerja yang banyak dan layak, pemerintah harus kembali menghidupkan investasi padat karya. Sebagai perbandingan, pada tahun 2013, investasi senilai Rp 1 triliun masih bisa menyerap 4.594 tenaga kerja. Pada 2021 dan 2022, investasi dengan nilai sama hanya bisa menyerap 1.340 orang dan 1.081 orang.

Saat ini, ada 54,5 juta penduduk yang mencari kerja, dengan penambahan sekitar 2-3 juta orang angkatan kerja baru yang muncul setiap tahun. ”Untuk mengatasi itu, satu-satunya cara yang paling efektif adalah beri lapangan kerja, melalui investasi yang padat karya, dan investasi itu hanya bisa masuk kalau ada iklim berusaha yang baik di dalam negeri,” kata Anton.

Sumber: https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2023/11/28/usaha-mikro-kecil-mendominasi-investasi-di-ri-sampai-92-persen


Dibaca 353 kali