Quo Vadis Desentralisasi? Sumber Artikel berjudul " Quo Vadis Desentralisasi? ", selengkapnya denga
Pelimpahan tanggung jawab pembiayaan Makan Bergizi Gratis (MBG) melalui Permendagri 14/2025 kian melemahkan otonomi daerah. Karakter ontologis desentralisasi sebagai penyerahan kewenangan mulai bergeser jadi pendelegasian agenda istana.
Pemerintahan Prabowo-Gibran menjadikan daerah sebagai objek pelaksana, bukan lagi subjek yang independen. Pemotongan dana transfer ke daerah merupakan kode keras agenda arus balik desentralisasi oleh Istana. Disiplin fiskal yang telah dijaga sejak era reformasi mulai dilanggar.
Padahal, Istana tahu persis beban yang tengah dipikul daerah: ketidakmandirian fiskal. Otonomi daerah kini di persimpangan dan kita hanya bisa melontarkan pertanyaan reflektif atas realita getir hari ini: quo vadis (mau ke mana) desentralisasi?
Gagal diagnosis
Efisiensi sembrono pemerintah menimbulkan konsekuensi fiskal yang fatal. Proyek ambisius seperti MBG dan lanjutnya pembangunan Ibu Kota Nusantara menyedot APBN dengan porsi jumbo. Belum lagi lahirnya kebijakan yang menyulut angkara murka rakyat, yakni kenaikan tunjangan DPR yang kinerjanya mandul.
Pada saat yang sama, Kemenkeu (per 11 Agustus 2025) menyampaikan bahwa realisasi penerimaan baru mencapai Rp 996 triliun atau sekitar 45,5% dari target Rp 2.189,3 triliun Dengan pemasukan yang seret, pemerintah melakukan pemangkasan secara sporadis.
Dana transfer daerah pun tak luput dari pemangkasan. Wacana Prabowo menaikkan anggaran MBG dan menurunkan alokasi dana transfer di tahun 2026 adalah semiotika pelucutan desentralisasi. Implementasi MBG yang koruptif dan bermasalah justru ditingkatkan pembiayaannya.
Ironisnya, dana transfer yang dipotong di awal 2025 akan dipangkas lagi sebesar 29,34% pada tahun 2026. Himbauan Presiden kepada para Bupati untuk mengoptimalkan potensi PAD bisa saja diterjemahkan sebagai ajakan menaikkan pajak.
Jika daerah tidak memiliki opsi dan langkah kreatif, maka mereka akan menempuh jalan pintas melalui kenaikan pajak atau membuat pungutan liar yang diformalisasikan. Kekacauan yang dipupuk rezim Joko Widodo melalui UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat Daerah (HKPD) menciptakan bom waktu yang kini mulai meledak.
Langkah berbagai daerah menaikkan tarif pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) secara sporadis memancing amarah rakyat sebagaimana terjadi di Pati. Belum lagi fenomena kenaikan tarif pajak kendaraan bermotor di 26 Provinsi yang ditentang masyarakat dan dunia usaha.
Substansi UU HKPD memancing pemda menaikkan pajak daerah tanpa mengurai problem fundamental ketergantungan pada dana transfer. Pemerintah hingga hari ini nampak gagal mendiagnosis akar masalah di daerah. Langkah pemangkasan dana transfer tentu saja akan ditentang daerah. Alih-alih menciptakan stabilitas fiskal, pemerintah tengah memancing konflik di dalam kolam keruh.
Awas Orde Baru
Arus balik desentralisasi yang dimulai sejak era Joko Widodo (revisi UU Cipta Kerja yang memangkas kewenangan daerah) dan dilanjutkan Prabowo-Gibran kian sulit dihindari.
Retret yang semestinya jadi forum silaturahmi diisi dengan materi arahan Presiden yang membonsai kreativitas kepala daerah. Pengisian jabatan sipil oleh militer adalah pelanggaran atas semangat meritokrasi dan talent pool yang sedang dibangun.
Desentralisasi sebagai amanat reformasi 98 mulai dikhianati dengan tudingan yang menmpatkan daerah sebagai sumber masalah. Efisiensi anggaran adalah kebohongan besar untuk menutupi adanya peralihan prioritas dan tata kelola yang kian sentralistik.
Bagaimana bisa kita percaya adanya efisiensi, sedangkan pusat berencana meningkatkan utang untuk pembiayaan proyek mercusuar rezim? Wacana revisi UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam Prolegnas 2025 bisa jadi pintu masuk kembalinya Orde Baru.
Sejarah mencatat bahwa praktik otonomi era orde baru berjalan dengan kepercayaan yang minim terhadap daerah dan tata kelola fiskal yang sentralistik. Apa yang terjadi hari ini adalah tanda nyata bahwa orientasi otonomi daerah bergeser ke arah yang sentralistik.
Sebagai bangsa yang bertumbuh dan belajar, semestinya kita paham bahwa cara yang sentralistik sudah terbukti gagal dan memusatkan korupsi pada lingkaran istana. Peter Drucker (1996) telah mengingatkan kita bahwa tidak ada negara yang terbelakang, yang ada hanya salah urus.
Kesalahan pusat dalam menempatkan prioritas pembangunan pangkal dari kekacauan fiskal hari ini. Keputusan sepihak tanpa telaah saintifik dikhawatirkan akan membawa Indonesia menuju negara gagal. Realitanya, hari ini negara yang gagah bicara soal Indonesia Emas justru sedang meyakinkan pikiran publik: Indonesia Cemas.
Alih-alih mematikan desentralisasi, Pemerintah Pusat sebaiknya melakukan introspeksi dan mulai menggunakan pendekatan asimetris dalam memetakan persoalan pemerintahan daerah. Sentralisasi pemerintahan hanya akan menuntun kita pada pemusatan kekuatan yang menjadikan istana superpower.
Kita punya luka pahit proyek strategis negara (PSN) yang muncul secara otoriter (tanpa melibatkan daerah) hingga membenturkan daerah dengan investasi ekstraktif yang tidak berkelanjutan. Acemoglu dan Robinson (2012) telah mengingatkan bahwa kemiskinan terjadi karena institusi yang cenderung ekstraktif dan koruptif
Ditulis oleh: Eduardo Edwin Ramda - Analis Kebijakan KPPOD
Terbit pada 30 November 2025
Sumber: https://koran.pikiran-rakyat.com/opini/pr-3039753228/quo-vadis-desentralisasi?page=all
