Premanisme dan Iklim Investasi di Daerah
Kasus oknum pengusaha lokal anggota Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Cilegon—yang diduga meminta jatah proyek tanpa lelang—semestinya menjadi batu uji perdana sekaligus memperluas horizon pemahaman dan kerja Satuan Tugas Terpadu Operasi Penanganan Premanisme dan Organisasi Kemasyarakatan yang baru dibentuk pemerintah.
Peristiwa ini menunjukkan, laku premanisme tak terbatas pada aktus kekerasan jalanan, tetapi bisa mewujud secara simbolik melalui kapitalisasi kekuatan semisal ”lokalitas”, ”institusi”, atau ”jaringan” tertentu.
Tugas satgas pun—menjaga stabilitas dan keaman investasi—seyogianya tidak hanya menunggu aduan masyarakat atau fokus pada tindakan yang meresahkan di jalanan, tetapi mampu mengidentifikasi dan mencabut akar-akar premanisme yang berkelindan di ruang-ruang institusional, seperti pranata hukum, kebijakan, dan kultur kelembagaan.
Di sini, satgas membutuhkan dukungan penuh Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi. Kesadaran dan komitmen seperti ini penting mengingat aksi premanisme ini menjadi ancaman serius bagi kemudahan dan kepastian investasi sebagai sumber energi pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah.
Premanisme juga menjadi tembok penghalang bagi ikhtiar pemerintah mengejar pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Setua reformasi
Premanisme telah menghantui dunia usaha sepanjang era reformasi. Sejak awal orde ini, Kajian Daya Tarik Investasi (KPPOD, 2001-2005) menunjukkan, para pelaku usaha besar dan mikro, kecil, menengah (UMKM) sudah berhadapan dengan masalah keamanan investasi, antara lain, tingginya tekanan ormas berwatak preman dan biaya keamanan.
Para pelaku usaha ini harus menyiapkan biaya tambahan untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan keamanan, baik dalam produksi maupun distribusi hasil produksi atau logistik antardaerah.
Berbagai jenis pungutan ini menambah beban berbisnis dan tentu menimbulkan ketidakpastian dalam perhitungan ongkos produksi perusahaan. Lebih jauh, problem ini berdampak terhadap harga mahal yang harus dibayarkan masyarakat terhadap setiap barang dan jasa hasil produksi dunia usaha.
Seperempat abad berlalu, dunia usaha masih berhadapan dengan persoalan serupa. Kajian terbaru, hasil investigasi Kompas ”Industri dalam Cengkeraman Premanisme” (17-18/3/2025), mengungkapkan masalah gangguan keamanan yang dialami dunia usaha.
Situasi ini sangat serius karena aksi premanisme ini tidak hanya lekat pada citra ormas yang berwatak pemeras, tetapi juga dilakukan kelompok kerah putih (oknum aparat desa/pemerintah/pemda/penegak hukum) yang menyalahgunakan kewenangan.
Menariknya, aksi premanisme kerah putih sering kali hadir secara simbolik melalui penggunaan kekuasaan dalam proses perizinan berusaha pada tahapan memulai bisnis (starting a business) atau pengawasan pada tahapan operasional berusaha.
Mereka memanfaatkan celah tumpang tindih regulasi dan ketidakpastian kebijakan perizinan, mulai dari sistem informasi yang asimetris, prosedur-waktu-biaya yang rumit, dan mekanisme pengawasan yang nir-akuntabel.
Negara disfungsial
Gangguan keamanan yang menghambat iklim investasi juga menggambarkan corak negara disfungsial. Bagaimana tidak, melindungi segenap bangsa Indonesia, termasuk dunia usaha, merupakan salah satu tujuan utama pembentukan Negara Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945.
Dalam rangka menjalankan mandat konstitusional ini, negara hadir melalui pranata eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ketiga peranti negara ini memiliki kewenangan untuk merancang bangun, menerapkan, dan menegakkan kebijakan publik.
Tugas kebijakan publik, menurut pakar kebijakan publik Riant Nugroho, adalah ”membangun rakyat, sehingga rakyat biasa bekerja dengan luar biasa, dan menjadikan negara biasa menjadi negara luar biasa”.
Namun, di lapangan, produk layanan publik dan langgam tata kelola dari ketiga peranti negara tersebut belum sepenuhnya menjamin kemudahan, kepastian, kenyamanan, dan keamanan investasi, mulai dari tahapan pra-berusaha sampai aktivitas investasi berjalan.
Alhasil, dunia usaha masih terperangkap dalam produktivitas yang biasa-biasa saja.
Mengapa negara disfungsional? Proyek deregulasi, debirokratisasi, dan digitalisasi dikendalikan institusi pemerintah/birokrat dan politik yang—meminjam Acemoglu dan Robinson (2012)—masih bercorak ekstraktif. Problem ini tampak dalam tata kelola kebijakan yang masih jauh dari partisipasi bermakna karena terjebak dalam proseduralisme.
Para pembuat kebijakan (policy makers) fokus pada pemenuhan terhadap ”tahapan-tahapan” atau ”standar” yang harus dipatuhi sesuai perintah peraturan perundangan dan mengabaikan partisipasi bermakna para pemangku kepentingan terkait.
Rambu-rambu prosedural dinilai lebih penting daripada unsur-unsur substansial sehingga mudah menerabas prinsip-prinsip akuntabilitas, partisipasi, dan transparansi dalam tata kelola kebijakan terkait.
Jebakan ini membuat gerakan penataan kemudahan berusaha berputar-putar dalam labirin persoalan yang dibuat pemerintah sendiri.
Lebih jauh, karakter ekstraktif tersebut berdampak terhadap ketidakmampuan negara dalam meredam preman berbaju ormas dan oknum birokrat-penegak hukum.
Banyak pemikir kebijakan dan pakar politik menunjukkan simbiosis mutualisme antara ormas dan oligarki politik untuk mendapatkan manfaat politik dan ekonomi. Sementara itu, oknum birokrat-penegak hukum cerdik mengapitalisasi ruang abu-abu dalam peraturan perundangan yang notabene produk dari institusi ekstraktif.
Jalan keluar
Sejumlah kajian KPPOD menunjukkan bahwa komitmen negara untuk memberikan jaminan kepastian, kemudahan, dan keamanan investasi membutuhkan prasyarat reformasi yang struktural-inklusif pada semua peranti negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dan pranata politik, baik di level nasional maupun daerah.
Misalnya, kajian soal Daya Tarik Investasi (2001-2005), Tata Kelola Ekonomi Daerah (2006-2016), Kemudahan Berusaha di Daerah (2017-2021), dan Daya Saing Daerah Berkelanjutan (2020-2022).
Pada titik ini, penting disadari, Satgas Penanganan Premanisme dan Ormas akan bekerja efektif, jika dan hanya jika, Presiden Prabowo selaku pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi menjadi yang terdepan dalam pembenahan institusional secara menyeluruh.
Secara verbal, komitmen tersebut sesungguhnya muncul jika mendengar arahan Presiden pada Sarasehan Ekonomi 2025 di Menara Mandiri, Jakarta, 8 April silam. Pada acara tersebut, Presiden menyatakan ”kita mesti berintrospeksi, institusi kita mesti beres”.
Arahan tersebut akan bermakna jika pemerintah dan pemangku kepentingan (stakeholder) terkait, termasuk dunia usaha, mampu melakukan reformasi struktural-inklusif, baik pada tata kelola kebijakan-kelembagaan-digitalisasi maupun pada penataan kelembagaan politik dan ekonomi.
Contoh konkret, komitmen ini akan terwujud, antara lain, jika pemerintah membuka diri bagi semua stakeholder (dunia usaha, akademisi, buruh, dan masyarakat sipil), untuk terlibat penuh dalam penyusunan dan monitor-evaluasi kebijakan terkait.
Sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi sekaligus ketua umum partai politik beserta dukungan Koalisi Indonesia Maju Plus, di atas kertas, Presiden Prabowo tidak memiliki aral yang merintanginya dalam upaya pembenahan ini. Semoga!
Oleh: Herman N Suparman, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
Sumber: Kompas, 20 Mei 2025 https://www.kompas.id/artikel/premanisme-dan-iklim-investasi-di-daerah
Dibaca 95 kali