. Otonomi Daerah dan Janji Astacita
Logo KPPOD

Otonomi Daerah dan Janji Astacita

Kuadrimester pertama pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mementaskan sejumlah drama yang menimbulkan kegamangan eksistensial bagi nasib otonomi daerah selama lima tahun ke depan.

Drama itu mulai dari wacana pilkada oleh DPRD yang disampaikan langsung Presiden Prabowo, pelantikan serentak, retret kepala daerah, sampai Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) (Inpres Efisiensi), menunjukkan gestur pasangan kepala negara yang mulai mengayun pendulum otonomi daerah dari titik desentralisasi menuju sentralisasi.

Beragam lakon tersebut juga menampilkan wajah paradoks keduanya terkait dengan tata kelola pembangunan daerah. Betapa tidak, rangkaian kebijakan dan program terkait tampaknya kontradiktif dengan Misi Astacita tentang penguatan desentralisasi dan otonomi daerah yang tertuang tegas dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2025-2029 (Perpres RPJMN) dan UU No 59/2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045 (UU RPJPN).

Di sini, Prabowo Gibran sedang menebar aroma ketidakpastian tentang nasib otonomi daerah ke depan.

Memitigasi ketidakpastian tersebut, fenomena ini mesti ditanggapi positif-konstruktif, terutama untuk mengawal pembahasan Rancangan Undang-Undang (UU) Perubahan Keempat atas UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menjadi bagian dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Pembahasan ini menjadi sangat krusial untuk menegaskan dan meletakkan kembali peran eksistensial otonomi daerah dalam panggung pembangunan nasional di tengah menguatnya lakon resentralisasi.

Simtom awal
Fakta simtomatik resentralisasi menubuh-nyata dalam kebijakan strategis ataupun gestur Pemerintahan Prabowo Gibran. Pertama, Pasca-Pilkada Serentak Presiden Prabowo menggaungkan kembali wacana pemilihan oleh DPRD lantaran biaya politik yang sangat mahal.

Pada ranah diskursus-substantif, usulan ini menjadi lagu lama. Pada 2014 silam, publik sudah menilai sistem perwakilan ini merupakan upaya memutar balik langkah demokrasi lokal yang sudah bergerak maju melalui Pilkada Langsung.

Jika ditelusuri lagi ke masa kampanye Pilkada 2024, muncul framing bahwa daerah akan maju dan berkembang atau daerah akan mendapatkan gelontoran program pusat jika kepala daerahnya memiliki kedekatan, jaringan dan/atau didukung pimpinan republik ini.

Ini harus diluruskan kembali mengingat narasi tersebut membuat pemaknaan peyoratif hubungan pusat dan daerah hanya pada relasi antara presiden beserta pimpinan parpol dengan kepala daerah yang didukung partai pendukung pemerintah.

Kedua, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2015 tentang Efisiensi Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) secara gamblang meminggirkan otonomi daerah. Pada dimensi yang paling prinsipil, Inpres Efisiensi ini mengabaikan dan mencaplok ”hak” daerah sebagaimana yang sudah ditetapkan dalam UU No 62/2025 tentang APBN 2025. UU ini menetapkan transfer ke daerah.

Namun, Inpres memotong sebesar Rp 50,59 triliun dari Rp 919,87 triliun tanpa melalui mekanisme pengajuan Rancangan UU APBN Perubahan. Inpres ditetapkan secara sepihak dengan mengabaikan DPR RI sebagai perwakilan rakyat dan daerah.

Lebih dari itu, pemangkasan ini mengganggu keuangan daerah yang berimplikasi negatif pada belanja pembangunan dan pelayanan publik. Berdasarkan Indeks Kemandirian Fiskal (BPK, 2020), mayoritas daerah (88,07 persen) masih mengandalkan TKD.

Karena itu, selain memberikan tekanan pada keuangan daerah, sejumlah belanja modal (infrastruktur) dan pelayanan publik menjadi korban Inpres Efisiensi ini. Ini menjadi alarm berbahaya bagi target pertumbuhan 8 persen pemerintah mengingat belanja modal dan belanja operasi juga sangat memengarui pertumbuhan ekonomi daerah (KPPOD, 2015).

Inpres Efisiensi ini sesungguhnya melanjutkan desentralisasi fiskal semu selama masa Reformasi. Pusat mementaskan ”politik anggaran” yang mengunci keleluasaan daerah untuk mengelola APBD. Selama masa reformasi, pemerintah sudah melakukan tiga kali perubahan UU terkait dengan hubungan keuangan pusat-daerah.

Paling terbaru, pemerintah melakukan revisi bersamaan UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan dengan UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dengan UU No 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah. UU yang terakhir ini bertujuan untuk meningkat local taxing power dan meningkatkan kualitas pengelolaan keuangaan belanja daerah.

Namun, kajian KPPOD (2021) menunjukkan bahwa seluruh UU Hubungan Keuangan Pusa-Daerah dan perubahanya selama masa reformasi tidak melakukan perubahan fundamental pada sisi penerimaan dan belanja. Bahkan, cenderung memosisikan daerah hanya sebagai pelaksana (manajer lapangan) kebijakan ketimbang mengatur dan mengurus secara leluasa pendapatan dan pengelolaan belanja.

Sebagai contoh, pada sisi belanja, kecenderungan kontrol pusat semakin menguat. UU HKPD sudah menetapkan sejumlah mandatory spending—belanja yang ditetapkan peruntukannya, antara lain belanja pegawai maksimal 30 persen dan infrastruktur minimal 40 persen.

Mandatory spending bisa mendekati 100 persen belanja daerah jika menelusuri sejumlah peraturan menteri keuangan (PMK). Sebagai contoh, PMK No 110/2023 dan PMK No 134/2023 mengatur bagian DAU yang ditentukan penggunaannya, yaitu penggajian pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) daerah; dukungan pembangunan sarana dan prasarana, pemberdayaan masyarakat di kelurahan; dukungan bidang pendidikan; dukungan bidang kesehatan; dan dukungan bidang pekerjaan umum.

Bahkan, pada tahun 2024, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 43 Tahun 2024 menetapkan penghentian penyaluran Dana Bagi Hasil Sawit, Dana Bagi Hasil Sumber Daya Kehutanan, dan Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau Anggaran 2024.

Mesti diakui, roda kepemimpinan Prabowo-Gibran memang sudah berada di lintasan arus balik desentralisasi. Sejumlah undang-undang strategis sudah memunggungi otonomi daerah sementara pada isu pembagian kewenangan urusan pemerintahan, UU Sektoral sudah mengosongkan Lampiran UU Pemda.

Sebagai contoh, UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba (UU Minerba) juga menarik kewenangan terkait perizinan sampai pengawasan dari daerah ke pusat. Selain berdampak terhadap kapasitas fiskal daerah, beleid tersebut menghilangkan peran pengawasan pemda terhadap aktivitas pertambangan.

UU No 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang UU Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) juga menarik sejumlah kewenangan, antara lain terkait persetujuan pemanfaatan ruang (izin lokasi) jika daerah belum memiliki rencana detail tata ruang (RDTR), perubahan fungsi bangunan gedung dan beberapa perizinan berusaha berbasis risiko.

Melawan arah Astacita
Arus balik ini tentu menjadi tantangan sekaligus pekerjaan rumah mahaberat bagi pemerintahan keduanya. Sebab, Astacita sendiri memberikan janji penguatan otonomi daerah. Dalam rangka menjalankan misi ketujuh Astacita ”Memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba”, pada Prioritas Ketujuh Perpres RPJMN 2025-2019 menyatakan secara eksplisit bahwa ”Penataan desentralisasi dan otonomi daerah menjadi instrumen kebijakan dalam rangka meningkatkan kualitas tata kelola pemerintah daerah yang dilakukan melalui harmonisasi hubungan pusat dan daerah, penguatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia pemerintah daerah, dan penguatan fondasi keuangan daerah”.

Bahkan pada ”Bab Arah Pembangunan Wilayah”, Perpres RPJMN ini menjadikan penataan otonomi daerah sebagai fondasi untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan.

Artinya, jika membaca Perpres RPJMN 2025-2029 sebagai instrumen pengejawantahan Astacita, di atas kertas, Pragrib menjadikan penataan desentralisasi dan otonomi daerah sebagai agenda penting lima tahun ke depan.

Peluang pembenahan
Prabowo Gibran mulai menakhodai Indonesia bertepatan dengan momentum seperempat abad pelaksanaan desentralisasi dan otda pasca-reformasi. Reformasi 1998 telah menempatkan desentralisasi dan otonomi daerah sebagai elan vital untuk mencapai cita-cita bangsa. Memperkuat agenda reformasi tersebut, pemerintahan mereka sesungguhnya memiliki peluang pembenahan.

Pada tataran programatik, bukan kebetulan, pada tahun 2025, revisi UU Pemda menjadi prolegnas prioritas. Ini menjadi kesempatan untuk menerjemahkan Misi Astacita ke dalam RUU Pemda yang menjadi kebijakan payung bagi seluruh dimensi tata kelola pemerintahan daerah. Secara subsantif, komitmen tersebut hanya akan terwujud jika revisi UU Pemda mampu memberikan kepastian hubungan kewenangan, keuangan, dan pembinaan-pengawasan secara asimetris sebagaimana arahan dalam Perpres RPJMN dan UU RPJPN.

Sementara pada tataran implementatif, konsistensi antara arah kebijakan dan laku penerapan juga menjadi variabel determinan menentukan kepastian hubungan pusat-daerah. Karena itu, keteladanan pemerintah sendiri dalam mematuhi dan menjalankan peraturan perundang-perundangan terkait akan turut menentukan kiblat otonomi daerah ke depan.

Oleh: Herman N Suparman Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)

Dibaca 775 kali