Kabinet Gemuk dan Pelemahan Debirokratisasi
Efisiensi business process perizinan berusaha melalui debirokratisasi menghadapi jalan terjal. Wacana penambahan jumlah kementerian menjadi pangkal atas problematika ini. Reformasi perizinan berusaha yang mengusung debirokratisasi dimaksudkan untuk menciptakan kelembagaan perizinan yang efisien. Dengan demikian, wacana ”kabinet gemoy” berpotensi menghalangi agenda debirokratisasi di masa mendatang.
Gestur politik balas budi tercium publik pascamerapatnya partai nonkoalisi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran. Gagasan rekonsiliasi tampak mulia apabila beritikad menghadirkan perdamaian. Masalahnya, tak ada makan siang gratis, harus ada harga yang dibayar atas niat baik ini. Membeludaknya partai yang merapat pada pemerintahan menimbulkan konsekuensi pembengkakan jumlah kementerian.
Politik balas budi yang hendak dijalankan sang pemenang pemilu berpotensi memperkeruh iklim investasi. Dengan kekuatan politik parlemen yang ada, bukan tidak mungkin akan ada revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Perubahan dari 34 kementerian menjadi 40 kementerian akan memecah beberapa pintu perizinan (dasar dan sektoral). Ini jelas bertentangan dengan spirit debirokratisasi yang diwacanakan pemerintahan Joko Widodo.
Bunga tidur
Birokrasi yang ideal, menurut Max Weber, diharapkan mampu mengatasi ketidakefisienan dan ketidakpraktisan. Kredo ini menjadi landasan teoritikal hadirnya debirokratisasi sebagai jalan perampingan kelembagaan. Kemudian, David Osborn dan Ted Gaebler (2003) menggagas reinventing government yang mendambakan adanya pemerintahan yang smaller (ramping), better (lebih baik), faster (lebih cepat), dan cheaper (lebih murah).
Indonesia pada 2015 merilis paket kebijakan ekonomi I yang mencakup Deregulasi, Debirokratisasi, serta Penegakan Hukum dan Kepastian Usaha. Sepak mula deregulasi dan debirokratisasi kemudian diperkuat dengan adanya digitalisasi layanan perizinan yang dimulai pada 2018 melalui layanan Online Single Submission (OSS). Pada 2020, pemerintah mengetuk palu sahnya UU Cipta Kerja yang kontroversial dan diperbaiki pada 2022.
Sejatinya reformasi perizinan berusaha di Indonesia sedang berada pada proses yang progresif. Kepastian waktu pelayanan perizinan lebih terjamin dan kejelasan biaya perizinan tampak pasti melalui regulasi di level pusat dan daerah. Keseriusan pemerintahan Joko Widodo dalam memperbaiki ekosistem investasi semakin terlihat melalui renomenklatur Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menjadi Kementerian Investasi.
Fakta problematiknya, hingga hari ini, semua pelaku usaha tidak bisa mengakses layanan perizinan digital secara single login (satu login untuk semua layanan perizinan). OSS dan sistem pendukung seperti SIM-BG (Kementerian PUPR), Amdalnet (KLHK), maupun SIINAS (Kemenperin). Pada kasus wacana pemisahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, jelas berpotensi menambah aplikasi baru karena jarang terjadi satu aplikasi dikelola dua kementerian.
Alur birokrasi di pusat belum bekerja satu pintu dan multi birokrasi, sesuatu yang bertentangan dengan semangat debirokratisasi. Kasarnya, setiap kementerian tentu memiliki mekanisme tersendiri ihwal perizinan.
Berpegang pada tesis tersebut, besar kemungkinan penambahan nomenklatur kementerian berdampak pada pembengkakan pintu masuk perizinan berusaha. Kementerian gemuk berimplikasi pada rumitnya pelaku usaha berisiko menengah dan tinggi untuk memulai bisnis karena banyaknya pintu yang dilalui.
Gejala bureaunomia
Mimpi integrasi dan single login pada akhirnya akan jadi bunga tidur. Sebab, kita semua tahu bahwa hari ini para politisi menagih janji kontribusi kursi kementerian. Kementerian basah seperti ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan menjadi rebutan. Alih-alih bersatu, politis pemegang kementerian malah berpikir terbalik karena ada kekuasaan dan hal lain yang harus dipertahankan sebagai balas jasa pemenangan dalam kontestasi pilpres.
Menilik wacana penggemukan kementerian, tentu ini adalah langkah pemerintahan baru yang tidak cermat dan sarat transaksional. Komposisi kementerian yang ”gemoy” hanya akan menambah kerumitan proses perizinan. Sebab, perebutan kursi di masa prajabatan mengindikasikan adanya perebutan ”jatah” yang berpotensi menambah alur dan izin baru. Sebagai pemenang, posisi Prabowo-Gibran jelas dilematis menghadapi tagihan-tagihan yang mulai muncul.
De Gournay (1764) mengidentifikasi adanya penyakit ”bureaumania” yang menggambarkan pemerintahan yang banyak dikeluhkan oleh publik yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. Bureaumania terjadi karena hadirnya kekuatan politik praktis yang dominan dan mempengaruhi pelayanan publik. Gejalanya adalah ditempatkannya orang partai atau personal yang terafiliasi dalam kekuatan politik tertentu dalam pemerintahan.
Debirokratisasi semestinya diikuti dengan komitmen pemerintah untuk memilih kabinet berbasis merit. Persoalannya, hari ini kecil kemungkinan terbentuk kabinet zaken akibat tagihan dini partai politik yang membengkak.
Jalan keluarnya adalah kemauan presiden sebagai pemegang hak prerogatif untuk menyerahkan kursi menteri pada kalangan profesional. Apabila perlu, tim Prabowo-Gibran menggelar uji publik terbuka untuk memastikan kementerian strategis diisi oleh profesional yang bebas kepentingan dan tegas dalam bersikap.
Bureaumania melalui penggemukan kabinet justru akan membebani APBN, sebab akan lebih banyak pembengkakan biaya operasional kementerian baru. Ini jelas kontradiktif dengan komitmen Prabowo-Gibran yang hendak memberi makan siang gratis dan melanjutkan IKN. Beban anggaran yang besar akibat skema ”kabinet gemoy” sejatinya bisa dipakai untuk membiayai program makan siang gratis.
Akhir kata, buanglah jauh-jauh gagasan pembentukan ”kabinet gemoy”. Negara maju dan luas seperti Amerika Serikat nyatanya hanya memiliki 20 Kementerian. Upaya tabrak-tabrak masuk melalui uji materi UU Kementerian hanya akan memperkuat persepsi negatif publik, sebab tidak ada kegentingan yang memaksa negara untuk menggemukkan kementerian. Enam kementerian siluman adalah bentuk bureaumania yang melemahkan agenda debirokratisasi yang baru dimulai sewindu lalu.
Oleh: Eduardo Edwin Ramda, Analis Kebijakan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2024/05/14/kabinet-gemuk-dan-pelemahan-debirokratisasi?open_from=Section_Terbaru