Tata Kelola Makan Siang Gratis
DRAMA Pemilu Presiden 2024 telah usai. Pascaputusan Mahkamah Konstitusi atas sengketa pemilu, KPU menetapkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming sebagai nakhoda Indonesia lima tahun ke depan. Sudah saatnya publik mendiskursuskan kembali program makan siang gratis, salah satu andalan dalam Asta Cita Prabowo-Gibran. Pada masa kampanye, program ini diragukan publik mengingat kebutuhan anggaran mencapai Rp 450 triliun.
Pada mulanya, Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran merencanakan pelaksanaan makan siang gratis secara menyeluruh. Tentu saja publik merespons rencana ini dengan nada sumbang, sebab ada kekhawatiran pembengkakan utang negara dan indikasi bancakan tim sukses. Belakangan, TKN merevisi rencana program yang akan dilakukan secara bertahap pada daerah tertentu dengan estimasi biaya Rp 120 T.
Survey GNCF bertajuk The Global Survey of School Meal Programs 2021 menyebutkan bahwa terdapat 125 negara yang menyelenggarakan program ini. Survei ini menunjukkan bahwa pembiayaan makan siang gratis di 53 negara didukung penuh oleh pemerintah. Dari 125 negara yang termasuk dalam database survei, total anggaran yang dialokasikan untuk pemberian makanan di sekolah pada tahun 2021 setidaknya berjumlah 35,3 miliar dollar AS (Rp 589 T).
Angka tersebut relatif besar, namun ingat ini adalah gabungan dari 125 negara (berpenghasilan rendah hingga tinggi). Angka tersebut nyaris tidak jauh berbeda dengan proyeksi yang diajukan TKN. Dengan kata lain, rancangan makan siang gratis Indonesia mendekati agregat penyelenggaraan makan siang gratis di level global. Jelas ini adalah hal yang tak realistis dan cenderung berakhir pada pemborosan jika dipaksakan. Sebagai perbandingan, implementasi makan siang gratis di Rusia dimulai pada 1 September 2020 secara bertahap dan berlanjut di seluruh wilayah.
Sepanjang tahun 2020-2022, lebih dari 139 miliar rubel (Rp 24 T) dialokasikan ke daerah untuk membiayai bersama organisasi penyediaan makanan hangat bagi siswa. Pendanaan nampak efisien karena program ini diperuntukkan bagi siswa sekolah dasar dan pembiayaan program. Artinya, Pemerintah Rusia melaksanakan program dengan basis target kelompok tertentu sehingga realisasinya tak membebani keuangan negara. Rusia tidak perlu melakukan realokasi karena setiap wilayah menerima dana federal untuk pembiayaan makan siang gratis.
Berikutnya kita beranjak ke Brasil, negara yang secara demografis dan luas geografis memiliki karakter serupa dengan Indonesia. Program makan siang gratis dilatarbelakangi persoalan multidimensi pada ketahanan pangan dan kemiskinan. Realisasi di Brasil menunjukkan bahwa program makanan sekolah gratis bagi anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah sejak tahun 1940-an dan diperluas tahun 2009 untuk memenuhi kebutuhan semua anak.
Negara ini mensyaratkan minimal 30 persen makanan yang disajikan dalam makanan ini berasal dari peternakan keluarga lokal di lokasi sekolah. Teknisnya, Bahan pangan tersebut dibeli pemerintah melalui Programa de Aquisição de Alimentos (PAA). Kebijakan ini memudahkan akses penyediaan pangan dan mendukung pertanian lokal, tentunya dengan harga menguntungkan. Pada 2008, lebih dari 100.000 petani menjual hasil panen mereka ke PAA, yang mencakup hampir 17 juta orang.
Sepak mula
Program ini sejatinya bukan barang baru di Indonesia. Eks Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan pernah menjalankan program pemberian makan gratis kepada siswa SD melalui program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS) di 459 sekolah yang tersebar di 53 kelurahan. Hanya saja, DKI Jakarta memiliki kekuatan fiskal yang mumpuni dan cakupan geografis yang kecil. Berbeda nantinya dengan Indonesia yang luas dan terbatas APBN-nya.
Negara sebesar Rusia faktanya masih menjalankan program ini secara bertahap dan tidak menghabiskan anggaran secara jor-joran. Demikian halnya Brasil yang nyatanya butuh waktu puluhan tahun untuk menemukan formulasi teknokratik yang relevan. Bahkan realisasi program di Brasil mampu menghadirkan multiplier effect terhadap petani lokal melalui pelibatan PAA sebagai penghimpun produk lokal. Secara filosofis, program ini sejatinya adalah bentuk intervensi langsung atas persoalan gizi yang dianggap berdampak pada prestasi peserta didik.
Maka, intervensi cukup dilakukan pada daerah yang dipandang darurat terlebih dahulu untuk membuktikan signifikansi intervensi terhadap upaya pengentasan masalah. Program interventif ini akan mencapai outcome bilamana berjalan dengan tata kelola yang baik. Hal pertama yang harus disiapkan adalah payung hukum makan siang gratis.
Tentu saja kebijakan ini disusun dalam bentuk Undang-Undang karena agenda ini memiliki impact yang luas. Proses kebijakan tentunya dirumuskan secara deliberatif dan melibatkan aktor nonpemerintah seperti pelaku usaha, petani dan nelayan lokal, akademisi, serta masyarakat sipil. Penataan kewenangan pusat-daerah untuk pelaksanaan dan binwas dirumuskan dengan mengedepankan asas efektivitas kerja. Kemudian, tim internal Prabowo-Gibran mulai memperkuat kelembagaan sebagai orkestrator program makan siang gratis.
Kelembagaan ini dibentuk dengan Peraturan Presiden dan berlaku dari level nasional hingga desa. Pemerintah dapat membentuk kelompok kerja multistakeholders dan lintas level pemerintahan untuk melakukan koordinasi perencanaan, penganggaran, kebijakan, hingga monev. Badan Pangan Nasional bisa mengambil peran layaknya PAA di Brasil.
Mekanisme monev dibutuhkan, sebab Survey GCNF (2021) mengidentifikasi adanya korupsi dalam program makan siang gratis. Dalam beberapa kasus, pengangkut mengirimkan makanan dalam jumlah yang tidak mencukupi ke sekolah dengan maksud untuk menjual sisanya. Bukan tidak mungkin terjadi megakorupsi di Indonesia, negara yang pada 2023 mengalami kemerosotan peringkat indeks persepsi korupsi dari 110 menjadi 115.
Wacana Prabowo-Gibran melibatkan BUMDes sebagai pelaksana program perlu diikuti dengan penguatan dari sisi kelembagaan dan kapabiliitas. Keterbukaan keuangan dan tata kelola wajib dikawal, sebab tingkat korupsi di level Desa relatif tinggi dan selama ini pengelolaan dana desa tidak berdampak signifikan terhadap masyarakat.
Menuju sepak mula, atensi terhadap tata kelola anggaran menjadi krusial. Untuk memulai program, kita bisa meniru langkah yang dilakukan Rusia dengan menghabiskan dana yang tidak besar untuk realisasi di daerah tertentu. Daerah dipilih berdasarkan tingkat prevalensi stunting hingga kondisi sosio ekonomi di daerah.
Pembiayaan sepak mula makan siang gratis sebenarnya bisa diperoleh dari tindakan kontraktif pengambil kebijakan fiskal. Misalnya, pemerintah harus memangkas belanja-belanja kontraproduktif seperti biaya fullboard meeting dan perjalanan dinas, sebab implikasinya terhadap kesejahteraan masyarakat nihil. Toh kerja koordinatif dan pembelajaran praktik baik dari luar negeri bisa dijalankan secara virtual. Pemerintah tentu memiliki kuasa yang besar untuk melakukan pemangkasan. Sebab, pemerintah berpengalaman melakukan realokasi masif untuk pembiayaan IKN.
Jika Pemerintah kesulitan melakukan penghematan, maka ini akan menjadi preseden buruk sebab negara dianggap lebih mementingkan bangunan daripada isi perut masyarakat. Program mulia Prabowo-Gibran patut untuk dikawal sebagai sepak mula penguatan SDM menuju Indonesia Emas 2045. Jangan sampai, triliunan rupiah yang dikucurkan negara disikat oleh para pemburu rente. Butuh ketegasan yang kokoh untuk melakukan pemangkasan dana dan pengawasan atas realisasi program. Sebab, kali ini pemerintah berurusan langsung dengan perut generasi penerus bangsa.
Oleh: Eduardo Edwin Ramda, Analis Kebijakan KPPOD
Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2024/05/13/11434411/tata-kelola-makan-siang-gratis?page=all#page2