Kabinet Desentralis dan Reorientasi Otonomi Daerah
Memecahkan masalah diskoneksi pusat dan daerah—seperti diungkapkan Presiden Joko Widodo dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional 2024, 6 Mei 2024, mesti menjadi prioritas utama kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, lima tahun ke depan.
Bagaimana tidak, kompleksitas masalah otonomi daerah (otda), termasuk hubungan pusat-daerah yang tidak solid, berpotensi menjadi bottleneck dalam mendaratkan ”delapan program hasil cepat terbaik” Prabowo-Gibran, termasuk program makan siang gratis, di daerah.
Bukan kebetulan, bertepatan dengan musrenbang itu, Kompas (6/5/2024) menyerukan ”saatnya reorientasi otonomi daerah” mengingat hasil kajian Litbang Kompas mengungkap rapor merah otda seperempat abad terakhir sekaligus pekerjaan rumah ke depan. Seruan reorientasi ini sangat relevan, terutama dengan labilnya prakondisi otda, termasuk hubungan pusat dan daerah yang belum solid dan berkontribusi terhadap lemahnya pengaruh otda terhadap pencapaian kesejahteraan masyarakat.
Salah satu variabel yang berkontribusi pada sengkarut ini adalah kabinet (presiden dan para menteri) yang tidak memiliki komitmen kuat terhadap otda dan ego sektoral kementerian/lembaga (K/L). Karena itu, beberapa bulan ke depan menjadi momen krusial bagi Prabowo-Gibran untuk merespons pekerjaan rumah dari Presiden Joko Widodo, terutama dalam memilih anggota kabinet (menteri) yang mampu bergerak orkestrasial dalam membangun hubungan pusat-daerah yang partisipatif, transparan, dan akuntabel.
Kabinet fragmentaris
Seorang birokrat daerah pernah bertanya seperti ini: siapa orangtua kami di pusat, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atau kementerian teknis (sektoral)? Pertanyaan ini merupakan luapan keresahan pemda ketika K/L bergerak secara fragmentaris ke daerah.
Di hulu, fragmentasi tersebut nyata muncul pada tata kelola kebijakan strategis terkait daerah, mulai dari level undang-undang (UU), peraturan pemerintah (PP), sampai peraturan menteri. Dinamika perancangan UU Cipta Kerja beserta perubahan pascaputusan Mahkamah Konstitusi dan turunannya pada PP serta peraturan menteri sungguh menggambarkan betapa sulit mengorkestrasi kerja K/L.
Dampak yang diharapkan dari UU sapu jagat ini adalah kemudahan dan kepastian berusaha yang difasilitasi sistem Online Single Submission (OSS) berbasis risiko. Sistem ini akan mengintegrasikan seluruh layanan perizinan di K/L dan pemda dalam satu platform digital.
Namun, beleid itu sendiri dan PP sektoral justru membuka peluang setiap kementerian memiliki sistem sendiri sehingga menyulitkan proses integrasi antarsistem layanan. Ini berdampak pada pembinaan-pengawasan K/L yang berakrobatik secara sektoral ke daerah (KPPOD, 2021).
Lebih ekstrem lagi, UU sektoral mengangkangi UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kebijakan-kebijakan itu tak mematuhi asas akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas sebagai dasar pembagian urusan pemerintah sebagaimana diatur UU Pemda.
Sebagai contoh, UU No 3/2020 tentang Mineral dan Batubara menarik izin pertambangan dari provinsi ke pusat. Ketentuan menabrak pembagian urusan pemerintahan konkuren di bidang energi antara pusat dan daerah di UU Pemda. UU Cipta Kerja melangkahi kewenangan pemda dalam persetujuan pemanfaatan ruang (dulu disebut izin lokasi) ketika daerah tak memiliki rencana detail tata ruang (RDTR).
Di hilir, mulai dari tataran programatik, asistensi teknis (bimtek/diklat), sampai penilaian (pemeringkatan) kinerja daerah, K/L juga bermanuver secara fragmentaris ke daerah. Program K/L sebenarnya beririsan, tetapi pergerakan solo run ke daerah membuatnya tumpang tindih di lapangan. Tentu setiap instansi memiliki pagu anggaran sehingga akrobatik sektoral ini cenderung memboroskan anggaran.
Terkait program penilaian kinerja yang berujung pada penghargaan, tentu menjadi basis untuk melakukan pembinaan-pengawasan ke pemda. Namun, selain ada variabel penilaian yang beririsan (sama), tak dimungkiri banyak energi daerah tersedot untuk merespons aneka penilaian itu.
Akar masalah
Komitmen cum kemampuan dirigensi presiden dalam mengorkestrasi para menteri menjadi akar utama. Selaku pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi (Pasal 4 UUD 1945), presiden memegang dan menjaga bandul urusan pemerintahan, apakah bergeser ke titik sentralistik atau desentralisitik.
Selama satu dekade pemerintahan Jokowi, komitmen itu tampaknya lemah sehingga arus balik desentralisasi bergerak sangat kencang. Padahal, sebagai anak kandung otda, mantan Wali Kota Surakarta dan Gubernur DKI Jakarta ini pasti sangat mengetahui beragam masalah di daerah tak bisa diatasi hanya dengan penarikan kewenangan ke pusat.
Pada aras kebijakan, secara arsitektural, urusan pemerintahan yang dibagi habis (konkuren) antara pusat dan daerah berjumlah 32. Setiap kementerian/lembaga mendapatkan jatah untuk mengurus dan mengatur sesuai tupoksinya. Persoalan utamanya adalah garis demarkasi antara urusan, terutama sub-urusan, sering abu-abu dan diterjemahkan secara sektoral oleh K/L. Tak heran, dalam hubungan dengan daerah, program-program kementerian mendarat (landing) di tempat yang sama di daerah, bahkan di desa.
Masalah ini diperumit ”budaya” ego sektoral K/L yang masih mengakar kuat. Jika diselisik lebih lanjut, target kinerja output setiap instansi dan bahkan kedirekturjenderalan/kedeputian membuat birokrat bak memakai kacamata kuda. Fokus pada tupoksinya tanpa melihat kiri-kanan di instansi lain. Implikasinya, penyusunan kebijakan sektoral dan program-program yang diselenggarakan sering kali dikejar capaian target kinerja masing-masing.
Beragam soal ini diperparah jika menteri yang menjadi nakhoda penyelenggaraan urusan pemerintahan tidak memiliki komitmen dan bahkan pengetahuan tentang urgensi (otonomi) daerah. Seorang mantan pejabat negara pernah berkeluh kesah kepada penulis tentang masalah ini. Seandainya sebagian besar menteri memiliki karakter serupa, ini tentu alarm bahaya bagi upaya reorientasi otda ke depan.
Kabinet desentralis
Agenda reorientasi otda membutuhkan landasan pacu kabinet desentralis. Secara ideologis, kabinet desentralis memiliki keyakinan kuat dan pandangan kokoh terkait urgensi otda sebagai pranata determinan pembangunan. Kabinet ini pun dirancang secara terstruktur dan sistematis memiliki desain kebijakan yang pro-desentralisasi dan otda. Salah satu indikator, trisula hubungan pusat-daerah (kewenangan, fiskal-keuangan, pembinaan-pengawasan) diatur berdasar prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas.
Pada dimensi kewenangan, segala bentuk penarikan kewenangan dari daerah ke pusat diminimalisasi. Terkait sisi fiskal dan pembinaan-pengawasan, tantangan kesenjangan antara kewenangan (otoritas) dan kapasitas pemda diatasi dengan penguatan kerja fasilitasi, supervisi, dan pendekatan insentif-disinsentif.
Pada aspek kelembagaan, kabinet desentralis merupakan super team yang bekerja integratif sehingga tak bergerak sektoral-fragmentaris. Di titik ini, sistem komunikasi dan koordinasi antarmenteri perlu mendapat atensi utama.
Selama ini, koordinasi antarkementerian dalam penyusunan kebijakan atau program sering kali hanya diperankan pejabat eselon 1 atau 2, bahkan sampai ke level staf. Harus diakui dan diapresiasi, para pejabat eselon ini memiliki kapasitas dan integritas mumpuni dan memiliki perhatian besar terhadap daerah. Hanya saja, mereka selalu bergantung pada ”arahan bapak/ibu” (menteri) dalam pengambilan kebijakan strategis.
Lebih dari itu, peran Kemendagri sebagai pembina dan pengawasan umum daerah perlu mendapat dukungan dari kementerian sektoral. Betapa tidak, UU Pemda seharusnya menjadi rujukan atau tatakan bagi kebijakan sektoral. Tata kelola program pun sudah semestinya berkoordinasi dengan Kemendagri sebelum bergerak ke daerah.
Kabinet desentralis juga selalu menjadikan daerah sebagai pemangku kepentingan kunci dalam perancangan kebijakan. Jamak terjadi, minimnya partisipasi daerah membuat kebijakan-kebijakan strategis tak sesuai dengan kebutuhan dan daya dukung daerah. Alhasil, kebijakan itu sering kali tak memberikan dampak bagi kualitas pelayanan publik dan daya saing daerah.
Mewujudkan kabinet desentralis lima tahun ke depan, komitmen Prabowo-Gibran terhadap otda menjadi prakondisi utama. Komitmen ini berpengaruh pada kepemimpinan Prabowo-Gibran di hadapan para menteri. Di titik ini, peran wakil presiden sebagai ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) perlu mendapatkan perhatian utama. Selaku ketua DPOD, Gibran memiliki kewenangan mempertahankan atau membuat moratorium daerah otonom baru yang berlaku saat ini.
Prakondisi lain, para menteri yang dipilih tidak hanya profesional di bidangnya (kabinet zaken), tetapi juga menguasai sistem tata negara desentralistik. Kapasitas menteri seperti ini tidak akan menjadikan daerah (pemda) sebagai obyek program semata, tetapi stakeholder kunci di lingkup tugasnya. Kedua prakondisi ini akan menjadi arena tata kelola hubungan pusat-daerah yang partisipatif, transparan, dan akuntabel.
Oleh: Herman N Suparman,Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)
Terbit pada harian Kompas, Senin 13 Mei 2024
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2024/05/12/kabinet-desentralis-dan-reorientasi-otonomi-daerah
Dibaca 1062 kali
