Pemecatan Sah Dilakukan
KOMPAS - Sabtu, 27 April 2019 - 29 April 2019
Pejabat pembina kepegawaian tidak perlu ragu memecat aparatur sipil negara yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Mahkamah Konstitusi menegaskan, pemecatan itu tidak melanggar undang-undang dan tak perlu menunggu putusan inkracht pengadilan.
“Jika seorang PNS (pegawai negeri sipil) diberhentikan karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana yang ada hubungannya dengan jabatan, hal demikian adalah wajar. Sebab, dengan melakukan kejahatan atau tindak pidana demikian, seorang PNS telah menyalahgunakan atau bahkan mengkhianati jabatan yang dipercayakan kepadanya untuk diemban sebagai ASN,” begitu isi putusan Mahkamah Konstitusi yang dikeluarkan Kamis (25/4/2019) sore.
Keputusan itu ditandatangani Ketua MK Anwar Usman beserta anggotanya, Aswanto, I Dewa Gede Palguna, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, dan Suhartoyo.
Keputusan MK ini terkait gugatan sejumlah PNS terpidana korupsi agar terbebas dari pemecatan. Dalam putusan MK Nomor 87/PUU-XVI/2018 atas pemohon bernama Hendrik dari Pemerintah Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, itu, majelis hakim menilai, Pasal 87 Ayat (4) Huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN yang dijadikan dasar pemerintah memecat ASN terpidana korupsi tak melanggar konstitusi.
Tidak hanya itu, majelis hakim juga berpendapat, pemerintah dapat memecat tanpa melihat rentang waktu putusan inkracht. Alasannya, Pasal 87 Ayat (4) Huruf b UU ASN diberlakukan terhadap PNS yang masih aktif.
Titik pijak
Dihubungi secara terpisah, Jumat (26/4), di Jakarta, Kepala Biro Hubungan Masyarakat Badan Kepegawaian Negara (BKN) Mohammad Ridwan mengatakan, putusan MK diharapkan bisa menjadi titik pijak bagi pejabat pembina kepegawaian (PPK) yang masih ragu-ragu untuk memecat ASN terpidana korupsi di instansinya. “Kemajuan pemecatan semingguan ini hanya naik 1 persen. Keputusan MK ini bisa menjadi peluru baru bagi teman-teman di daerah dan pusat untuk mempercepat proses. Tak ada alasan-alasan lagi,” katanya.
Berdasarkan data BKN, hingga 26 April 2019, dari total 2.357 ASN terpidana korupsi, baru 1.147 orang yang ditetapkan lewat surat keputusan pemberhentian tidak dengan hormat (SK PTDH). Masih ada 1.210 ASN terpidana korupsi yang belum diberhentikan. Mayoritas di antaranya ASN di pemerintah daerah.
Kepala Biro Hukum, Komunikasi, dan Informasi Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) Mudzakir mengatakan, perlu ada percepatan pemecatan ASN terpidana korupsi mengingat tenggat yang ditetapkan Menpan dan RB sampai 30 April 2019. “Menpari dan RB sudah mengeluarkan surat edaran kepada PPK agar segera menghentikan secara tidak hormat PNS yang telah dipidana atas tindak pidana korupsi dan sudah inkracht” ujarnya
Sebagai catatan, tenggat 30 April bukan yang pertama. Pertengahan September 2018, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo bersama Menpan dan RB Syafruddin serta Kepala BKN Bima Haria Wibisana menandatangani surat keputusan bersama terkait pemecatan 2.357 ASN terpidana korupsi dengan batas waktu pada akhir 2018.
Sanksi
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik mengatakan, pihaknya bersama Kementerian Keuangan menyiapkan draf aturan yang berisi sanksi kepada PPK yang tak menaati tenggat 30 April. Sanksi bermula dari teguran sanksi administratif, penghentian sementara hak-hak keuangan, hingga penghentian jabatan sementara.
“Intinya, kami harus mengingatkan gubernur, bupati, wali kota, dan kepala di pusat itu adalah pelaksana UU. Kalau tidak melaksanakan UU, ada sanksinya,” kata Akmal.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, kelambanan pemecatan ASN terpidana korupsi mengganggu proses percepatan reformasi birokrasi. Apalagi, ironisnya, hingga saat ini mereka masih menerima hak tunjangan dan gaji.
Indonesia Corruption Watch (TCW) sebelumnya pernah menyebutkan, potensi kerugian negara akibat kelambanan pemecatan mencapai sekitar Rp 4,23 miliar per bulan atau Rp 50,8 miliar per tahun. Nilai itu dihitung dari rata-rata gaji pokok ASN yang berada di golongan III dengan masa kerja sekitar 16 tahun, yakni Rp 3,5 juta setiap bulan. Jumlah tersebut belum termasuk tunjangan lain.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menilai, pemerintah sudah cukup tegas dalam memperkuat aturan terkait dengan pemutusan hak bekerja bagi ASN yang telah mendapat keputusan berkekuatan tetap dalam kasus tindak pidana korupsi.
“Alhamdulillah, MK mengabulkan bahwa kalau nanti ada terpidana korupsi yang masih berstatus bekerja, maka akan dipecat dan gaji distop. Ke depan, hal ini akan lebih baik,” ujar Laode. (BOW/ERK)
--- o0o ---
Dibaca 1860 kali