. Tuai Penolakan, Pelaku Usaha Minta Raperda KTR Jakarta Lebih Realistis
Logo KPPOD

Tuai Penolakan, Pelaku Usaha Minta Raperda KTR Jakarta Lebih Realistis

hukumonline.com - 24 September 2025

Tuai Penolakan, Pelaku Usaha Minta Raperda KTR Jakarta Lebih Realistis

Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di DKI Jakarta menuai sorotan dari berbagai kalangan pelaku usaha. Sejumlah asosiasi, mulai dari perhotelan, pedagang kaki lima, hingga ritel modern, menyuarakan keberatan mereka terhadap sejumlah pasal yang dinilai berpotensi mengganggu keberlangsungan usaha.

Dari sektor perhotelan dan restoran, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menilai regulasi KTR perlu dievaluasi secara matang sebelum diberlakukan. Anggota PHRI Jakarta, Arini Yulianti, menegaskan saat ini peraturan yang ada masih minim pengawasan dan belum berjalan optimal.

“Yang lama saja, monitoring dan evaluasinya itu tidak ada. Jadi tidak ada keseragaman compliance untuk peraturannya. Di hotel, permintaan untuk ruang merokok masih tinggi, bahkan dari kalangan pemerintah sendiri,” ujar Arini dalam diskusi publik yang digelar KPPOD di Jakarta, Senin (22/9).

Ia menjelaskan bahwa tamu hotel, termasuk klien dari instansi pemerintah kerap meminta ketersediaan area merokok, bahkan di ruang meeting sekalipun. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, banyak hotel terpaksa menyediakan ruang khusus dengan ventilasi terpisah, serta area outdoor di restoran yang bisa digunakan untuk merokok.

Menurut Arini, jika aturan baru diberlakukan tanpa memberi ruang kompromi, potensi kehilangan pelanggan cukup besar. “Mohon bahwa imbauan dan public awareness terhadap peraturan ini, itu sampai ke semua lini. Jadi kami pelaku usaha tidak dibebankan dengan argumentatif yang harus kita lakukan kepada customer,” jelasnya.

Ia juga menyoroti masalah sanksi yang cenderung membebani pelaku usaha. Menurutnya, pengawasan pemerintah lebih sering menyasar hotel dan restoran yang sudah berusaha patuh, sementara penjualan rokok secara bebas di tempat lain tidak tersentuh.

“Jangan sampai kami yang harus bertarung dengan customer karena peraturan yang mereka tidak tahu, tidak paham dengan betul,” tegas Arini.

Dari sisi ritel modern, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) juga menekankan pentingnya pertimbangan aspek ekonomi dalam perumusan kebijakan. Perwakilan Aprindo, Arsaf Razak, menyebut rokok masih menjadi salah satu produk yang menopang bisnis ritel nasional.

“Rokok bisa jadi jantung bisnis ritel. Industri ini menyumbang lebih dari Rp400 triliun ke negara, dan lebih dari 67 ribu gerai ritel di seluruh Indonesia memperoleh keuntungan signifikan dari penjualannya. Kalau regulasi dibuat seolah-olah rokok tidak boleh ada, dampaknya tentu besar secara ekonomi,” jelas Arsaf pada kesempatan yang sama.

Ia menegaskan, Aprindo tidak menolak pengaturan rokok, namun berharap regulasi dibuat secara realistis.

“Kami konsen terhadap dampak negatif rokok, makanya pengaturan bisa dilakukan dengan membatasi penjualan untuk anak di bawah umur atau meletakkan display rokok di belakang kasir. Tapi jangan sampai rokok diperlakukan seolah-olah produk ilegal,” katanya.

Senada, pedagang kecil juga merasa aturan tersebut akan memberatkan. Ketua Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI), Ali Mahsun, menolak keras ketentuan larangan penjualan rokok di warung kecil dan kewajiban menyediakan tempat merokok. Ia menilai pasal-pasal tersebut sama saja dengan “mematikan usaha rakyat”.

“APKLI menolak tegas pasal-pasal dalam Raperda KTR DKI Jakarta yang berisi larangan penjualan dan kewajiban menyediakan tempat merokok di warung kecil, dan sanksi denda pidana yang sama saja dengan mematikan usaha ekonomi kerakyatan,” kata Ali seperti dilansir Antara.

Menurutnya, kebijakan ini kontradiktif dengan komitmen Pemprov DKI Jakarta yang sebelumnya menjanjikan dukungan untuk pedagang kecil agar naik kelas. Jika dipaksakan, aturan tersebut akan berdampak pada jutaan pedagang asongan, kopi keliling, pedagang pasar, hingga 1,1 juta warung kelontong di ibu kota.

“Kami pelaku ekonomi kerakyatan ini butuh perlindungan. Kami mohon pembuat kebijakan mempertimbangkan dan membatalkan ulang rencana ini,” tambah Ali.

Sementara itu, Ketua Pansus Raperda KTR DPRD DKI Jakarta, Farah Savira, menegaskan rancangan regulasi tersebut tetap memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Menurutnya, aturan akan difokuskan pada pengendalian perilaku di kawasan tertentu, bukan semata-mata pada aspek penjualan atau iklan rokok.

“Makanya, penerapan utamanya di sini adalah kawasan. Sehingga kawasan itu mengatur lebih ke behavior (tingkah laku). Bukan serta merta hanya karena penjualan ataupun iklan. Itu nanti dibahas berikutnya,” jelas Farah.

Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung Wibowo, juga menegaskan bahwa keberadaan Raperda KTR tidak akan menurunkan omzet pedagang kecil sebagaimana dikhawatirkan. Ia memastikan pembatasan nantinya hanya berlaku di ruang-ruang tertutup, yang pada dasarnya bukan menjadi lokasi berjualan UMKM.

“Pasti perda itu tidak akan membuat UMKM menurun (omzetnya). Saya ketika menyampaikan ke DPRD, salah satu konsen saya itu. Jadi pembatasan yang dilakukan tanpa rokok itu hanya di tempat-tempat yang tertutup, yang dimana UMKM nggak pernah jualan di situ,” ujar Pramono.

Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/a/tuai-penolakan--pelaku-usaha-minta-raperda-ktr-jakarta-lebih-realistis-lt68d24c918b90f/?page=all


Dibaca 30 kali