. Mengemas Keresahan Daerah, Piknik Sembari Membedah Anggaran
Logo KPPOD

Mengemas Keresahan Daerah, Piknik Sembari Membedah Anggaran

kompas.id - 24 September 2025

Mengemas Keresahan Daerah, Piknik Sembari Membedah Anggaran

Dampak efisiensi anggaran tak bisa dirasakan masyarakat jika hanya melihat angka-angka besar di stasiun televisi, apalagi media sosial. Masyarakat perlu mendiskusikannya untuk masuk jauh lebih dalam ke persoalan-persoalan anggaran. Kalau perlu, jadi bahan obrolan di kala piknik.

Hal itulah yang dilakukan sekelompok anak muda yang datang dari berbagai latar belakang pekerjaan, dari aparatur sipil negara hingga karyawan swasta di Taman Lapangan Banteng, Jakarta, pada Minggu (21/9/2025). Mereka piknik, tapi bukan sembarang piknik. Mereka membahas anggaran, mulai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sampai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Cara membahasnya pun unik. Mereka berbagi peran, lima orang menjadi pemerintah daerah, lima orang lainnya menjadi masyarakat biasa.

Dimulai dari Dimas Wahyu, seorang tenaga ahli di Jakarta Pusat. Ia berperan sebagai kepala dinas pendidikan di sebuah daerah angan-angan. Ia punya tiga program prioritas, yakni kesejahteraan guru, renovasi sekolah rusak, dan beasiswa.

”Karena anggaran kami hanya Rp 40 triliun, lebih kecil dari tahun lalu, maka banyak pemotongan. Tapi, saya yakinkan bahwa prioritas kami yang utama itu kesejahteraan guru, lalu setelah itu perbaikan sekolah yang sudah rusak,” kata Dimas yang disambut tepuk tangan kawan-kawan pemerintahannya.

Selain dana pendidikan, ia juga bicara soal anggaran lingkungan hidup dan kehutanan yang bakal dipotong habis-habisan. Dalam diskusi itu, program kehutanan untuk mereboisasi lahan rusak dan penanggulangan bencana alam ditiadakan. Kebalikannya, hutan akan dijual habis-habisan agar investasi bisa masuk.

”Lalu, bagaimana nanti kalau banjir? Alam kita, kan, punya daya dukung dan daya tampung,” tanya Adam yang berperan sebagai masyarakat.

”Itu urusan belakangan,” jawab perwakilan pemerintah. Diskusi itu pun menjadi riuh karena diwarnai perdebatan di antara mereka.

Beberapa waktu kemudian, semua kembali duduk di atas tikar di tengah lapangan sembari melahap kudapan. Permainan peran pun berakhir dan berubah menjadi sesi curhat.

Adam menuturkan pengalamannya di Balikpapan, Kalimantan Timur. Sudah banyak bus pemerintah yang tidak lagi gratis. ”Bisa jadi nanti saat efisiensi subsidi dihapus, masyarakat keluar duit lagi dan itu tentu akan menambah pengeluaran,” ujarnya.

Mereka membahas pemangkasan dana transfer ke daerah (TKD) yang bakal dipotong tahun depan hingga pembentukan Koperasi Desa Merah Putih.

”Kalau kapasitas fiskal daerah berkurang, bagaimana daerah bisa menyelesaikan masalah-masalah itu atau masalah lain yang khas di daerahnya?” ungkap Adam.

Piknik
Piknik ini diinisiasi Jihan Dzahabiyyah (25). Ia kini bekerja di Pattiro, sebuah organisasi nirlaba bidang riset dan advokasi yang fokus pada isu tata kelola pemerintahan, terutama isu desentralisasi. Jihan terinspirasi dari kelompok ibu-ibu di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, yang membuat diskusi serupa dengan tujuan ibu-ibu itu dilibatkan dalam pembahasan anggaran oleh pemerintah kabupaten setempat.

Pertemuan itu lebih kurang sudah dilaksanakan tiga kali selama sebulan terakhir. Tidak ada jadwal yang pasti, tetapi pengikutnya terus bertambah dari berbagai kalangan dengan beragam latar belakang.

”Responsnya ternyata positif. Banyak orang tertarik ikut, terutama karena formatnya berbeda. Di setiap pertemuan, biasanya kami mengakhiri dengan refleksi. Dari situ, ada peserta yang bercerita, awalnya ia mengira akan membedah APBN. Ternyata, justru ia diajak memahami dulu alur pikir perencanaan dan penganggaran,” kata Jihan.

Pemotongan
Isu yang dibahas sekelompok anak muda di Jakarta itu memang sedang hangat. Bagaimana tidak, pemerintah pusat memangkas dana TKD hingga Rp 269 triliun dalam APBN 2026.

Seperti diketahui, alokasi dana TKD dalam APBN 2026 mencapai Rp 649,99 triliun. Jumlah itu berkurang hingga Rp 269 triliun dibandingkan dengan alokasi dalam APBN 2025 yang mencapai Rp 919,87 triliun Kompas.id, 15 September 2025).

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengungkapkan, alokasi dana TKD menjadi Rp 649,99 triliun dalam APBN 2026 disebut bukan pemotongan, melainkan hanya pengalihan anggaran daerah ke pusat. Merujuk UU Keuangan Negara, Presiden Prabowo Subianto berwenang menentukan prioritas anggaran, termasuk menentukan besaran TKD tersebut.

Meskipun demikian, Tito menyadari ada kekurangan di daerah. Kemendagri pun kemudian mengusulkan agar anggaran TKD ditambah sebesar Rp 43 triliun sehingga menjadi Rp 693 triliun dalam APBN 2026. Hal itu dilakukan berdasarkan kajian mendalam dan simulasi oleh Kemendagri. Ditemukan bahwa setiap daerah, dari kabupaten dan kota hingga provinsi, memiliki variasi pendapatan asli daerah (PAD). Ada yang berada di level kuat hingga lemah dan sebagian besar daerah dinilai masih dalam kategori lemah.

”Oleh karena itulah, kita membuat simulasi minimal berapa (tambahannya). Ketemulah kita angka minimal kalau mau running pemerintahan daerah jalan, seluruh kabupaten kota dan provinsi itu adalah Rp 693 triliun sehingga perlu ada tambahan Rp 43 triliun,” kata Tito.

Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman mengatakan, penambahan Rp 43 triliun untuk TKD tidak memperbaiki situasi atau dampak yang akan dihasilkan dari pemotongan anggaran ke daerah. Pemotongan itu akan berdampak ke banyak hal, terutama pertumbuhan ekonomi.

Herman menjelaskan, dana bagi hasil yang akan dipangkas habis-habisan dari Rp 192,28 triliun (2025) menjadi Rp 45,06 triliun (2026) itu sudah melanggar undang-undang karena dana bagi hasil diberikan berdasarkan realisasi dari penerimaan tahun sebelumnya.

”Jadi, yang dilakukan pemerintah pusat itu mencaplok hak daerah,” ujarnya.

Herman menambahkan, pemotongan ini akan berdampak pada proyek infrastruktur yang sedang dan akan berjalan, mengurangi pelayanan publik, dan ancaman terhadap pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang baru-baru diangkat secara besar-besaran di berbagai daerah. ”PPPK bisa ditunda pemberian gajinya,” katanya.

Herman menjelaskan, upaya ini salah satunya bertujuan untuk membuat pemerintah daerah menjadi lebih kreatif. Namun, jika melihat solusi yang diberikan pemerintah pusat yang hanya bisa dilakukan dalam jangka menengah ataupun panjang, hal itu tidak menyelesaikan masalah di depan mata.

”Kita cek sekarang. Daerah-daerah yang kapasitas fiskal rendah itu masih ada 90 persen, untuk kabupaten bahkan ada 98 persen yang kapasitas fiskalnya masih lemah, jadi masih sangat bergantung pada anggaran pusat,” ucap Herman.

Herman menambahkan, pemerintah daerah bisa menarik pinjaman sebagai solusi jangka pendek. Walakin, hal itu sangat berisiko. ”Akan sangat berisiko apalagi dengan kapasitas fiskal yang rendah dan lemah. Kami juga merekomendasikan pemerintah daerah untuk meningkatkan iklim investasinya,” katanya.

Tak hanya Herman, anak-anak muda yang sedang piknik membaca anggaran itu juga khawatir akan daerah masing-masing. Mereka berharap kebijakan ini tidak meleset sehingga tidak mengganggu kehidupan masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah.

Sebelum pulang, Vania yang berperan sebagai pemerintah nyeletuk. ”Jangan lupa anggaran untuk keamanan, ya. Ini penting supaya tanah kita tidak direbut asing,” ucapnya. Celetukan itu disambut gelak tawa.

Mereka pun pulang dengan pertanyaan reflektif di kepala masing-masing, mau ke mana anggaran ini dibawa?

Sumber: https://www.kompas.id/artikel/mengemas-keresahan-daerah-piknik-sembari-membedah-anggaran


Dibaca 30 kali