. Perda Membebani Ekonomi
Logo KPPOD

Perda Membebani Ekonomi

- 1 Januari 1970

Perda Membebani Ekonomi

Sejak otonomi, pemerintah daerah getol menerbitkan peraturan daerah. Namun, alih-alih menstimulasi kegiatan ekonomi, kebanyakan aturan itu justru membebani. Ditambah maraknya pungutan liar oleh birokrasi, pertumbuhan ekonomi daerah kian tertekan.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu (19/10), menyatakan, pemerintah daerah banyak mengeluarkan peraturan daerah sejak era otonomi daerah tahun 2011. Salah satu yang menjadi arus utamanya adalah peraturan daerah tentang retribusi, pajak, dan perizinan.

"Namun, persoalannya, rezim peraturan daerahnya tidak berorientasi pelayanan, melainkan lebih banyak yang sifatnya melakukan pungutan dan penambahan perizinan sehingga mem­bebani ekonomi,” kata Endi.

KPPOD telah menginventarisasi 15.146 peraturan daerah (perda). Sasaran kajian difokuskan terhadap 5.560 perda yang terbit selama 2010-2015. Kajian terhadap 1.300 perda sudah selesai. Perda tersebut menyangkut pajak, retribusi, perizinan, dan ketenagakerjaan.

Sebanyak 586 perda di antaranya atau 45 persen dari yang telah dikaji dianggap bermasalah. Kategori bermasalah yang dimaksud KPPOD meliputi 14 hal. Ketidakjelasan dalam hal standar waktu, biaya, dan prosedur men­jadi persoalan dominan. Berikutnya adalah ketidakjelasan hak dan kewajiban pemungut serta tidak memiliki rujukan hukum yang lebih tinggi.

Perda bermasalah tersebut intinya menimbulkan berbagai ketidakpastian bagi pelaku usaha. Salah satunya adalah timbulnya pengeluaran yang tidak diperlukan atau bahkan tidak memiliki dasar hukum sama sekali.

Misalnya Pajak Penerangan Jalan (PPJ). Listrik pada dasarnya infrastruktur yang harus disediakan pemerintah. Namun, ketika listrik tidak tersedia, pe­laku usaha mengusahakan pembangkit sendiri, seperti genera­tor. Selanjutnya, penerangan di semua unit pabrik tersebut, di sejumlah daerah, dikenai PPJ. Sebuah perusahaan di salah satu daerah di Provinsi Banten, mi­salnya, harus membayar PPJ sebesar Rp 720 juta per tahun.

Menurut Endi, terdapat tiga jenis pungutan. Pertama, pu­ngutan yang sifatnya legal. Artinya, memiliki dasar hukum di pusat dan daerah. Namun, secara substansi membebani ekonomi. Kedua adalah pungutan resmi, yakni pungutan yang oleh pe­merintah pusat sudah dihapuskan, tetapi masih diberlakukan oleh pemerintah daerah. Ketiga adalah pungutan liar, yakni pu­ngutan yang sama sekali tidak memiliki dasar hukum.

"Perda bermasalah ini muaranya di Kementerian Dalam Negeri. Hal ini terjadi karena sebelum disahkan, semua peratur­an daerah harus diverifikasi dulu di tingkat provinsi dan Kemen­terian Dalam Negeri. Kalau sekarang banyak perda bermasalah, ini juga menjadi tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri,” ka­ta Endi.

Berlebihan

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia P. Agung Pambudhi menyatakan, pelaku usaha masih banyak menghadapi biaya yang berlebihan, baik yang muncul dari perda maupun pu­ngutan liar. Akhirnya, pertum­buhan ekonomi jadi tersendat.

"Namun, ini tidak sebatas soal pengeluaran. Perizinan dan pro­sedur yang tidak jelas dan berbelit-belit, pungutan yang seharusnya tidak ada, dan berbagai hal lainnya ini menimbulkan iklim bisnis yang tidak nyaman,” kata Agung.

Agung menekankan, pelaku usaha telah berusaha untuk meyakinkan diri sendiri bahwa oto­nomi daerah adalah point of no return. Konsep ini adalah pilihan yang semestinya tepat untuk In­donesia, termasuk pada aspek ekonomi.

Kompas mendapat informasi, misalnya, seorang investor bermaksud membuka pabrik di dae­rah Jawa Timur. Lokasinya di antara pabrik yang sudah beroperasi. Meskipun sudah jelas status lahannya, kantor perizinan daerah setempat meminta uang pengurusan izin Rp 900 juta un­tuk pemberian izin lahan tersebut. Akhirnya setelah negosiasi, izin diberikan dengan syarat pelaku usaha membayar Rp 400 juta.

Di Jawa Tengah, seorang investor memilih menunda menanamkan modal karena kan­tor perizinan daerah tertentu meminta ongkos perizinan sebesar Rp 1 miliar. Padahal, usa­ha tersebut sedianya akan menyerap sekitar 200 tenaga kerja. (LAS)

 

--- (Sumber KOMPAS – Kamis, 20 Oktober 2016) ---


Dibaca 1199 kali