Kompromi Sulit Dicapai
- 1 Januari 1970
Kementerian Dalam Negeri kesulitan menyelesaikan rancangan peraturan pemerintah tentang desain besar penataan daerah yang bakal memuat perkiraan jumlah provinsi dan kabupaten/kota baru hingga tahun 2025. Itu disebabkan selain pertimbangan rasional, Kemendagri juga harus mempertimbangkan aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat dan usulan masyarakat.
’’Mencari titik kompromi itu yang tak mudah sehingga sampai sekarang jumlah perkiraan daerah otonom baru hingga tahun 2025 yang disusun masih berubah-ubah,” kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Sumarsono, Jumat (13/11).
Rancangan peraturan pemerintah tentang desain besar penataan daerah merupakan amanah dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Regulasi itu bakal menjadi acuan dalam pemekaran daerah baru.
Menurut Sumarsono, usulan pemekaran daerah yang masuk dari masyarakat hingga kini sudah mencapai 129 usulan. Di luar itu, masih ada 87 usulan daerah otonom baru yang diusulkan oleh DPR Sebanyak 65 daerah otonom baru di antaranya sudah dibahas oleh pemerintah dan DPR periode 2009-2014.
Ia menjelaskan, tidak mungkin usulan itu semuanya dipenuhi, terutama jika mengacu aspek rasional, yaitu dengan melihat daya dukimg setiap wilayah, seperti kondisi geografis dan potensi fis- kal daerah.
Namun, pemerintah juga tidak bisa kaku dalam menentukan daerah bisa mekar atau tidak dengan hanya melihat aspek rasional. Pemerintah hams pula melihat usulan DPR terlebih sudah ada proses politik yang ter- jadi ketika membahas 65 usulan daerah otonom bam. Usulan masyarakat pun tidak bisa diabaikan begitu saja2
Penambahan provinsi
Meski demikian, besar kemungkinan proyeksi daerah otonom baru akan lebih banyak jumlahnya daripada desain besar penataan daerah yang pemah disusun Kemendagri sebelumnya. Pada desain itu, diproyeksikan masih ada penambahan 11 provinsi dan 46 kabupaten/kota baru hingga 2025.
’’Kemungkinan besar di rancangan peraturan desain besar penataan daerah yang sekarang sedang disusun jumlahnya lebih banyak dari proyeksi itu. Tambahan itu karena pemerintah memperhatikan aspirasi DPR dan usulan rakyat,” ujamya
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengingatkan tentang banyaknya daerah otonom baru yang gagal berkembang akibat pembentukannya semata didasarkan pada pertimbangan politis, tidak melihat kemampuan daerah untuk berdiri sendiri.
Karena itu, ketika ada usulan pemekaran dari DPR atau langsung dari masyarakat, pemerintah harus betul-betul mengkajinya dan tegas menolak usulan itu ketika syarat tidak terpenuhi. Apalagi, pasca disahkannya UU No.23/2014, pemerintah memiliki kendali yang lebih besar dalam menentukan satu daerah bisa mekar atau tidak dari daerah induknya.
UU No.23/2014 mengatur, pemerintah menentukan satu daerah bisa menjadi daerah persiapan sebelum dibentuk menjadi daerah otonom baru atau tidak. DPR hanya bisa memberikan pertimbangan.
’’Kewenangan yang lebih besar bagi pemerintah itu seharusnya bisa dioptimalkan sehingga penentuan daerah mekar atau tidak betul-betul berdasarkan pertimbangan rasional dan obyektif,” ucapnya.
Dosen Universitas Negeri Sumatera Utara, Robinson Sembiring, berpendapat, birokrasi pemerintah daerah tak mengalami reformasi sejak 1998. Perubahan terjadi di beberapa daerah secara sporadis. Tidak jalannya reformasi dinilai sebagai pemicu maraknya praktik korupsi di daerah. Hal itu diungkapkan dalam seminar nasional bertajuk ’’Good Local Governance” di Medan, Sumatera Utara. (APA/NSA)
--- (Sumber KOMPAS - Sabtu, 14 November 2015) ---
Dibaca 554 kali