Tolak Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD
- 1 Januari 1970
Penolakan pemilhan umum kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terus meluas.mekanisme pemilihan itu dianggap sebagai kemunduran bagi proses demokratisasi lokal dan pengkhianatan terhadap amanat reformasi karena menghilangkan hak dasar rakyat berpartisipasi dalam pemerintahan.
Perubahan sikap sebagian besar fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (terutama dari Koalisi Merah Putih), yang semula menginginkan pilkada langsung oleh rakyat menjadi pilkada oleh DPRD, dinilai sarat kepentingan politik pragmatis. Oleh karena itu, hal tersebut mengkhianati kehendak rakyat.
Deputi Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Veri Junaidi, di Jakarta, Kamis (4/9), mengemukakan, alasan pilkada langsung menghabiskan biaya besar dan membuat politik uang kian marak merupakan alasan yang dicari-cari. Biaya dan maraknya politik uang bisa dicegah dengan aturan detail di RUU Pilkada. Salah satunya, membatasi dana kampanye kandidat.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Sri Budi Eko Wardani mengatakan, pilkada oleh DPRD tak menghilangkan biaya politik tinggi. Para kandidat tetap harusmengeluarkan biaya agar diusung partai politik dan dimenangkan fraksi-fraksi partai itu saat pemilihan di DPRD. “Pilkada oleh DPRD hanya memindahkan masalah politik uang, tidak menyelesaikan masalah,” katanya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, jika kepala daerah di pilih DPRD, kepentingan DPRD yang kerap berseberangan dengan kepentingan rakyat akan dimenangkan. Karena perekrutan buruk dan sarat politik uang, DPRD dinilai belum mewakili kepentingan rakyat.
Survei terakhir Litbang Kompas mendapati, mayoritas responden, yaitu 87,6 persen, mengemukakan, kepala daerah lebih baik dipilih langsung oleh rakyat. Hanya 10,2 persen yang menilai pemilihan oleh DPRD lebih baik dan sisanya 2,2 tidak menjawab/tidak tahu.
Masih bisa berubah
Sikap fraksi-fraksi di DPR terkait RUU Pilkada masih bisa berubah meski saat ini mayoritas fraksi menginginkan opsi pilkada oleh DPRD. “Ini masih dinamis. Sikap fraksi-fraksi masih mungkin berubah,” kata Ketua Panitia Kerja RUU Pilkada Komisi II DPR A Hakam Naja.
Politisi Partai Amanat Nasional itu menjelaskan, sikap pemerintah dan fraksi-fraksi mengenai mekanisme pilkada terus berubah. Karena itu, tim perumus menyederhanakan menjadi tiga. Pertama, gubernur, bupati, dan wali kota dipilih DPRD didukung lima fraksi (Fraksi Demokrat, Fraksi PAN, Fraksi Golkar, Fraksi PPP, dan Fraksi Gerindra). Kedua, gubernur, bupati, dan wali kota dipilih langsung didukung Fraksi PDI-P, Fraksi Hanura, dan Fraksi PKS, serta pemerintah. Ketiga, Fraksi PKB mengusulkan gubernur dipilih langsung, sedangkan bupati dan wali kota dipilih oleh DPRD.
Tiga rumusan ini akan kembali dibahas dalam rapat, 8 September. Perubahan sikap fraksi-fraksi mungkin terjadi karena lobi-lobi masih berlangsung. Anggota Panja RUU Pilkada dari Fraksi PKB, A Malik Haramain, membenarkan, fraksi-fraksi masih bisa berubah sikap. PKB cenderung memilih gubernur, bupati, dan wali kota dipilih langsung.
Sementara itu, di luar mekanisme pemilihan, Ketua KPU Husni Kamil Manik berharap UU Pilkada memperhatikan lebih detail aspek-aspek penyelenggaran dan menjamin kepastian hukum. “Banyak perdebatan terkait penyelenggaraan karena tak diatur dalam UU, misalnya soal daftar pemilih khusus tambahan,” kata Husni. (apa/nta/amr)
--- (Sumber KOMPAS – Jumat, 5 September 2014 – Hal. Utama) ---
Dibaca 5326 kali
