. Pemekaran Daerah Manuver Politik
Logo KPPOD

Pemekaran Daerah Manuver Politik

- 1 Januari 1970

Pemekaran Daerah Manuver Politik

Rancangan undang-undang (RUU) mengenai 65 daerah otonom baru (DOB) yang diusulkan DPR dinilai bagian dari manuver politik menjelang 2014. Usulan tersebut sebagai bagian dari ajang meraup dukungan kursi legislatif.


Pengamat politik LIPI Siti Zuhro mengatakan motivasi dan semangat dari usulan atas 65 DOB ini lebih kental sisi politisnya di bandingkan pertimbangan-pertimbangan yang dapat di pertanggungjawabkan. Semestinya semua pihak berpikir jernih agar pemekaran daerah bermanfaat untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.


“Jangan-jangan anggota incumbent sebagai barter politik. Ini yang akan gawat karena ini dampaknya terhadap masyarakat. Elite lokal mau kekuasaan lalu (melakukan) barter dengan dukungan pemilu. Barter ini membahayakan karena berkaitan dengan masa depan Indonesia. Ini seperti menghalalkan segala cara,” katanya saat di hubungi KORAN SINDO di Jakarta kemarin. Siti juga menilai usulan tersebut tidaklah relevan. Pasalnya saat ini DPR dalam kondisi sulit untuk fokus karena menyongsong Pemilu 2014.


Hal ini di buktikan dengan bertele-telenya pembahasan paket RUU tentang otonomi daerah (otda). “Jadi ini membuktikan pragmatisnya mereka. Sebab paket RUU otda, yakni revisi UU Nomor 32/2004 tentang Pemda, RUU Pilkada belum selesai, RUU Desa belum selesai,” ungkapnya. Dalam konteks pemekaran justru penataan daerah yang harus diutamakan. Karena itu paket RUU otda sebagai grand design pemekaran menjadi landasan untuk pemekaran. “Setelah grand design penataan daerah ada klausul yang harus masuk ke revisi sehingga pemekaran mengikuti pola baru. Dalam arti pasal-pasal baru,” katanya.


Dia juga mengkritik tidak konsistennya pemerintah karena seharusnya saat ini masih ada kesepakatan moratorium. Pasalnya moratorium ini sudah dinodai dengan lima pengesahan DOB yang lalu. “Ini malah 10 kali lipat yang diusulkan. Dulu yang diusulkan 19 dan 5 yang dikabulkan. Sekarang ada 60-an, ini mau apa,” ujarnya. Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan RUU usulan DPR tersebut dapat di pahami karena memang bagian dari fungsinya. Namun hal ini tidaklah lepas dari kepentingan politik DPR.


Pasalnya, dia menilai pemekaran hanya kepentingan sesaat yang menguntungkan elite. “Pemburu rente menjelang pemilu. Ini dengan demikian basis kekuatan mereka akan semakin kuat. Ini akan menjadi jualan di daerah. Ini hal-hal yang terjadi di lapangan,” ungkapnya. Apalagi dia menilai selama ini pemekaran belumlah memberikan manfaat bagi masyarakat. Bahkan sebagian besar dinilai gagal. Pemekaran hanyalah pesta pora para elite, pebisnis, dan lain-lain, tetapi tidak untuk rakyat.


“Karena tidak memberikan kesejahteraan kepada rakyat. Karena data pemerintah 80% gagal mencapai kesejahteraan, 80% gagal (dalam) pelayanan publik, 80% gagal mendorong terciptanya reformasi birokrasi,” sebutnya. Saat ini, segala keputusan berada di tangan pemerintah. Jika pemerintah konsisten untuk komitmen pada pengendalian pemekaran dan moratorium, semestinya menunggu desain baru. “Sejauh mana Presiden dan Mendagri memiliki komitmen yang kuat untuk mengendalikan DOB yang tidak memberikan manfaat banyak bagi kehidupan masyarakat,” ungkapnya.


Wakil Ketua DPR Abdul Hakam Naja mengatakan sah saja adanya penilaian tersebut. Namun, yang pasti, posisi DPR ini sebagai lembaga perwakilan tentunya menampung aspirasi masyarakat. Dia mengakui bahwa usulan pemekaran ke DPR sangat banyak. “Maka setelah dipilah dan dicek data yang masuk itu kemudian dibentuk panja. Dari panja di dapat 65 daerah yang secara administratif memenuhi (persyaratan),” ujarnya. Senada dengan Robert, saat ini bola berada di tangan pemerintah. Usulan ini dapat di terima maupun ditolak.“Seperti RUU lain, misalnya RUU percepatan daerah kepulauan tidak dilanjutkan,” ucapnya.


Menurut dia sangat di mungkinkan pemekaran menunggu terselesaikannya RUU Pemda. Pasalnya di dalam aturan tersebut diatur adanya daerah persiapan untuk pemekaran. “UU Pemda saat ini tidak ada daerah persiapan. Dalam RUU Pemda melalui kesepakatan DPR-pemerintah. Jika daerah siap, maka diproseslah,” sebutnya.


Tak Lolosnya Sumtra Akan Ditanya ke DPR

Kegagalan penetapan Sumatera Tenggara (Sumtra) sebagai daerah otonomi baru (DOB) yang diusulkan DPRD disesalkan banyak pihak. Komisi A DPRD Sumut akan mempertanyakannya penyebab kegagalan itu ke DPR, besok (29/10).


“Mengapa Sumtra tidak di setujui? Apa persetujuannya diikutsertakan ke Komisi II DPR? Kami juga akan menemui 30 anggota DPR dan DPD yang berasal dari daerah pemilihan Sumatera Utara. Mengapa ini bisa terjadi?,” tanya Wakil Ketua Komisi A, DPRD Sumut, Rauddin Purba. Sebagaimana diketahui, RUU Pembentukan Provinsi Tapanuli, Provinsi Kepulauan Nias, Kabupaten Simalungun Hataran dan Kabupaten Pantai Barat Mandailing telah disahkan DPR dalam sidang paripurna DPR, Kamis (24/10).


Namun, dalam sidang tersebut, Provinsi Sumtra tidak dimasukkan dalam bagian 65 DOB itu. Rauddin berharap DPR memperhatikan apa yang sudah di rekomendasikan DPRD Sumut melalui panitia khusus (pansus) pemekaran beberapa waktu lalu. “ Kalau sikap kami ditanya, kami tetap menginginkan Sumtra jadi provinsi dan itu sudah disampaikan sewaktu pengesahan rekomendasi pemekaran di DPRD Sumut. Bukan soal kami ikhlas atau tidak, tapi seharusnya diproses sesuai dengan yang direkomendasikan, dibahas sekalian semuanya,” imbuhnya


Dia menyesalkan perjuangan semua elemen masyarakat dalam rangka memperjuangkan pembentukan Sumtra selama ini, gagal di tengah jalan. Apa lagi, Sumtra menjadi yang paling lengkap persyaratannya. Jarak rentang kendali pemerintahan lima kabupaten/kota di Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel) lebih layak di mekarkan dari pada daerah lainnya. Tabagsel jauh dari ibu kota Provinsi Sumut karena terletak di perbatasan Provinsi Sumut dengan Provinsi Sumbar dan Riau.


“Kalau mau jujur, semua usulan itu layak dan paling memungkinan dari semua aspek, termasuk menyangkut pemenuhan terhadap berbagai ketentuan yang disyaratkan mulai dari persyaratan administratif, teknis hingga syarat fisik. Pemekaran salah satunya adalah untuk mendekatkan dan mempermudah pelayanan terhadap rakyat, dan memperpendek rentang kendali pemerintahan. Artinya, Sumtra ini sudah sangat layak, hanya saja kita tidak tahu di mana kendala,” ucap politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu. Rauddin juga mempertanyakan komitmen dan sikap politisi asal daerah pemilihan Sumut yang dinilai kurang tanggap.


“Kita memiliki politisi-politisi senior yang mumpuni duduk di Senayan. Nah, yang kami sesalkan, kenapa sampai sekarang banyak usulan pemekaran di Sumatera Utara tidak menjadi prioritas. Ada apa dengan politisi dan tokoh-tokoh senior kita?” ucapnya. Selain Sumtra, menurut dia, ada usulan pemekaran lainnya yang tidak tentu kabar berita. Sebagaimana usulan yang masuk belakangan ini yang sudah diparipurnakan di DPRD Sumut dan telah pula di rekomendasikan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho, namun usulan sebelumnya seperti dipetieskan.


“Kita juga lama menunggu nasib usulan sebelumnya, seperti pemekaran Teluk Aru dan Langkat Hulu. Demikian juga nasib Kota Berastagi yang hingga saat ini juga tidak tahu nasibnya,” ungkapnya. (da/sa)

 

--- (Sumber http://www.koran-sindo.com/node/340340) ---


Dibaca 2798 kali