Pemekaran dan Ilusi Kesejahteraan
Wacana pemekaran daerah kembali menghangat. Pasalnya, Dewan Perwakilan Daerah mendesak pembentukan 172 daerah otonom baru (DOB). Tak tanggung-tanggung, institusi yang getol meminta tambahan wewenang ini mengonsolidasi lebih dari 100 kepala dan wakil kepala daerah yang mengusulkan pemekaran di Senayan. Mereka juga mendesak pemerintah untuk mencabut moratorium dan mempercepat penyelesaian dua rancangan peraturan pemerintah terkait dengan DOB dan desain besar tata kelola daerah.
Ironisnya, desakan ini seakan-akan tidak mau tahu dengan evaluasi pemerintah selama ini; secara keseluruhan DOB gagal dalam peningkatan kesejahteran masyarakat, tata kelola pemerintahan, dan daya saing. Menggelikan lagi, secara prosedural, menurut UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, usulan pemekaran hanya bisa dilakukan pemerintah dan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Sementara secara substantif, untuk kabupaten/kota, tuntutan pemekaran menjadi kurang relevan mengingat sejumlah kewenangannya ditarik ke provinsi. Lantas, apa urgensi desakan DPD dalam pembentukan DOB?
Disparitas pembangunan
DOB meningkat tajam pascakejatuhan Orde Baru yang dinilai sangat sentralistis. Rupanya, euforia reformasi berefek pada kecanduan pemekaran daerah otonom. Dalam kurun 2009-2004, terbentuk 148 DOB; provinsi 7, kabupaten 115, dan kota 26. Antara 2005 dan 2014 terbentuk 75 DOB; provinsi 1, kabupaten 67, dan kota 7. Jadi, sampai saat ini terdapat 223 DOB dari total 542 daerah otonom.
Pemekaran dinilai menjadi menjadi obat mujarab untuk mengatasi penyakit disparitas pembangunan. Kesenjangan ekonomi dan keterbelakangan daerah diduga bersumber pada jauhnya rentang kendali dan pelayanan pemerintah dengan masyarakat. Solusinya jelas, memotong jarak itu dengan pemekaran daerah. Desakan DPD juga berada di alur logika yang sama. Pemekaran akan mendekatkan pelayanan pemerintah ke publik dan membuka ruang inovasi daerah sehingga bisa membawa masyarakat ke pintu gerbang kesejahteraan. Benarkah demikian?
Hanya ilusi
Selama lebih dari satu dekade ini, narasi DOB jarang menggembirakan hati publik. Penelitian Bappenas dan UNDP (2007) menunjukkan bahwa 80% DOB gagal. Teranyar, Dirjen Otda menyatakan dari evaluasi 57 daerah otonomi di bawah tiga tahun pada 2011-2012, misalnya, 67% bernilai kurang. Kurun 2012-2014, dari 18 daerah otonom baru berusia di bawah tiga tahun, tak satu pun yang bernilai baik (Kompas, 6/10).
Penulis sendiri mengamati di sejumlah DOB, alih-alih membawa kemaslahatan, pemekaran justru menimbulkan beragam persoalan. Pertama, efektivitas dan efiesiensi pelayanan publik ternyata tak seindah seperti yang digembar-gemborkan. Jaraknya saja yang diperpendek, sedangkan kinerja aparatus pemerintah masih jauh dari predikat baik.
Kedua, keuangan daerah pemekaran menunjukkan kinerja yang relatif kurang optimal. Hal itu disebabkan ketergantungan fiskal yang besar pada pemerintah pusat. Kemendagri mencatat 90%-95% APBD daerah pemekaran masih bergantung pada dana transfer pusat. Optimalisasi pendapatan dan porsi alokasi belanja modal dari pemerintah daerah juga rendah.
Ketiga, dari sisi pertumbuhan ekonomi, daerah otonom baru lebih fluktuatif jika dibandingkan dengan daerah induk yang relatif stabil dan meningkat. Pengentasan warga dari kemiskinan berjalan di tempat dan belum mampu mengejar kemajuan daerah induk.
Terakhir, DOB memberi singgasana bagi raja-raja daerah baru yang koruptif. Kepala-kepala daerah tak jarang membangun oligarki kekuasaan, yang mengeksklusi masyarakat sendirinya. Aras pembangunan pun lebih berada pada lingkaran kepentingan kepala daerah ketimbang kepentingan masyarakat.
Aneka persoalan ini menjadikan kesejahteraan hanya ilusi semata; sebatas angan-angan. Kesejahteraan hanya dijadikan atribut kampanye untuk memenangi perjuangan pemekaran. Toh, pemekaran tak benar-benar mengantar masyarakat ke ruang kesejahteraan.
Kegagalan DOB tentu tak serta-merta menvonis pemekaran sebagai langkah yang salah. Meski jumlahnya tidak signifikan, kita tidak bisa menutup mata terhadap keberhasilan satu-dua daerah pemekaran. Namun, kegagalan sebagian besar DOB menunjukkan ada yang salah dengan pemekaran di Indonesia.
Apa yang salah?
Benang kusut persoalan DOB berakar pada beragam faktor. Saya hanya menyoroti dua hal. Pertama, pemekaran dijadikan sebagai tujuan, bukan instrumen meraih kesejahteraan masyarakat. Dalam spirit ini, pemekaran menjadi instrumen untuk meraih kekuasaan, mendapat jatah fiskal, membangun oligarki kekuasaan ekonomi-politik. Banyak tahapan dan persyaratan (regulasi) pun dilangkahi dan 'diatur' untuk meloloskan pemekaran. Alhasil, pemekaran bukannya mengakselerasi pembangunan daerah, melainkan membiarkannya di jalan penuh liku.
Kedua, pemekaran sebagai proses politik (elite). Elite politik dan ekonomi lokal menjadi pihak yang aktif dalam perjuangan pemekaran. Karena, bagi mereka, pemekaran akan mendapat jatah kekuasaan politik-ekonomi. Politisi nasional juga tak kalah lihai menangkap aspirasi pemekaran dan dijadikan agenda politiknya. Tak perlu heran, meski persyaratannya berat, politik bisa membawanya ke jalan bebas hambatan. Padahal, mengacu ke UU, pemekaran menjadi domain eksektutif, bukan legislatif. Karena itu, patut disayangkan langkah konsolidasi DPD mendorong pembentukan 172 DOB.
Tak cukup moratorium
Merespons kompleksitas masalah DOB, pemerintah memberlakukan moratorium. Langkah ini tepat untuk mengerem peningkatan jumlah DOB yang berpotensi menambah dan merumitkan persoalan yang sudah ada. Persoalannya, selain tidak ada landasan yuridis yang eksplisit, moratorium berpotensi menutup hak daerah-daerah yang benar-benar mampu secara ekonomis dan administratif untuk dikembangkan menjadi DOB. Karena itu, moratorium mesti dijadikan ruang dan waktu bagi pemerintah untuk mengevaluasi DOB yang sudah ada, serentak menyeleksi calon-calon daerah yang benar-benar layak.
Namun, sesungguhnya tak cukup dengan moratorium. Di negeri yang segala sesuatu bisa diatur ini, yang dibutuhkan ialah perubahan mindset seluruh elemen masyarakat dan pemerintah. Beragamnya persoalan daerah pemekaran bermula dari mindset 'pemekaran adalah jalan satu-satunya untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengatasi kesenjangan'. Jika ditilik cermat, pemekaran wilayah secara esensial bukanlah isu ekonomi spasial, melainkan isu administrasi pemerintahan. Artinya, tujuan pemekaran lebih cocok untuk mengatasi masalah rentang kendali pemerintahan dan kecepatan pelayanan publik ketimbang merajut kesejahteraan masyarakat.
Publik mesti menyadari, untuk mengakselerasi pembangunan daerah tak hanya dengan pemekaran. Daerah bisa menempuh jalan lain semisal pengembangan produk unggulan atau penerapan strategi fokus dalam pembangunan. Pengalaman sejumlah daerah sudah membuktikan kesejahteraan adalah buah strategi kebijakan yang berkualitas, bukan dengan memekarkan daerah. Perubahan mindset ini diharapkan menjadi benteng kukuh dalam membendung nafsu para pendukung pemekaran, baik di level lokal maupun nasional.
Penulis: Armand Suparman
Jabatan: Peneliti KPPOD
Media: http://mediaindonesia.com/news/read/72006/pemekaran-dan-ilusi-kesejahteraan-1/2016-10-14
Tanggal Akses: Jumat, 14 Oktober 2016.