KKN Masih Membayangi Sistem Merit ASN, Lembaga Pengawas Independen Dibutuhkan
kompas.id - 6 Oktober 2025
Aparatur sipil negara atau ASN rentan terdampak kebijakan politis tanpa adanya lembaga independen yang mengawasi penerapan sistem meritokrasi. Ombudsman RI dinilai menjadi institusi yang relatif independen dan mampu menjalankan tugas itu. Hendaknya elemen masyarakat sipil turut dilibatkan guna memperkuat fungsi pengawasan.
Gagasan itu mengemuka dalam laporan hasil kajian Badan Riset dan Inovasi (BRIN) tentang pengawasan atas sistem merit ASN, di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Kamis (2/10/2025). Kajian itu menjadi bagian dari kerja sama antara BRIN dan Ombudsman RI untuk kerja-kerja pengawasan demi terciptanya layanan publik yang optimal.
Peneliti ahli utama dari Direktorat Kebijakan Politik Hukum Pertahanan dan Keamanan BRIN, Mohammad Mulyadi menjelaskan, sistem meritokrasi ASN sampai sekarang masih menghadapi tantangan berupa praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) serta rendahnya partisipasi masyarakat. Pengawasan atas sistem itu juga semakin lemah seiring dibubarkannya Komisi ASN sejak 2024 lalu.
Sejak dibubarkan, lanjut Mulyadi, tugas pengawasan Komisi ASN dilimpahkan ke Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB). Kedua lembaga itu memiliki irisan kepentingan dengan pemerintah. Padahal, kerja pengawasan membutuhkan independensi.
“Setidaknya, Ombudsman adalah lembaga yang relatif lebih independen. Jadi, kami berharap kewenangan yang selama ini melekat di Komisi ASN bisa dipindahkan ke Ombudsman,” jelas Mulyadi, saat ditemui seusai acara.
Lebih dari itu, sebut Mulyadi, mekanisme pengawasan nantinya juga mesti disertai transparansi data rekrutmen hingga promosi ASN yang bisa diakses sewaktu-waktu secara terbuka. Penerapannya juga bisa diperkuat melalui pencantuman sanksi pidana bagi pelanggar prinsip meritokrasi.
Dalam kajiannya, lanjut Mulyadi, keterlibatan publik termasuk aspek yang sama pentingnya pada pengawasan sistem meritokrasi. Itulah yang ditemukannya dari tiga daerah yang dijadikan sampel penelitian, yaitu Provinsi Jawa Barat, Provinsi Sulawesi Selatan, dan Kota Yogyakarta. Dengan disediakannya platform digital, masyarakat bisa leluasa melayangkan pelaporan atas berbagai pelanggaran dalam penerapan sistem merit ASN.
“Partisipasi publik dalam pengawasan pemerintahan berkontribusi pada peningkatan akuntabilitas dan transparansi, termasuk dalam penerapan prinsip meritokrasi,” kata Mulyadi.
Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman Suparman menyatakan, pembubaran komisi ASN melemahkan posisi ASN, terutama yang berada di tingkatan pemerintah daerah. Kalangan itu, sebut dia, rentan terdampak kebijakan-kebijakan politis yang dibuat kepala daerah masing-masing. Seringkali muncul isu jual-beli jabatan yang melibatkan pejabat pembina kepegawaian (PPK).
“Sebetulnya, KASN adalah lembaga perjuangan bagi ASN untuk menggugat penerapan meritokrasi. Karena sejak setahun lalu bubar, sekarang nasib ASN daerah sangat bergantung seperti apa komitmen politik dari PPK,” kata Herman.
Untuk itu, Herman menilai, penting adanya lembaga independen yang kembali menjalankan fungsi pengawasan sistem meritokrasi. Baginya, Ombudsman RI mampu diberi kewenangan itu. Terlebih lagi, saat ini, regulasi yang mengatur kerja lembaga itu sedang akan direvisi oleh DPR. Aspek penambahan wewenang pengawasan meritokrasi agaknya perlu dipertimbangkan seiring bubarnya KASN.
Selain itu, Herman berharap agar wewenang Ombudsman RI bertambah. Tidak lagi sebatas memberikan rekomendasi atas pelanggaran-pelanggaran maladministrasi. Tetapi, juga bisa melakukan penegakan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan. Wewenang tambahan itu akan melengkapi fungsi lembaga selaku institusi pengawasan.
“Kalau hanya memberikan rekomendasi, itu seperti praktis selama ini. Menurut kami, itu akan kembali ke cerita lama yang hanya sebatas rekomendasi,” kata Herman.
Sementara itu, anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng mengakui, pembubaran KASN membuat problem meritokrasi menjadi semakin kompleks. BKN dan Kemenpan dan RB yang menggantikan tugas lembaga itu juga dirasa kurang tepat menjalankan fungsi pengawasan. Sebab, BKN lebih berperan selaku administrator kepegawaian, sedangkan Kemenpan dan RB bertugas sebagai regulator kepegawaian. Resistensi juga cenderung besar jika pengawasan dilakukan lembaga kementerian.
”Jadi harus ada satu lembaga khusus. Kita tidak bicara bahwa harus Ombudsman. Tetapi, keberadaan dari suatu lembaga khusus yang mengawasi ini menjadi sangat penting agar dia objektif, independen, dan bisa memberikan perlindungan,” kata Robert.
Lebih lanjut, jelas Robert, dampak hilangnya KASN membuat laporan pelanggaran meritokrasi melonjak ke Ombudsman RI. Belakangan ini, laporan jenis itu selalu menempati dua peringkat terbanyak di antara laporan-laporan lain. Isi laporannya pun relatif beragam.
“Semua aduan terkait ASN lari ke sini semua. Dari pemberhentian, tunjangan, sampai perselingkuhan. Padahal, kami tidak dibentuk khusus mengawasi ASN. Ada juga soal-soal lainnya,” kata Robert.
Sumber: https://www.kompas.id/artikel/kkn-masih-membayangi-sistem-merit-asn-lembaga-pengawas-independen-dibutuhkan
Dibaca 58 kali