Modal Pemerintah Besar
- 1 Januari 1970
Dengan anggaran belanja lebih dari Rp 2.000 triliun, pemerintah memiliki modal besar untuk menjalankan agenda prioritas pembangunan. Namun, kenyataannya, dampaknya dari anggaran yang besar itu masih minim. Hal itu disebabkan kinerja birokrasi yang lemah.
Dalam APBN-P 2016, anggaran belanja negara Rp 2.082,9 triliun dan pendapatan negara Rp 1.786,2 triliun.
Peneliti The Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi, di Jakarta, Minggu (4/9), berpendapat, pemerintah memiliki dana besar. Namun, kebutuhan rakyat miskin belum banyak tersentuh.
”Ini sangat ironis. Dana menumpuk begitu besar. Bahkan, sebagian diambil dari utang. Akan tetapi, rakyat miskin tak banyak merasakan perbaikan kualitas hidup,” kata Palupi.
Banyak program untuk rakyat miskin, menurut Palupi, tidak efektif mencapai sasaran. Program itu tidak hanya menyangkut dana desa dan dana pendidikan, tetapi juga menyangkut subsidi. Sistem subsidi selama ini masih banyak dilakukan dalam bentuk subsidi barang. Akibatnya, manfaat terbesar justru diperoleh makelar, bukan sasaran.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng, mengatakan, kondisi anggaran besar yang berbanding terbalik dengan hasil yang minim itu disebabkan perencanaan dan penganggaran yang tidak terhubung.
“Bulan Juni-Juli selesai perencanaan. Ketika perencanaan selesai, proses anggaran sudah dimulai lebih dulu. Ini disharmoni antara perencanaan dan penganggaran,” katanya.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai, kunci terhadap persoalan tersebut terletak pada efektivitas fiskal. Dengan kata lain, belanja negara harus efektif. Kondisi ini hanya bisa dimulai dari efektivitas kerja birokrasi dengan dukungan basis data yang benar.
Banyak kementerian dan lembaga negara, menurut Enny, enggan menerapkan sistem yang memastikan akurasi basis data seoptimal mungkin. Sebab, dengan basis data yang semakin akurat, maka ruang penyelewengan menjadi semakin sempit.
“Memang pekerjaan rumahnya sangat fundamental, yakni memperbaiki kelembagaan. Ini tidak bisa dikerjakan Kementerian Keuangan saja, tetapi juga kerja kementerian lain, terutama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi,” ujarnya.
Rasionalisasi
Kebijakan pemotongan anggaran pusat dan daerah tahun ini yang mencapai Rp 137 triliun, memunculkan sejumlah pertanyaan tentang anggaran dalam rapat kerja antara Menteri Keuangan dan Komisi XI DPR, pekan lalu. Ruang rasionalisasi anggaran masih banyak, karena inefisiensi belanja masih terjadi.
Dalam hal dana desa, misalnya, Kementerian Keuangan telah menyalurkan dana ke rekening kas daerah. Namun, karena sejumlah sebab, pemerintah daerah kerap mengendapkan dana tersebut.
Menurut Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Boediarso Teguh Widodo pihaknya telah menyalurkan dana desa untuk Kabupaten Pulau Talibu (Maluku Utara) tahun 2015 sebesar Rp 20,12 miliar. Namun, pada akhir tahun, saldo di kas daerah masih Rp 12,07 miliar. Artinya, dana desa yang disalurkan dari pemerintah daerah ke desa sasaran baru Rp 8,05 miliar. Dengan kata lain, sebagian besar dana desa justru masih diendapkan pemerintah daerah setempat. (LAS)
--- (Sumber KOMPAS – Senin, 5 September 2016) ---
Dibaca 613 kali
