. Daerah Cenderung Andalkan Perda untuk Meningkatkan PAD
Logo KPPOD

Daerah Cenderung Andalkan Perda untuk Meningkatkan PAD

- 1 Januari 1970

Daerah Cenderung Andalkan Perda untuk Meningkatkan PAD

Pemerintah dae­rah (pemda) dinilai masih men­jadikan regulasi sebagai sarana peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), baik regulasi yang mengatur tentang pajak maupun retribusi.

Peneliti dari Komite Peman­tauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Yudha Prawira mengatakan, regulasi daerah cenderung menghambat upaya iklim investasi. Pasalnya, pungutan-pungutan yang ada cenderung memberatkan. ’’Melalui otonomi daerah, pemda mene­tapkan PAD yang utamanya berasal dari pungutan yang di­atur di dalam regulasi daerah,” katanya di Jakartakemarin.

Berdasarkan database KPPOD, setidaknya terdapat 15.146 perda pajak dan retri­busi sejak periode 2000-2015. Sebanyak 5.560 di antaranya perda yang lahir tahun 2010- 2015. Adapun KPPOD memfokuskan mengkaji 507 perda. Dari kajian tersebut, 262 perda mengandung permasalahan, yang 233 di antaranya direko­mendasikan untuk dicabut.

Perda bermasalah tersebut dilihat dari aspek yuridis, aspek substansi dan aspek prinsip. As­pek yuridis terdiri atas keleng­kapan yuridis, pembaruan acu­an yuridis, dan relevansi acuan yuridis. Untuk aspek substansi terdiri atas filosofi dan prinsip pungutan, standar waktu, bia­ya, prosedur, dan struktur tarif, hak dan kewajiban pungut, ke­jelasan subjek, serta kesesuaian tujuan dan isi.

Aspek prinsip di antaranya pelanggaran kewenangan, akses kepentingan umum, ekonomi negatif, persaingan sehat, dan keutuhan ekonomi nasional. Dari hasil kajian KPOOD, stan­dar waktu, biaya, prosedur, dan struktur tarif menjadi masalah yang paling banyak ditemukan.

’’Untuk kajian perda pajak sebanyak 64%, sedangkan un­tuk perda retribusi sebanyak 78%,” ungkap Yudha.

Beberapa faktor menyebab­kan regulasi daerah bermasa­lah. Baik pemerintah pusat maupun daerah memiliki sum­bangsih adanya perda bermasalah. Sumbangsih pusat adalah bahwa regulasi pusat masih be­lum optimal dalam memberi­kan kepastian hukum dan ke­rangka kebijakan yang jelas terkait kemudahan berusaha. Baik kualitas pengaturan, tumpang tindih, maupun inkonsistensi.

Sementara itu, di daerah ma­sih ada kesalahpahaman pemda dalam menafsirkan regulasi na­sional, lalu juga belum optimal­nya diseminasi dan pemahaman pemda akan perubahan di ting­kat nasional. Elite tingkat lokal yang cenderung memolitisasi regulasi dan kebijakan daerah. ’’Lagi-lagi memang keberadaan pajak dan retribusi daerahhanya digunakan sebagai instrumen peningkatan PAD,” ujarnya.

Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng mengata­kan, perda bermasalah merupa­kan persoalan klasik. Di awal otonomi daerah setidaknya 30% perda memang bermasa­lah. ’’Kajian ini sedikit menge­jutkan karena semakin lama otonomi daerah berlangsung malah hampir separuhnya di­anggap bermasalah,” tuturnya.

Hal ini menunjukkan regulasi di daerah semakin buruk. Meski­pun mengacu pada aturan pusat, ada kecenderungan daerah me­nambahkan obj ek retribusi atau­pun pajak. Bahkan, ada daerah yang nekat tetap melaksanakan perda yang telah dicabut.

’’Sebagaimana yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur, objek pajak juga dikenakan untuk ru­mah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10. Ini kan perluasan dari aturan nasional,” katanya.

Endi melihat ada permasa­lahan kapasitas legal drafting. Selain itu, berkaitan dengan faktor pengawasan, terutama dari pemerintah pusat. Tidak ada kejelasan bagaimana pusat dan provinsi dalam melakukan pengawasan terhadap produk hukum daerah yang lahir.

’’Jangan-janganmemangtidak ada evaluasi. Perdabermasalah di daerah semacam ada pembiaran. Kebijakan monitoring belum se­penuhnya efektif,” pungkasnya.

Ketua KPPOD Agung Pambudhi menilai ada prinsip dasar eko­nomi yang diabaikan pemda. Dengan adanya pungutan ini, meski dalam jangka pendek da­pat memperbesar PAD, jangka panjang mematikan investasi.

’’Kalau pungutan kondusif akan merangsang minat inves­tor dalam menanamkan modal­nya. Dalam jangka panjang me­ningkatkan PAD-nya, bukan se­baliknya,” ungkapnya.

Dia mengakui bahwa masa­lah perda terus berulang karena daerah kurang berinovasi da­lam menambah PAD. Dia menilai butuh inovasi dari setiap dae­rah untuk mencari sumber pen­dapatan daerah diluar paak dan retribusi. Banyak daerah mengandalkan pajak dan retribusika rena mudah dan legal. (DA)

 

--- (Sumber Koran Sindo – Rabu, 04 Mei 2016) ---


Dibaca 1934 kali