. Perizinan Berbelit Picu Korupsi
Logo KPPOD

Perizinan Berbelit Picu Korupsi

- 1 Januari 1970

Perizinan Berbelit Picu Korupsi

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, prose­dur birokrasi yang ke mana-mana sangat berpotensi bagi koruptor, baik berupa biaya ilegal, perburuan rente, suap atau lainnya. ’’Izin di daerah ini kan soal uang dan kuasa,” ujar­nya dalam diskusi ’’Jalan Pan­jang Perizinan” di Kantor ADB, Jakarta, kemarin.

Meskipun hampir semua daerah saat ini telah menerapkan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP), bukan berarti semua perizinan berjalan lebih cepat. Apalagi masih banyak izin yang saling tumpang tindih antara satu dengan yang lainnya. Dika­takan dia, jumlah izin sangat banyak dengan jumlah total secara nasional sebanyak 1.200 izin. Di Jakarta saja terdapat 518 izin.

Hasil riset yang dilakukan KPPOD di 5 kota, yakni Jakar­ta, Surabaya, Medan, Balik­papan, dan Makassar, ditemu­kan bahwa untuk memperoleh izin memulai usaha sangat panjang prosesnya dan memakan waktu cukup lama. Izin memulai usaha di 5 kota terse­but rata-rata harus melewati 8-10 prosedur yang memakan waktu 25-48 hari.

”Di Surabaya ini belum PTSP, jadi pengurusan masih beda dinasnya. Adapun Jakar­ta meskipun sudah PTSP ma­sih membutuhkan waktu yang cukup lama. Lalu di Medan dan Makassar masih dimintai tarif izin gangguan,” ucapnya.

Pria yang akrab dengan sa­paan Endi itu mengatakan, saat ini yang perlu diper­tanyakan soal PTSP bukan saja ada atau tidak daerah yang membentuk, tapi soak efek­tivitasnya. Pasalnya, meski­pun sudah di satu pintu, soal pengambilan putusan terka­dang masih dikembalikan ke­pada kepala daerah. Hal inilah yang kemudian membuka celah praktik transaksional.

’’Kadang sudah dilimpah­kan, tapi hanya sekadar pene­rima berkas. Sisanya soal keputusan izin tetap di kepala dae­rah. Persetujuan ini yang masih membuka celah. Pasti ada per­temuan tidak normal, terutama izin besar, misalnya berkaitan dengan lahan atau tata ruang. Misalnya Karawang hingga akhirnya bupatinya ditahan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),” paparnya.

Di samping itu, ketidakoptimalan PTSP karena hanya me­nangani izin-izin berskala kecil. Sebab di beberapa daerah tidak semua izin sudah dilimpahkan di PTSP. Ada beberapa kepala daerah yang enggan memberi­kan kewenangan perizinan ke­pada PTSP.

”Di dalam perizinan ini ada uang dan kuasa. Bukan hal yang mudah untuk diserahkan, terutama soal izin lahan atau­pun bangunan. Banyak daerah yang tidak mau melepaskan izin mendirikan bangunan (IMB) ke PTSP. Kadang cende­rung memberikan kewenang­an perizinan yang kecil-kecil kepada PTSP,” pungkasnya.

Peneliti KPPOD Boedi Rheza mengatakan, IMB saat ini masih dianggap sangat lama. Parahnya tidak semua daerah menyerah­kan IMB kepada PTSP. ’’Mereka (kepala daerah) enggan menye­rahkan IMB karena beralasan PTSP kurang kompeten secara teknis untuk melakukan kajian atas usulan IMB. Padahal, bisa saja PTSP-nya yang perlu diting­katkan kapasitasnya,” kata dia.

Dalam temuan KPPOD, di Ja­karta untuk pengurusan IMB saat ini harus melalui 17 prosedur dan membutuhkan waktu 158 hari. Di Medan meskipun hanya 10 prosedur masih membutuh­kan waktu 71 hari. Adapun di Su­rabaya terdapat 17 prosedur, tapi memakan waktu 243 hari. ’’Un­tuk Makassar 10 prosedur de­ngan waktu 48 hari. Balikpapan 10 prosedur dengan waktu 48 hari,” ujarnya.

Mahal dan berbelit-belitnya masalah perizinan, menurut Pe­neliti KPPOD Muhammad Iqbal Damanik, lebih disebabkan cara pandang daerah. Daerah masih menganggap perizinan bagian dari sumber pendapatan bagi daerah. ’’Misal­nya, perizinan gangguan itu ma­sih dilakukan di Medan dan Ma­kassar karena menambah peng­hasilan mereka. Apalagi setiap SKPD (satuan kerja perangkat daerah) memang ditargetkan mengejar PAD (pendapatan asli daerah),” tuturnya.

Terpisah, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan, kementeriannya terus berusaha melaku­kan pembenahan terhadap per­izinan di daerah. Sebelumnya dia pun meminta daerah agar menerapkan PTSP dengan baik. ”Ini terus kami benahi. Kalau pungutan ini masuk suap berarti terindikasi korupsi,” katanya.

Sebelumnya, Direktur Jende­ral Bina Pembangunan Daerah (Bangda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Muham­mad Marwan mengatakan, sebe­narnya hampir semua daerah su­dah membuat PTSP. Bahkan un­tuk tingkatan provinsi sudah se­muanya membuat PTSP. ’’Yang belum membuat itu sedikit se­kali,’’ kata dia.

Meski sudah membuat sistem PTSP tidak serta merta perizinan menjadi tidak tumpang tindih. Sebab tidak semua urusan per­izinan diserahkan ke Badan PTSP. Masih ada yang ditangani sendiri oleh kepala daerah atau kepala SKPD. Setiap daerah ini berbeda-beda, ada yang punya kewenang­an memberikan 60 izin, tapi yang diserahkan ke PTSP hanya 40.

Dia mengaku Kemendagri ti­dak bisa memaksa daerah untuk menerapkan PTSP karena dalam rezim Undang-Undang (UU) No­mor 32 Tahun 2004 persoalan perizin­an menjadi kewenangan daerah. ’’Dahulu kami hanya menghimbau saja. Jadi, tergantung bagaimana daerah itu sendiri,’’ katanya.

Menurut Marwan, dengan adanya UU Pemda yang baru PTSP dapat dilaksanakan se­cara maksimal karena diatur pula pemberian sanksi bagi dae­rah. Untuk jenis sanksinya, me­reka menunggu peraturan pe­merintah yang mengatur. (dita angga)

 

--- (Sumber Koran Sindo – Selasa, 01 September 2015) ---


Dibaca 941 kali