Peneliti Kritisi Polemik Dana Jabar, Pengendapan Dana Besar Tanda Kinerja Fiskal Tak Sehat
pikiran-rakyat.com - 27 Oktober 2025
Peneliti Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Badiul Hadi menilai, polemik soal dugaan dana Rp 4,1 triliun milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang mengendap di bank menunjukkan kinerja fiskal yang tak sehat.
"Yang lebih penting dari sekadar angka adalah makna fiskalnya. Pengendapan dana yang besar pada dasarnya bukan tanda kinerja fiskal yang sehat," kata Badiul saat dihubungi, Rabu 22 Oktober 2025. Data yang beredar memang menunjukkan perbedaan signifikan versi Menteri Keuangan Purbaya yang menyebut saldo kas Pemprov Jabar mencapai Rp 4,1 triliun per akhir September 2025.
Sementara itu, temuan Gubernur Jabar Dedi Mulyadi pada 20 Oktober menunjukkan hanya Rp 2,6 triliun. Secara teknis, kata dia, penurunan tersebut mungkin terjadi, terutama Oktober–Desember merupakan masa puncak penyerapan anggaran daerah.
Namun, perbedaan tersebut juga bisa berasal dari metode pencatatan yang tak seragam. "Apakah yang dimaksud adalah kas umum daerah, seluruh rekening BLUD, atau termasuk dana pihak ketiga," tuturnya. Uang yang mengendap, kata Badiul, berarti anggaran tak segera bekerja untuk masyarakat, proyek tertunda, pelayanan publik melambat, dan daya dorong ekonomi daerah melemah.
Dalam konteks Jabar, dengan APBD besar dan kapasitas fiskal tinggi, saldo kas di atas Rp 2 triliun, menurut Badiul, tetap patut dikritisi sebagai indikasi efisiensi yang belum optimal. "Kecuali dapat dijelaskan sebagai cadangan untuk pembayaran kontrak atau proyek yang sedang berjalan," ucapnya.
Apabila dana besar mengendap tanpa fungsi (tidak digunakan untuk belanja/jalan proyek), hal itu cenderung menunjukkan masalah tidak optimalnya realisasi anggaran, kemungkinan lamanya proses pengadaan, birokrasi yang terhambat.
Namun, jika dana mengendap karena memang menunggu jatuh tempo pembayaran proyek/kontrak besar atau menunggu pencairan transfer pusat, maka pengendapan wajar sebagai kas buffer. Dalam kasus tersebut, klaim Pemprov Jabar bahwa dana digunakan untuk proyek (dan bukan disimpan sebagai deposito pasif) menunjukkan arah yang lebih positif.
Tetapi publik butuh transparansi lebih, misalnya data realisasi belanja, rincian rekening, bunga jika ada. Terkait isu deposito dan bunga bank, Pemprov Jabar telah menegaskan, dana tersebut berada dalam bentuk giro, bukan deposito. Secara regulatif, penempatan sementara dana daerah di bank memang diperbolehkan selama transparan dan hasil bunganya masuk ke PAD.
"Masalah muncul jika ada penempatan tanpa pelaporan jelas, bunga tidak disetor penuh, atau rekening tambahan di luar kas umum daerah," ujarnya. Badiul mengungkapkan, di sinilah potensi moral hazard dapat terjadi dengan tidak selalu korupsi terbuka, melainkan bentuk delay spending demi kepentingan bunga jangka pendek.
Hal itu juga termasuk praktik yang menyalahi semangat pengelolaan keuangan publik. "Untuk memastikan kejelasan situasi ini, audit silang antara data Bank Indonesia, bjb, dan laporan kas daerah sangat diperlukan," tutur Badiul.
Selain itu, publik berhak tahu berapa besar saldo kas mingguan, di mana ditempatkan, dan berapa hasil bunganya. "Transparansi real time semacam ini akan menutup ruang kecurigaan dan sekaligus meningkatkan kepercayaan terhadap pengelolaan fiskal daerah," ujarnya.
Persepsi publik
Sementara itu, Analis Kebijakan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Eduardo Edwin Ramda menilai, perbedaan data antara Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi terkait posisi kas daerah menunjukkan adanya masalah struktural dalam tata kelola fiskal nasional.
Ia menyebut, perdebatan itu bukan sekadar soal nominal dana, melainkan cermin dari ketidakterpaduan sistem pelaporan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. “Saya tidak tertarik pada perdebatan antarkedua pejabat tersebut di ruang publik, tetapi perbedaan data ini menegaskan adanya diskonektivitas antara pusat dan daerah,” ujar Eduardo.
Menurut Eduardo, perbedaan persepsi mengenai apakah dana kas daerah berbentuk deposito atau giro, serta apakah dianggap mengendap atau sudah terikat pada komitmen belanja, menegaskan, sistem pelaporan fiskal di Indonesia belum sepenuhnya terintegrasi.
Ia menyebut, data yang tidak sinkron berpotensi menimbulkan kesalahpahaman dalam penilaian kinerja fiskal antarlevel pemerintahan. “Ini menunjukkan perlunya sinkronisasi dan transparansi data keuangan daerah secara real-time antara Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan pemda,” ujarnya.
Menurut dia, kebijakan fiskal seharusnya dirumuskan berdasarkan informasi yang seragam dan akurat, bukan sekadar asumsi antarlembaga yang berpotensi menciptakan bias kebijakan. Eduardo menilai, polemik data tersebut berdampak langsung pada persepsi publik terhadap serapan anggaran daerah.
Pemerintah pusat sering menilai, kinerja fiskal daerah rendah karena dan mengendap. Padahal, sebagian besar sudah dialokasikan untuk kegiatan yang belum terealisasi akibat persoalan administratif dan teknis. Ia juga menyoroti kecenderungan pemerintah daerah yang “jor-joran” membelanjakan anggaran di akhir tahun.
Pola ini disebutnya sebagai cerminan siklus fiskal yang back-loaded, di mana realisasi belanja tertunda hingga triwulan terakhir. “Setiap Desember berubah menjadi festival serapan anggaran, proyek dikebut, dan laporan digarap demi mengejar target administratif,” ucapnya.
Pola tersebut, kata Eduardo, memang meningkatkan serapan secara nominal, tetapi bertentangan dengan prinsip efektivitas dan keberlanjutan fiskal. Belanja publik yang seharusnya menjadi motor ekonomi justru kehilangan daya dorong karena hanya dikeluarkan di penghujung tahun. “Multiplier effect fiskal melemah sebab belanja baru menggerakkan ekonomi di akhir tahun, sementara manfaatnya bagi masyarakat minim,” ujarnya.
Sumber: https://koran.pikiran-rakyat.com/news/pr-3039737736/peneliti-kritisi-polemik-dana-jabar-pengendapan-dana-besar-tanda-kinerja-fiskal-tak-sehat?page=all
Dibaca 716 kali
