Rp 255 Trilliun Mengendap
- 1 Januari 1970
Dana pembangunan senilai Rp 255 trilliun mengendap di daerah. Kondisi yang terjadi setiap tahun dengan nilai yang terus menggelembung ini merampas hak masyarakat terhadap pembangunan. Padahal, dana tersebut berasal dari pajak yang telah dibayarkan rakyat.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian keuangan, total dana anggaran pendapatan dan belanja daerah seluruh kabupaten, kota, dan provinsi yang mengendap per akhir Mei 2015 mencapai Rp 255 trilliun.
Dana tersebut bersumber dari dana transfer daerah, pendapatan asli daerah, serta pendapatan lain seperti bantuan keuangan dan bagi hasil provinsi dan daerah lainnya. Ada pula hibah dan dana darurat.
“Memang ini terjadi terus dari tahun ke tahun. Akan tetapi, tahun ini melonjak signifikan,” kata Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Boediarso Teguh Widodo, Minggu (5/7), di Jakarta.
Dana mengendap senilai Rp 255 trilliun itu jauh lebih besar dibandingkan dengan anggaran kesehatan, penanggulangan kemiskinan, atau ketahanan pangan dalam APBN-P 2015 yang masing-masing alokasinya Rp 74,2 trilliun. Rp 178,1 trilliun dan Rp 118,1 trilliun.
Dana itu melampaui anggaran pembangunan transportasi perkotaan berbasis jalan dan rel kereta api selama lima tahun ke depan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 alokasinya Rp 115 trilliun.
Menurut Boediarso, 50 persen dana mengendap itu disimpan di bank pembangunan daerah dan sisanya tersebar di berbagai bank komersial. Mayoritas dana disimpan dalam bentuk giro dan deposito.
Dibandingkan dengan dana yang mengendap di tahun-tahun sebelumnya, dana per akhir Mei 2015 ini adalah yang terbesar. Dana mengendap per akhir Mei 2014 mencapai Rp 203,9 trilliun. Per akhir Mei 2013 sebesar Rp 191 trilliun, Mei 2012 sebesar Rp 168 trilliun, dan Mei 2011 sebesar Rp 126 trilliun.
Persoalan dana mengendap itu juga terjadi pada akhir tahun. Dana mengendap pada akhir 2013 sebesar Rp 92,4 trilliun. Pada akhir 2014 meningkat menjadi Rp 113,1 trilliun.
“Memang trennya selama ini dari tahun ke tahun sama. Dana mengendap dari Januari terus naik sampai dengan Mei. Biasanya Juni agak turun, lalu Juli naik lagi sampai dengan September,” kata Boediarso.
Daya serap stagnan
Penyebab besarnya dana mengendap pada akhir Mei 2015, lanjut Boediarso, adalah daya serap anggaran pemerintah daerah yang relatif stagnan, sementara penyaluran dana transfer semakin lancar. Apalagi, ada tambahan penyaluran dana desa.
Penyaluran dana transfer per akhir Mei 2015 mencapai Rp 275 trilliun. Tahun lalu, pada periode yang sama, realisasinya Rp 230 trilliun. Realisasi semester I-2015 diperkirakanRp 331 trilliun atau 53,3 % persen dari target Tahun lalu 50 persen.
Boediarso menambahkan, penyerpan belanja pada seluruh APBD selama semester I-2015 diperkirakan baru sekitar Rp 242 triliun atau 25 persen dari total alokasi setahun. Tahun lalu, realisasi pada periode yang sama mencapai 26,5 persen.
Realisasi belanja pegawai yang tahun lalu sekitar 37 persen, tahun ini baru 36 persen. Realisasi belanja barang dan jasa yang tahun lalu sekitar 25 persen, tahun ini 24,8 persen. Realisasi belanja lain-lain yang tahun lalu 30 persen, tahun ini hanya 22,4 persen.
“Kalau diserap, dana itu mestinya bisa menggerakkan roda perekonomian daerah, menyerap tenaga kerja, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, karena ditaruh di bank, berpotensi menimbulkan tekanan inflasi,” kata Boediarso.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Na Endi Jaweng berpendapat, dana mengendap di daerah terus berulang dan nilainya terus meningkat. Untuk itu, pemerintah harus mengevaluasi sistem pelaksanaan anggaran dari hulu ke hilir.
“Dana mengendap sebenarnya memotong hak rakyat untuk menikmati pelayanan publik. Hal ini tidak bisa dibiarkan terus terjadi setiap tahun,” kata Endi.
Salah satu penyebab klasik persoalan dana mengendap, menurut Endi, adalah sistem pengadaan barang dan jasa yang mendorong kuasa pengguna anggaran berhati-hati secara berlebihan. Pemerintah harus mampu memberikan solusi agar pelaksanaan program efektif dan akuntabel.
“Kunci utama di sisi teknis adalah reformasi pengadaan barang dan jasa terutama dengan sistem elektronik, peningkatan kapasitas pemerintah daerah, dari peningkatan kemampuan pemerintah daerah untuk berani menggunakan mekanisme yang ada,” kata Endi. (las)
--- (Sumber KOMPAS – Senin, 6 Juli 2015) ---
Dibaca 609 kali