. Pemerintah Daerah Rawan Bermain
Logo KPPOD

Pemerintah Daerah Rawan Bermain

- 1 Januari 1970

Pemerintah Daerah Rawan Bermain

Oknum aparat pemerintah daerah berpotensi mengeruk keuntungan pribadi dari mekanisme penganggaran dana desa. Untuk mengantisipasi hal itu, perlu ada sistem pengawasan yang ketat.

“Ada resiko penyimpangan yang sangat besar dalam penggunaan dana desa, yaitu potongan dari oknum pemerintah daerah dan ketidaksiapan aparat desa dalam mengelola dan mempertanggungjawabkan dana desa,” kata Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hasan Bisri, Selasa (9/9), di Jakarta.

Bisri berpendapat, dana desa sebaiknya masuk komponen dana alokasi umum (DAU) dalam dana transfer ke daerah. Penyalurannya sebaiknya dalam dana transfer ke daerah. Penyalurannya sebaiknya dalam bentuk hibah dari pemerintah kabupaten atau kota kepada desa.

Hal itu memberikan keleluasaan kepada desa untuk menggunakan dana desa sesuai dengan kebutuhan desa. Lembaga musyawarah desa atau lembaga sejenis harus dilibatkan dalam mengelola dana desa agar semua aspirasi masyarakat desa bisa ditampung.

“Dana desa seharusnya diutamakan untuk stimulus proyek gotong royong pembangunan infrastruktur desa dan proyek fisik lainnya. Dana itu sebaiknya jangan digunakan untuk kegiatan nonfisik seperti bantuan bagi masyarakat miskin karena nanti tumpang-tindih dengan proyek atau program lainnya,” kata Bisri.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengamanatkan, antara lain, adanya dana desa sebesar 10 persen dari total dana transfer. Penjabarannya tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 6 PP tersebut menyebutkan, dana desa ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota untuk selanjutnya ditransfer ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.

Ditransfer langsung

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menilai, idealnya dana desa dari pusat langsung ditransfer ke rekening desa. Permasalahannya adalah Kementerian Keuangan sebagai bendahara umum negara tak memiliki sistem data mutakhir tentang seluruh desa di Indonesia. Karena itu, dana desa ditransfer ke pemerintah daerah untuk kemudian dilanjutkan ke desa.

Kemungkinan pemotongan oleh pemerintah daerah, menurut Endi, kecil. Justru yang potensial terjadi adalah lobi kepala desa ke pemerintah daerah. Hal ini rawan gratifikasi.

“Selama ini sudah menjadi rahasia umum pejabat daerah melobi ke pusat untuk menambah DAU. Bukan tidak mungkin praktik ini terjadi di tingkat lokal, kepala desa melobi aparat pemerintah kota/kabupaten untuk mendapatkan alokasi dana desa yang besar,” kata Endi.

Oleh karena itu, sistem pengawasan menjadi krusial. Akan tetapi, sampai saat ini pemerintah pusat dan daerah belum menyiapkan sitem pengawasan. Pembangunan kapasitas aparat desa dalam menata kelola dana desa juga belum dilakukan.

Besaran dana desa untuk setiap desa ditetapkan oleh bupati atau wali kota berdasarkan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geigrafis. Komposisinya 30 persen untuk jumlah penduduk desa, 20 persen untuk luas wilayah desa, dan 50 persen, dan 50 persen untuk angkat kemiskinan desa. Adapun tingkat kesulitan geografis digunakan sebagai faktor pengali.

 

--- (Sumber KOMPAS – Rabu, 10 September 2014) ---


Dibaca 526 kali