. Polemik Uang Pemprov Jabar ”Tidur” di Bank, BPK Diminta Audit Mendalam
Logo KPPOD

Polemik Uang Pemprov Jabar ”Tidur” di Bank, BPK Diminta Audit Mendalam

kompas.id - 29 Oktober 2025

Polemik Uang Pemprov Jabar ”Tidur” di Bank, BPK Diminta Audit Mendalam

Pemerintah Provinsi Jawa Barat meminta Badan Pemeriksa Keuangan melakukan pendalaman audit terhadap pengelolaan kas daerah. Hal ini menyusul munculnya informasi bahwa sejumlah pemerintah daerah, termasuk Jawa Barat, mengendapkan dana APBD di bank.

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi secara langsung mendatangi BPK Perwakilan Provinsi Jabar di Kota Bandung, Jumat (24/10/2025) siang. Hal ini merupakan upaya permintaan resmi agar audit dilakukan secara menyeluruh dan hasilnya diumumkan secara terbuka kepada publik.

Menurut Deddy, audit mendalam diperlukan agar publik mengetahui secara pasti bagaimana perencanaan dan pengelolaan keuangan daerah dilakukan. Tujuannya ialah memperlihatkan sejauh mana pemerintah daerah memiliki sistem keuangan yang baik dari sisi penerimaan ataupun belanja.

”Dari audit itu akan terlihat apakah Pemprov Jabar memiliki perencanaan dan pengelolaan keuangan yang baik, baik dari pendapatan yang bersumber dari pusat, dari PAD, maupun dari sisi belanja yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” ujarnya.

Dedi menuturkan, Pemprov Jawa Barat berkomitmen mengarahkan belanja publik untuk kebutuhan yang berdampak langsung pada masyarakat, dengan proporsi belanja modal yang lebih besar dibandingkan belanja barang dan jasa.

Terkait tuduhan bahwa terdapat dana daerah yang ”mengendap” di bank, Dedi mengatakan, sisa kas Pemprov Jabar sebesar Rp 2,6 triliun bukanlah uang mengendap. Itu adalah dana yang akan segera dibayarkan kepada pihak ketiga. Uang yang tersisa di kas itu akan digunakan untuk pembayaran bertahap kepada kontraktor yang membangun sekolah, jalan, irigasi, dan jaringan penerangan jalan umum.

”APBD Jabar itu Rp 31 triliun. Hingga Oktober, uang di kas tersisa Rp 2,6 triliun. Kalau ditambah pendapatan yang akan masuk sampai Desember sekitar Rp 7,5 triliun, total kasnya sekitar Rp 10 triliun. Artinya, kami sudah belanja sekitar Rp 21 triliun,” katanya.

Ia menyatakan, dalam pelaksanaan proyek, pemerintah melakukan pembayaran bertahap kepada kontraktor untuk menjamin kualitas pekerjaan dan mencegah penyimpangan.

”Kalau uang dibayarkan sekaligus tapi pekerjaannya tidak selesai, itu bisa menjadi pidana. Karena itu kami kendalikan termin pembayarannya,” ujarnya.

Adanya inkonsistensi
Dedi juga menilai adanya inkonsistensi dalam pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang semula menilai penyimpanan dana di deposito tidak sesuai prinsip keuangan, tetapi kemudian menyebut penyimpanan di giro merugikan karena bunganya kecil.

Berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI) terkait pelaporan keuangan per 30 September 2025, dana kas daerah Pemprov Jabar sebesar Rp 3,8 triliun tersimpan dalam bentuk rekening giro, bukan deposito.

”Pernyataannya berubah-ubah. Dulu katanya tidak boleh deposito, sekarang bilang rugi kalau di giro. Jadi ini perlu diluruskan,” ujarnya.

Sebelumnya, seperti diberitakan Kompas.id (20/10/2925), Purbaya menyoroti masih banyaknya dana pemda yang menumpuk di sejumlah bank pembangunan daerah (BPD) dan bank pusat.

Kondisi ini menyebabkan uang yang seharusnya beredar untuk mendukung kegiatan ekonomi dan pembangunan di daerah justru terserap di pusat.

Setiap tahun, nilai sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa) yang disimpan pemda di perbankan mencapai Rp 100 triliun. Menurut Purbaya, dana tersebut biasanya dijadikan cadangan untuk membiayai belanja di awal tahun berikutnya.

Namun, penumpukan dana itu berdampak pada lambatnya perputaran ekonomi daerah. Hingga 30 September 2025, realisasi belanja APBD baru mencapai Rp 712,8 triliun atau 51,3 persen dari total pagu Rp 1.839,3 triliun. Angka tersebut lebih rendah 13,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2024.

”Jangan biarkan uang tidur di bank. Biarkan uang bekerja untuk rakyat. Kalau uangnya bergerak, ekonomi akan ikut hidup dan masyarakat menerima manfaatnya,” kata Purbaya.

Penyakit menahun
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai tingginya dana pemerintah daerah yang masih mengendap di bank hingga Oktober 2025 bukan sepenuhnya disebabkan oleh lemahnya kinerja. Hal ini merupakan fenomena rutin yang dipengaruhi berbagai faktor struktural dan teknis.

Direktur Eksekutif KPPOD Herman N Suparman mengatakan kondisi tersebut sebagai ”penyakit menahun” yang hampir selalu terjadi di seluruh daerah setiap tahun anggaran berjalan. Namun, posisi dana yang masih tinggi pada Oktober tidak bisa langsung diartikan sebagai bentuk kelalaian dalam pengelolaan keuangan.

”Kalau melihat dana mengendap pada Oktober seperti sekarang, ceritanya berbeda. Sebab, semua pemerintah daerah masih dalam tanda kutip memarkir dana untuk program-program tahun anggaran berjalan. Biasanya vendor atau kontraktor baru mengajukan klaim pembayaran di akhir proyek,” ujar Herman.

Menurut dia, fenomena ini lazim terjadi karena sebagian besar proses realisasi anggaran daerah baru meningkat pada akhir tahun. Namun, bila hingga Desember dana tersebut masih tetap mengendap tinggi, hal itu menandakan adanya persoalan dalam kualitas pengelolaan belanja pemerintah daerah.

”Kalau sampai akhir tahun dana masih besar di bank, bisa jadi karena dua hal. Pertama, rendahnya kualitas pengelolaan belanja. Kedua karena adanya efisiensi yang menyebabkan sisa lebih perhitungan anggaran atau silpa meningkat,” katanya.

Herman mengatakan, 2025 memiliki konteks yang berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Salah satunya adalah karena sebagian besar kepala daerah baru mulai menjabat tahun ini dan masih menyesuaikan program Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 2025 agar selaras dengan visi dan misi mereka.

”RKPD 2025 disusun tahun 2024 saat para kepala daerah belum memimpin. Jadi wajar kalau tahun ini mereka masih melakukan penyesuaian,” katanya.

Selain faktor transisi kepemimpinan, KPPOD juga mencatat adanya kebijakan efisiensi fiskal dari pemerintah pusat tahun ini yang membuat daerah lebih berhati-hati dalam membelanjakan anggaran. Kebijakan itu turut berpengaruh terhadap serapan belanja daerah yang lebih lambat dari biasanya.

Lebih lanjut, Herman menyebut, persoalan yang paling mendasar justru bersifat struktural. Salah satunya adalah keterlambatan pemerintah pusat dalam menerbitkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis berbagai program daerah.

”Perda APBD biasanya disahkan pada Desember, dan idealnya Januari realisasi sudah berjalan. Tapi, kenyataannya, petunjuk teknis baru keluar pada April atau Mei. Akibatnya, proses lelang atau pengadaan barang dan jasa baru bisa dimulai sekitar Juni,” ujarnya.

Sumber: https://www.kompas.id/artikel/polemik-uang-pemprov-jabar-tidur-di-bank-bpk-diminta-audit-mendala


Dibaca 280 kali